Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengajak Perempuan Perangi Korupsi

Ibu tiga anak ini konsisten mengawasi, menyoroti, dan memerangi korupsi di Tanah Air. Bermula dari ketidaksukaannya terhadap budaya sogok-menyogok, Sely Martini memilih bekerja bersama Indonesia Corruption Watch. Pemenang penghargaan internasional Oscar Kejujuran 2014 ini percaya peran perempuan sangat penting dalam perang melawan korupsi.

18 April 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANPA karpet merah yang disorot puluhan kamera dan panggung gemerlap, Sely Martini mendapatkan Oscar Kejujuran dari ONE.org dan Accountability Lab. Penghargaan ini diumumkan oleh dua lembaga yang peduli terhadap bidang transparansi itu melalui akun Twitter @ONEcampaign pada 2 Maret 2014, bersamaan dengan malam anugerah Oscar untuk insan film di Amerika Serikat.

Perempuan asal Bandung berumur 38 tahun ini meraih gelar untuk kategori Best Activist in Leading Role. Dia mengungguli aktivis antikorupsi dari berbagai negara, seperti John Gitongo (Kenya), Aruna Roy (India), Gregory Ngbwa Mintsa (Gabon), dan Xu Zhiyong (Cina). "Masuk nominasi saja saya sudah senang karena artinya aktivitas saya diketahui orang lain," kata Sely di kantor Indonesia Corruption Watch di Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa dua pekan lalu.

Sely adalah koordinator program pada lembaga swadaya masyarakat Indonesia Corruption Watch. Dia meraih 54 persen suara dari 6.700 pemilih dari semua benua. Juri menganggap dia konsisten dalam berjuang melawan korupsi. Namun, berbeda dengan beberapa koleganya di ICW, nama Sely jarang muncul dalam pemberitaan tentang rasuah. "Pada dasarnya saya tidak suka disorot kamera. Saya lebih suka bekerja di belakang layar," ujarnya.

Masuk Jurusan Planologi Institut Teknologi Bandung pada 1997, Sely mulai mengenal dunia pergerakan di tahun kedua kuliah. Dia ikut berdemonstrasi bersama para seniornya di kampus mengkritik rezim Soeharto. "Sejak itu, saya menyadari begitu banyak ketidakadilan akibat korupsi di negara yang kaya ini."

Rasa muaknya terhadap korupsi memuncak pada 2002-2003, ketika membantu Center for Urban and Regional Development Studies ITB membuat riset tentang tata ruang dan pengembangan wilayah berbasis Internet. Ketika itu Sely baru lulus.

Sebagai asisten peneliti dalam proyek tersebut, dia mengurus administrasi tim, termasuk mencairkan dana penelitian dari sejumlah lembaga pemerintah. Tapi, setiap kali Sely mengambil uang, para pegawai di lembaga-lembaga tersebut meminta persenan. Muak, dia memutuskan berhenti dan bergabung dengan ICW. "Kebetulan ada teman yang nawari," katanya.

Pada 2004, Sely resmi menjadi anggota staf ICW sebagai pelaksana program. Tugas pertamanya mengevaluasi kebijakan pemberian konsesi dan alih fungsi lahan hutan. Sebagai lulusan jurusan planologi, Sely mampu menghitung dan menganalisis cost-benefit. Ketika itu dia menemukan ada banyak "lubang" dalam kebijakan alih fungsi lahan dan konsesi hutan yang malah menyuburkan praktek korupsi. Hasil penelitian tersebut kemudian dia teruskan kepada Kementerian Kehutanan dalam bentuk rekomendasi.

Selama riset, Sely masuk-keluar hutan di Kalimantan. Tak jarang dia harus menginap hingga lebih dari sepekan. Tak cuma mengumpulkan data dan investigasi, Sely juga belajar mengadvokasi masyarakat. Di Pontianak dan Kapuas Hulu, misalnya, dia meyakinkan petani pemilik lahan sawit yang disewa perusahaan untuk berani memperjuangkan hak mereka.

"Saya terkejut, warga di sana menyewakan lahannya sangat murah," ujarnya. Sewa lahan satu hektare ada yang hanya sekitar Rp 34 ribu. Padahal pengusaha mendapat untung beratus kali lipat. "Bekerja di ICW membangun kesadaran saya bahwa inilah cara saya berkontribusi memerangi ketidakadilan."

Adalah Fadli, kakek Sely, lulusan Sekolah Rakyat, yang mula-mula memperkenalkan nilai kemanusiaan dan keadilan dalam benak aktivis antikorupsi ini. Kakeknya gemar membaca koran pada pagi hari dan menonton siaran berita malam sebelum tidur. Sely ingat betul, ketika dia masih sekolah dasar, suatu ketika ada berita aktivis Greenpeace menghadang sebuah tanker. "Kakek bilang, para aktivis Greenpeace inilah contoh pahlawan modern karena memperjuangkan kemanusiaan," katanya. Sedangkan ayahnya, Teger Alamsyah, guru sekolah menengah atas di Bandung, selalu mengingatkan Sely untuk memperlakukan orang lain dengan adil. "Saya diajari tidak menilai orang dari apa yang mereka miliki, tapi apa yang mereka lakukan."

Di ICW, pengadaan barang dan jasa menjadi salah satu fokus kajian Sely. Dia bersama rekan-rekan, misalnya, menciptakan Potential Fraud Analysis (PFA). Program e-budgeting ini bisa menganalisis potensi korupsi dalam pengadaan barang dan jasa oleh lembaga pemerintah. Kalau ada yang tidak wajar akan segera diketahui. Beberapa pemerintah daerah, termasuk DKI Jakarta dan Kota Bandung, sudah mulai menggunakan PFA.

Sely percaya korupsi bisa dikikis, terutama setelah dia melihat munculnya aneka inisiatif dari pemerintah untuk menciptakan tata kelola dan keterbukaan informasi. Sejak November tahun lalu, dia membantu Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dalam Forum Pemantau Independen Pembangunan Zona Integritas. Bersama sembilan orang lain, mereka memantau pengelolaan aset milik pemerintah kota dan proses penyusunan anggaran belanja.

Yang juga membesarkan hati adalah adanya dukungan dari masyarakat. Sely bercerita, dalam perayaan Hari Perempuan Internasional pada Maret tahun lalu, dia menggelar kampanye antikorupsi di Bandung. Ribuan warga kota membubuhkan cap telapak tangan dan pesan antikorupsi di atas 3.200 lembar kain perca yang dia tebar di Masjid Agung.

"Saat ini saya berpikir tujuan saya memerangi korupsi adalah agar anak-anak saya bisa hidup dalam masyarakat yang adil di masa depan," ucap Sely. Bersama suaminya, Rizqi Abdulharis, pengajar di Jurusan Geodesi ITB, dia memiliki dua putra dan seorang putri.

Karena berdomisili di Bandung, Sely kerap bolak-balik ke Jakarta. Tak jarang dia menginap di kantor ICW untuk menyelesaikan pekerjaan. Saat harus meninggalkan keluarga karena pekerjaan, Sely memberi tahu anak-anaknya bahwa dia sedang memberantas korupsi. "Mereka mendukung dan bangga karena menganggap saya sedang berperang melawan kejahatan."

Koordinator ICW Adnan Topan Husodo mengatakan Sely membawa banyak perubahan yang baik bagi organisasi mereka. Beberapa hal yang diperjuangkan Sely di ICW antara lain asuransi kesehatan dan jaminan pensiun untuk anggota. "Dia termasuk yang paling keras mengupayakan gaji anggota ICW sesuai dengan standar upah minimum," kata Adnan.

Banyak program eksternal ICW yang berkaitan dengan kampanye antikorupsi juga diinisiasi oleh Sely. Dia terlibat dalam gerakan Save KPK, mendirikan Sayap Perempuan Antikorupsi, dan turut menyusun modul pendidikan antikorupsi.

Sekarang Sely getol mempromosikan pendidikan antikorupsi untuk ibu-ibu serta anak usia taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Dia menggandeng lembaga pendidikan anak 123education4kids, psikolog keluarga Khamsa Noory, dan aktivis pendidikan anak Fani Ahmadi dalam penyusunan materi kampanye.

Salah satu produk dari gerakan parenting antikorupsi yang mereka gagas adalah album Lagu Anak Hebat, yang diproduksi ICW dan komunitas Mari Nyanyi. Lirik dan lagu dalam albumyang diluncurkan pada Maret lalu itu berisi cara mencegah praktek korupsi dalam keseharian anak, seperti ketika bermain atau belajar di sekolah.

Berkaca pada pengalaman masa kecilnya, Sely menganggap peran orang tua, terutama ibu, sangat besar dalam membentuk moral dan perilaku jujur pada anak. "Kaum perempuan harus sadar mereka bisa punya peran besar dalam perang melawan korupsi," ujarnya.


Sely Martini

Tempat dan tanggal lahir: Bandung, 31 Maret 1978

Pekerjaan: Koordinator Program Indonesia Corruption Watch

Pendidikan:

  • 2009-2011 Master of Science on Regional Development Planning, SPRING Joint Program of TU-Dortmund Germany and UP-Diliman The Philippines
  • 1997-2002 Sarjana Jurusan Planologi Institut Teknologi Bandung

    Penghargaan dan beasiswa:

  • Honesty Oscar 2014, Best Activist of Leading Role
  • Return Expert-CIM 2011-2012
  • DAAD 2009-2011
  • Nation Building Sail 2001

    Berlinda Ursula Mayor
    Pengadil dari Ujung Timur

    Kursi ketua pengadilan negeri ia duduki tiga tahun saja. Tapi itu cukup mencatatkan nama Berlinda Ursula Mayor sebagai perempuan pertama Papua yang punya jabatan tinggi di lembaga kehakiman. "Padahal cita-cita saya dulu jadi perawat," kata Linda-demikian Berlinda bisa disapa-kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

    Perempuan kelahiran Jayapura, 41 tahun lalu, ini menduduki jabatan Kepala Pengadilan Negeri Wamena mulai 2013 sampai Februari 2016. Sejak Maret lalu, Linda menjadi hakim anggota di Pengadilan Negeri Manado.

    Linda sejatinya tak asing dengan urusan hukum dan pengadilan. Ayahnya, Efraim Mayor (almarhum), juga putra asli Papua pertama yang menjadi hakim. "Dia tak pernah meminta saya terjun ke dunia hukum," ucap Linda. "Tapi dialah inspirator saya."

    Semasa Linda remaja, sang ayah kerap mengatakan punya misi membuat masyarakat Papua sadar dan melek hukum. "Saya ingin melanjutkan cita-cita itu," ujar Linda.

    Lulus jurusan hukum dari Universitas Merdeka, Malang, Linda mengawali karier sebagai hakim di Pengadilan Negeri Mimika pada 2002-2003. Setelah itu, ia pindah tugas ke Jayapura, Probolinggo, dan Sukoharjo.

    Setiap kali pindah tugas, Linda selalu membawa serta dua putri kembarnya. Namun dia tak bisa pindah bersama sang suami, yang juga pegawai negeri di Kabupaten Mimika, Papua. "Ya, paling bisa ketemu sebulan sekali," kata Linda.

    Sebagai pengadil, Linda tak luput dari teror. Dia beberapa kali menerima ancaman dari penelepon gelap berkaitan dengan perkara yang ia tangani. Namun semua itu tak menyiutkan nyali Linda. "Itu risiko. Saya percaya jadi hakim itu misi mulia," ujarnya.


    Siami
    Pantang Mundur untuk Jujur

    PERISTIWA lima tahun lalu itu masih membekas di ingatan Siami. Warga Kelurahan Sememi, Benowo, Surabaya Barat, ini pelapor praktek sontek massal di Sekolah Dasar Negeri Gadel 2, Surabaya, pada 2011. Putra sulungnya, Alifah Ahmad Maulana, yang menjadi korban. "Ini masalah moral," kata perempuan 37 tahun itu, Senin pekan lalu.

    Ketika itu Alifah dipaksa wali kelas, Fatkurahman, memberikan jawaban semua mata pelajaran ujian nasional kepada teman-temannya. Di kelasnya, Alifah selalu menempati peringkat pertama. Empat hari setelah ujian nasional selesai, Alifah menceritakan kejadian itu kepada ibunya. Siami melaporkannya kepada kepala sekolah keesokan harinya, tapi laporan itu tidak digubris.

    Tak mau kasus itu menguap begitu saja, Siami membawa masalah tersebut ke Dinas Pendidikan Surabaya. Dinas langsung membentuk tim independen. Kurang dari sebulan, tim bekerja dan menemukan bukti praktek sontekan massal itu. Tiga guru yang terlibat kemudian dijatuhi sanksi, termasuk wali kelas Alifah.

    Lantaran kasus tersebut, Siami dan keluarga mendapat perlakuan tak sedap dari tetangganya di Karangpoh, Surabaya, lokasi sekolah dasar itu berada. Sebagian adalah orang tua yang anaknya ikut menyontek dari anak Siami. Ibu dua anak itu diusir dari Karangpoh.

    Sempat tinggal di rumah orang tuanya di Desa Sedapurklangen, Gresik, Siami akhirnya hijrah ke Kelurahan Sememi. Dia mengatakan tidak menyesali keputusannya melaporkan praktek sontek massal dan akan melakukannya jika perbuatan tercela itu kembali terjadi di sekolah anaknya. "Saya akan terus melawan," ujarnya.


    Werni M. Sinlae
    Cegah Sontek di Rote Ndao

    TAHUN lalu Werni M. Sinlae hampir dipecat dari tempat dia mengajar, Sekolah Dasar Negeri Daepapan, Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Ancaman itu datang dari kepala sekolah. Alasannya, wanita 31 tahun ini meminta para muridnya tidak melihat bocoran jawaban saat ujian nasional (UN).

    Menjawab ancaman kepala sekolah, Werni menyatakan akan mengundurkan diri.

    Guru honorer lulusan Universitas Terbuka Rote Ndao ini berkeras menentang kebiasaan menyontek di sekolahnya. "Kepala sekolah kaget," katanya Senin pekan lalu. Dia tak jadi dipecat.

    Werni mengaku punya pengalaman pahit dengan sontekan saat ujian. Di Rote, sejak SD sampai SMP, dia selalu mendapatkan kunci jawaban dari guru saat UN. Melanjutkan sekolah ke SMAK 1 Kota Kupang, ibu kota NTT, dia mengira akan kembali mendapatkan bocoran jawaban pada UN 2005. Nyatanya, sampai bel berbunyi, tak ada sontekan. "Saya tidak lulus ujian bahasa Indonesia," ujarnya. Makanya Weni menentang kebiasaan memberikan kunci jawaban.

    Selain mengajar pendidikan kewarganegaraan di sekolah, wanita lajang ini membuka taman baca dan mengajar les di rumah. Dia berjualan jagung dan ubi untuk menambah pendapatan. Maklum, gaji guru honorer cuma Rp 250 ribu per bulan.

    Meski demikian, Werni kerap menyempatkan diri mengunjungi guru lain, mengajak mereka turut mendorong siswa giat belajar, bukan memanjakan dengan kunci jawaban. "Kejujuran dan belajar itu bibit yang harus ditanam dan dirawat," katanya.


    Asfinawati
    Jatuh-Bangun Pembela Publik

    BAGI para anggota Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Asfinawati figur istimewa. Menurut mereka, pengacara 40 tahun ini menunjukkan kesungguhan dalam membela kelompok miskin. "Saat kawan-kawan goyah dan lelah, Asfi menjadi panutan kami," ujar Muhammad Isnur, salah seorang anggota LBH Jakarta, Senin pekan lalu.

    Asfi menyelesaikan tugasnya sebagai pengacara publik di LBH Jakarta tujuh tahun lalu. Tiga tahun terakhir, ia menjadi Direktur LBH Jakarta. Tapi, hingga kini, ia belum meninggalkan tanggung jawab advokasi. Pekan lalu, perempuan kelahiran Bitung, Sulawesi Utara, ini masih beracara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    Keteguhan hati Asfi menjadi pengacara publik berawal 16 tahun silam. Ketika itu, ia masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan magang menjadi asisten pengacara publik LBH Jakarta. Tim LBH hendak membela para buruh yang berbulan-bulan tidak digaji. Namun para buruh itu memutuskan tidak menempuh jalur persidangan. Mereka memilih dipecat dan menerima uang pesangon yang jumlahnya kecil.

    Asfi tahu, hak mereka sebenarnya masih bisa diperjuangkan. Tapi, menurut dia, hukum di Indonesia tidak menjamin keadilan bagi kaum buruh. Apalagi persidangan bisa memakan waktu setahun lebih sebelum memiliki putusan yang berkekuatan tetap. "Seorang buruh bilang anaknya hampir sebulan tidak minum susu, jadi ia terpaksa mengambil uang pesangon," ujar Asfi menceritakan kejadian itu, Senin pekan lalu. "Saya sangat kaget. Ucapan itu masih membekas di hati saya."

    Asfi merasakan susahnya memenangkan masyarakat miskin. Dari seratusan perkara yang ditangani, ia kalah lebih dari setengahnya. Ia mengaku sering merasa frustrasi, tapi kemudian selalu bangkit. Ketika menangani kasus, kata dia, "Saya bekerja untuk saya, keluarga, dan bangsa. Ini nilai yang saya pertahankan."

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus