Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Memacu Pertumbuhan dari Desa

PULUHAN tahun menjadi daerah tertinggal karena terletak di daerah perbatasan tak menyurutkan langkah Yansen Tipa Padan melahirkan inovasi untuk memacu pertumbuhan Kabupaten Malinau. Mengubah pola pemerintahan menjadi prioritasnya di samping membangun infrastruktur dan membuka akses informasi.Langkah Yansen mendistribusikan 31 kewenangan bupati ke 109 kepala desa dan pemberian dana desa berhasil mengangkat perekonomian daerah. Angka kemiskinan daerah turun dari 15,31 persen pada 2010 menjadi 7,26 persen pada 2015. Di tangannya, Malinau naik kelas, dari daerah tertinggal menjadi berkembang.

30 Januari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENUNGGANG sepeda motor trail seorang diri menjadi rutinitas Yansen Tipa Padan setiap sore selepas jam kantor. Bupati Malinau, Provinsi Kalimantan Utara, ini sudah terbiasa melesat melewati jalan raya Sempayang, Kecamatan Malinau Barat, tanpa pengawalan voorrijder.

Warga yang berselisih jalan dengannya tak sungkan membunyikan klakson untuk menyapanya. "Setelah kerja, beliau memang sering mengendarai sendiri," ujar Aan Hartono, Kepala Bidang Pendataan dan Pelaporan Badan Perencanaan Daerah Malinau, yang menemani Tempo melihat aksi sang Bupati pada 4 Januari lalu.

Waktu yang ditempuh Yansen berkendaraan sekitar 25 menit dari rumah dinas menuju kantor. Lelaki kelahiran Pa'Upan, Nunukan, Kalimantan Utara, ini mengatakan memilih kendaraan bertipe off-road tersebut untuk mempermudah ketika harus meninjau daerah-daerah di Malinau, terutama desa di pedalaman hutan, yang jalannya masih tanah merah.

Baginya, keluar-masuk desa yang jaraknya puluhan kilometer bukan hal baru. Yansen melakukannya sejak April 2011, saat terpilih menjadi Bupati Malinau. Dalam benaknya, desa adalah perangkat pemerintah yang paling penting untuk memajukan daerah, baik dari segi perekonomian, pendidikan, maupun kesejahteraan.

Menurut dia, agar efektif dan ideal, caranya masyarakat sendiri yang harus merumuskan kebutuhan, lalu pemerintah menyetujuinya. "Selama ini pembangunan berkonsep saja, enggak jalan," katanya. "Seperti sakit perut dikasih obat sakit kepala."

Menurut Yansen, ada 109 desa di Kabupaten Malinau yang mesti digarap untuk memacu pertumbuhan daerah. Sebagai langkah awal, dia membuat sebuah program yang diberi nama Gerakan Desa Membangun (Gerdema) pada 2011. Konsepnya pembangunan dari desa, lalu ke pemerintah daerah.

Satu tahun kemudian, pemerintah Malinau menggelontorkan dana desa (Gerdema) masing-masing berkisar Rp 1-3 miliar untuk setiap desa. Besaran dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ini tergantung kondisi desa, jumlah penduduk, dan akses jalannya. "Terserah mereka maunya untuk apa, asalkan sesuai dengan kebutuhan dan rembukan setiap warga," ujar Yansen. "Seperti rumus sabun, semakin bergerak dari bawah, akan muncul busa ke atas atau terasa efeknya."

Program ini mendapat respons bagus, dan pembangun desa-desa mulai menggeliat. Desa Long Pada, Kecamatan Sungai Tubu, misalnya, dengan jarak enam jam melintasi pegunungan, dari Kabupaten Malinau menggunakan mobil, kondisi jalan berlumpur, dan harus menggunakan perahu kecil untuk sampai lokasi, mendapat dana Rp 1,2 miliar.

Akai Irang, warga Desa Long Pada, mengatakan dana itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan warga, seperti membangun dan merenovasi rumah, jembatan, jalan, dan irigasi perkebunan. Menurut dia, dulu masyarakat tidur, masak, serta makan di satu tempat dan bersama hewan peliharaan. "Sekarang rumahnya bagus, dua kamar, ruang tamu, dan dapur."

Kepala Subdirektorat Peningkatan Kapasitas Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Gensly memuji inovasi pengembangan desa yang dibuat Yansen. Menurut dia, program itu benar-benar melibatkan masyarakat desa untuk membangun daerah dan menyejahterakan diri. "Malinau juga memberikan dana ke desa jauh sebelum program pemerintah Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla pada 2014," ujarnya.

l l l

BUKAN hal mudah bagi Yansen untuk membangun daerah dari desa. Keinginan itu harus dia tahan selama 15 tahun, sejak menjabat Camat Kayan Hilir. Daerah itu terpelosok. Warganya juga lebih senang ke Malaysia ketimbang ke Malinau. Jarak ke negeri Jiran hanya empat-lima jam, sedangkan ke Malinau memerlukan waktu berhari-hari melalui jalur darat ataupun sungai, paling cepat menggunakan pesawat terbang.

Yansen juga melihat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat daerah itu tertinggal. "Pemerintah dan pembangunan terkesan tidak hadir di desa-desa," katanya. Karena Yansen tak memiliki wewenang membuat kebijakan, keinginan itu ditanam di dalam hatinya.

Upaya membangun daerah dari desa pertama kali dibuat Bupati Malinau Marthin Billa pada 2001-2011. Martin menerapkan program Gerakan Membangun Desa Mandiri (Gerbang Dema). Konsepnya, membantu pembangunan di desa dengan cara memberikan sejumlah dana ke desa. Kebutuhan pembangunannya dirancang oleh pemerintah daerah. Namun program itu tidak jalan karena tidak melibatkan masyarakat desa.

Yansen akhirnya mempunyai kekuatan untuk membuat kebijakan daerah setelah menang dalam pemilihan kepala daerah pada 2011. Sesudah dilantik, Yansen langsung mencanangkan perubahan pola pemerintahan. Caranya dengan membagi kekuasaan pemerintah daerah ke desa. Menurut Yansen, seorang kepala daerah tidak akan mampu membangun wilayahnya sendiri dan harus dibantu oleh masyarakat.

Untuk peningkatan kualitas, dilakukan pelatihan bagi kepala desa, camat, dan perangkat kerjanya di daerah setempat atau di Malinau. Materinya berupa tahap perencanaan anggaran, pembiayaan, pengawasan, evaluasi, dan pertanggungjawaban setiap program dari dana desa. Penataran itu melibatkan motivator, ahli, dan pihak universitas.

Yansen mengatakan pelatihan itu sangat penting karena kepala desa akan mendapatkan dana Gerdema minimal Rp 1 miliar. Menurut dia, kepala desa mesti bisa mempertanggungjawabkan penggunaan dana tersebut.

Selain diberi pengertian hukum, peserta pelatihan dibekali cara membuat anggaran desa melalui musyawarah warga. Lalu berlanjut ke lembaran pertanggungjawaban jika anggaran sudah diberikan pemerintah. Pencairannya bertahap, tiga kali dalam setahun, dengan pengawasan dari lembaga partisipasi dan pemberdayaan masyarakat desa.

Ketika konsep itu dimulai, sempat muncul penolakan. Tak hanya dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tapi juga dari bawahannya di satuan kerja perangkat daerah. Alasannya, menurut Yansen, jika program sudah berjalan, seluruh kebutuhan masyarakat akan disusun dari tingkat bawah. Dampaknya, semua pihak akan kehilangan fungsi pengadaan ataupun anggarannya dipotong.

Untuk menguatkan kewenangan kepala desa, Yansen mengeluarkan Peraturan Bupati Malinau Nomor 13 Tahun 2011 tentang penyerahan urusan pemerintahan Kabupaten Malinau kepada desa. Isinya, memberikan 31 kewenangan yang dimiliki bupati, seperti penyediaan benih untuk pertanian dan bantuan pembangunan rumah. Aturan itu pun mengalami perubahan dua tahun kemudian tanpa menghilangkan pemberian wewenang. "Kalau nanti berganti pemimpin dan ingin mengganti program, harus ubah dulu aturannya," ujarnya.

l l l

BERHASIL menyiapkan konsep baru pola pemerintahan, sejak 2012, Yansen memulai kegiatan distribusi anggaran untuk desa-desa lewat program Gerdema. Tahun itu, pemerintah daerah menggelontorkan dana Rp 125 miliar untuk 109 desa.

Meski berjalan, awalnya program itu mendapatkan banyak kendala. Misalnya, ada kepala desa yang meminjam dana proyek untuk kepentingan pribadi. Walhasil, pekerjaan molor. "Kepala desa itu diberhentikan. Namun program tetap berjalan, karena saya yakin setiap orang punya kejujuran," ucap Yansen.

Roben Aso Acang, 66 tahun, juga menikmati program tersebut. Ia menunjuk sawahnya yang terletak di Desa Lidung Kemenci, Kecamatan Mentarang. Sebelumnya, dia kesulitan mengolah sawah karena terbatasnya dana untuk membeli bibit dan obat antihama. Sekarang semua biaya itu dipenuhi dana desa. "Kini hanya modal tenaga," kata Roben. Sekali panen, Roben bisa mendapatkan 1,1 ton beras dari lahan seluas 1 hektare miliknya.

Begitu juga di Long Pada. Puluhan rumah terbuat dari kayu dengan cat mentereng sangat menyita perhatian. Rumah-rumah itu merupakan hasil pembangunan dari dana desa. Untuk memutar uang itu agar tidak keluar dari kas desa, setiap proyek yang dikerjakan menggunakan tenaga warganya sendiri.

Berbagai program yang diciptakan Yansen berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonomi Malinau. Pada 2012, pertumbuhan ekonomi di angka 4,23 persen, tahun berikutnya melonjak menjadi 11,55 persen. Sedangkan pada 2015, angkanya mencapai 3,43 persen, terbesar kedua di antara empat daerah lain di Kalimantan Utara, yakni Kota Tarakan 3,9 persen, Kabupaten Bulungan 1 persen, Kabupaten Tana Tidung 3,3 persen, dan Kabupaten Nunukan 0,5 persen.

Pada 2015, Yansen kembali maju dalam pemilihan kepala daerah dan menang melawan pasangan Martin Labo-Datu Muhammad Nasir. Saat itu muncul isu dugaan korupsi pembebasan lahan jalan disertai pembalakan liar yang merugikan negara Rp 13 triliun. "Itu isu berbau politik," ujar Ketua Fraksi Gerindra di DPRD Malinau, Abiah Sidung. Kejaksaan Negeri Malinau, Kepolisian Resor Malinau, Kepolisian Daerah Kalimantan Timur-Kalimantan Utara, serta Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan laporan tersebut tidak benar. "Tim sudah ke lapangan, dan tidak ada pelanggaran hukum," ujar Yudi Triadi, Kepala Kejaksaan Negeri Malinau, kepada Tempo.

Yansen enggan menanggapi dan melawan balik ihwal penyebar isu tersebut. Selain heran terhadap hitungan kerugian negara, selama Yansen menjadi bupati, APBD Malinau tidak pernah mencapai Rp 13 triliun. "Mending saya berfokus bekerja saja," ujarnya.

Terpaan isu miring memang tidak menyurutkan langkah Yansen membuat inovasi. Pada 2017, dia mencanangkan program RT Bersih. Sebanyak 381 rukun tetangga (RT) akan diberi dana Rp 260 juta pada tahun ini. Penerapannya seperti dana desa. Selain itu, dia menggeliatkan program beras daerah, yaitu membeli beras dari petani dengan harga tinggi dan menjualnya dengan harga pasar. "Agar uang berputar di desa dan perekonomian pasti naik."


Kabupaten Malinau

Terletak di bagian utara Kalimantan. Dulu tergabung dengan Kalimantan Timur, lalu memisahkan diri pada 2012 dan bergabung dengan Provinsi Kalimantan Utara. Penduduknya lebih banyak tinggal di desa, termasuk di pedalaman hutan.

luas:
40.088 kilometer persegi

Populasi:
77.492 jiwaJumlah kecamatan:
15

Jumlah desa:
109

Program Unggulan

Gerakan Desa Membangun (Gerdema):
Memberikan 31 kewenangan bupati ke 109 kepala desa agar bisa membangun daerahnya. Pemerintah juga memberikan dana untuk membangun desa itu Rp 1-3 miliar mulai 2012.

Rapi, Tertib, Bersih, Sehat, Indah, dan Harmonis (RT Bersih):
Memberikan dana Rp 260 juta ke setiap rukun tetangga (RT) untuk membangun daerahnya. Ada 381 RT di Malinau.
Beras Daerah (Rasda):Menolak program beras untuk rakyat miskin dari pemerintah pusat. Memilih membeli beras dari petani di Malinau dengan harga mahal, lalu menjual kembali ke masyarakat dengan harga normal.

Wajib Belajar 16 Tahun:
Pemerintah membebaskan biaya sekolah dari tingkat pendidikan anak usia dini hingga sekolah menengah atas.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Triliun)
201120122013201420152016
1.62.12.52.41.81.4

Dana Gerakan Desa Membangun (Miliar)
20122013201420152016
125132.6155204127

Angka Tingkat Kemiskinan (Persen)
201020112012201320142015
15.3112.5711.7110.2110.127.26

Indeks Pembangunan Manusia(Persen)
20112012201320142015
68.1568.8869.847070.15

Pertumbuhan Ekonomi(Persen)
20112012201320142015
3.974.2311.59.263.43

Bupati Malinau
Yansen Tipa Padan

Tempat dan tanggal lahir:
Pa'Upan, Nunukan, Kalimantan Utara, 14 Januari 1960

Partai pengusung:

  • 2011: Demokrat, Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, Hanura
  • 2015: Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Amanat Nasional, Hanura

    Riwayat pendidikan:

  • Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda (1991)
  • Master Administrasi Negara Universitas Brawijaya (2002)
  • Doktor Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (2011)

    Riwayat pekerjaan:

  • Kepala Badan Kepegawaian Daerah Malinau (2001)
  • Sekretaris Daerah Malinau (2002-2009)
  • Staf Ahli Gubernur Kalimantan Timur (2009-2011)
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus