Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GANDAWYUHA adalah nama 460 relief yang terpatri di lorong 2, 3, dan 4 Candi Borobudur. Ini adalah relief utama Borobudur. Relief ini bercerita tentang perjalanan spiritual seorang pemuda bernama Sudhana, yang bertemu dengan 53 guru untuk mampu merealisasi potensi diri tertinggi dan membebaskan diri dari karma.
Gandawyuha selama ini tak pernah didiskusikan secara khusus. Padahal relief ini adalah inti Borobudur. Memahami relief ini adalah membuka kunci rahasia untuk mengetahui maksud dan tujuan didirikannya Borobudur. Borobudur Writers & Cultural Festival 2017, yang berlangsung pada 23-25 November 2017, mengambil tema Gandawyuha. Forum tahunan ini mengundang arkeolog, biksu, dan ahli sutra Mahayana khusus untuk mendiskusikan Gandawyuha.
Di samping itu, forum ini membahas Muarajambi, situs yang diperkirakan pada abad VII merupakan sebuah institusi pendidikan Buddhis. Di situlah berbagai pemikiran dan filsafat Buddha dipelajari, termasuk Gandawyuha. Diduga, Muarajambi memiliki hubungan dengan Universitas Nalanda dan Vikramasila, institusi pendidikan Buddhis terbesar di India. Banyak mahasiswa dari Sumatera belajar di Nalanda. Sebaliknya, para pemikir Nalanda, seperti Atisa, juga belajar di Muarajambi. Seorang arkeolog kita melakukan perjalanan ke reruntuhan Nalanda dan membandingkannya dengan situs Muarajambi. Hasilnya dipaparkan di Borobudur Writers. Ikutilah laporan Tempo.
PUKUL lima pagi. Gerimis masih tak henti-hentinya membasahi Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, 25 November itu. Salim Lee, 72 tahun, mengajak sekitar seratus peserta Borobudur Writers & Cultural Festival menapaki dan menjelajahi lorong 2 Borobudur. Meski hujan, mereka sangat antusias. Bermantel dan berpayung, mereka terus mengikuti ke mana perginya Salim.
Salim, di kalangan Buddhis Indonesia, dikenal sebagai seorang yang tekun mempelajari sutra-sutra (uraian-uraian suci) agama Buddha Mahayana. Lelaki asal Semarang itu sehari-hari tinggal di Perth, Australia. Ia mempelajari ajaran Buddha dari banyak guru besar, di antaranya Dalai Lama ke-14, Lama Thubten Zopa Rinpoche, dan Kirti Tsenshab Rinpoche. Pada 1999, Salim diminta Lama Thubten Zopa Rinpoche memberikan bimbingan Dharma di Indonesia. Ia rutin balik ke Indonesia untuk mengajar.
Pagi itu, ia mengajak para peserta membedah langsung relief Gandawyuha di tempat aslinya. Sehari sebelumnya, di pendapa Witarka, Hotel Manohara, Borobudur, ia mengadakan ceramah umum bertajuk "Gandawyuha Kawedhar". Dalam ceramahnya, ia menyatakan Gandawyuha adalah inti Borobudur. Gandawyuha adalah relief utama untuk memahami mengapa Borobudur dibangun dan apa tujuan Borobudur didirikan. Gandawyuha adalah kunci rahasia Borobudur. Relief Gandawyuha sendiri merupakan relief terbanyak di Borobudur. Ada total 460 relief Gandawyuha dari lorong 2 sampai lorong 4 Borobudur.
Di tengah lorong kedua, Salim berhenti. Ia menunjukkan sebuah relief yang menampilkan Buddha bersemadi. "Ini adalah nidanaparivarta atau adegan pembuka Gandawyuha. Untuk memahami Borobudur, kita harus berangkat dari relief ini," katanya. Menurut Salim, relief itu menceritakan Buddha berada di taman Jetavana tengah dikelilingi beribu-ribu muridnya. Para murid itu bertanya kepada Buddha bagaimana cara mencapai potensi tertinggi keberadaan manusia. Buddha kemudian memasuki simhavijrmbhita samadhi atau semadi singa menggeliat, perwujudan yang menerangi dunia.
Selanjutnya, relief Gandawyuha menampilkan kisah pahatan perjalanan anak muda bernama Sudhana berkeliling India mencari kebenaran tertinggi. "Kisah Sudhana adalah jawaban Buddha bagaimana manusia secara bertahap mencapai potensi tertinggi dari hidupnya. Perjalanan Sudhana adalah pedoman bagi umat Buddha untuk mencapai realisasi diri tertinggi," kata Salim.
Di bawah pengarahan bodhisatwa Manjusri, Sudhana akhirnya melakukan pengelanaan jauh ke puluhan kota menemui 53 kalyanamitra (sahabat-sahabat andal) atau para guru. Dari mereka, ia mendapat secercah ilmu pengetahuan yang melengkapi satu sama lain sampai akhirnya ia bertemu dengan bodhisatwa (mereka yang telah mampu membebaskan diri dari hukum karma) Maitreya, lalu ia diajak memasuki bangunan Kutagara melihat berbagai mukjizat. Akhirnya, saat berjumpa dengan bodhisatwa Samantabhadra, ia mengalami penggugahan tertinggi. "Sudhana mengalami kondisi tidak terbelah (non-dual). Sebagai subyek yang mengalami, ia dan obyek yang dialaminya tidak berdiri sendiri, tapi terjadi bersamaan," ujar Salim.
ADALAH "aneh" jika selama ini relief Gandawyuha jarang dikenal di Indonesia. Bahkan belum pernah ada simposium khusus yang diadakan para arkeolog di sini untuk membahas Gandawyuha. "Banyak orang belum tahu Gandawyuha. Apalagi masyarakat awam. Sejak sekolah dasar, saat kita diperkenalkan pada Borobudur, tidak pernah ditonjolkan keutamaan Gandawyuha," kata Romo Mudji Sutrisno S.J., penasihat Borobudur Writers &Cultural Festival.
Padahal, menurut pastor yang rambutnya gondrong dan suka membuat sketsa stupa-stupa Borobudur itu, pengelanaan Sudhana dari guru satu ke guru lain dalam Gandawyuha, di dunia tasawuf muslim, senada dengan pengembaraan santri dari satu pesantren ke pesantren lain untuk belajar ilmu yang berbeda kepada para kiai. Juga senapas dengan penziarahan-penziarahan Katolik. "Perjalanan mencari sangkan paraning dumadi (asal-usul dan tujuan kehidupan) adalah sesuatu yang tak asing dalam spiritualitas Nusantara," katanya. Menurut Mudji, selama ini perbincangan mengenai Borobudur cenderung didominasi pembicaraan mengenai sisi bangunannya atau arsitekturnya. Namun tak banyak dibedah dari sisi rohani atau sutranya.
"Sebagai sutra, di sini Gandawyuha jarang dibicarakan karena tingkat kesulitannya yang luar biasa, teks aslinya menggunakan bahasa Sanskerta dan kemudian terjemahannya banyak bahasa Cina," tutur Salim. Sutra Gandawyuha diperkirakan sudah muncul di India bagian selatan pada abad II Masehi. Gandawyuha adalah bagian terakhir dari sutra yang lebih besar bernama Avatamsaka Sutra. Dari bahasa Sanskerta, Gandawyuha mulai diterjemahkan ke bahasa Cina pada abad V Masehi. Terjemahan Gandawyuha ke bahasa Cina awalnya dilakukan para biksu di Khotan, Asia Tengah, pada abad IV Masehi. Khotan sejak awal Masehi merupakan pusat agama Buddha.
Di Cina, Gandawyuha diterjemahkan menjadi Hua-Yen-Ching, dan mereka yang mempercayainya kemudian berkembang membentuk sekte tersendiri. Di Cina, sutra Gandawyuha menjadi sutra Can. Kemudian, di Jepang, mereka yang mempelajarinya menjadikannya aliran Zen. Begitu populer dan berharganya sutra Gandawyuha sehingga Raja Subhakaradeva dari Orissa, India, pernah menyalin Gandawyuha dengan tinta emas yang ia tulis sendiri, lalu mempersembahkannya kepada Kaisar Tang Dezong (Li Shi) pada 795 Masehi. "Pada zaman itu, Gandawyuha dianggap mewakili zaman keemasan filsafat Buddhis," ujar Salim.
Sampai sekarang, kisah perjalanan Sudhana dalam Gandawyuha pada seni religius di India, Cina, atau Tibet masih digambarkan di kertas atau kain-kain. Namun satu-satunya Gandawyuha yang diukir di atas batu dalam bentuk relief yang panjang dan lengkap sampai 460 relief dari dulu sampai kini hanya ada di Borobudur. Tidak ada yang lain. Karena itulah Gandawyuha Borobudur sangat istimewa.
SESUNGGUHNYA, seorang peneliti yang telah mengkaji dan membandingkan gambar-gambar pengembaraan Sudhana adalah Jan Fontein, kurator dan sejarawan seni Asia yang pernah menjadi Direktur Museum Fine of Arts Boston. Sayang, Jan Fontein baru saja wafat pada 19 Mei lalu pada usia 89 tahun. Fontein pernah membandingkan gambar-gambar atau ilustrasi mengenai pengelanaan Sudhana yang terdapat pada manuskrip-manuskrip tua atau lukisan religius di Cina, Jepang, dengan relief Borobudur. Menurut dia, relief Sudhana di Borobudur merupakan perwujudan paling menarik dari berbagai gambar perjalanan Sudhana.
Pada 1968, Jan Fontein menerbitkan disertasi berjudul "The Pilgrimage of Sudhana: A Study of Gandavyuha Illustration in China, Japan, and Java". Pada 2012, Fontein menerbitkan buku berjudul Entering Dharmadatu: A Study of Gandavyuha Reliefs of Borobudur. Buku ini khusus mengkaji relief Gandawyuha di Borobudur. Ia membahas secara lengkap perjalanan Sudhana dari lorong 2 hingga 4. Ia mengulas 460 relief Gandawyuha satu per satu.
Pada kata pengantar bukunya, Fontein menyatakan penelitiannya menindaklanjuti studi awal Gandawyuha di Borobudur oleh Doktor N.J. Krom (1883-1945) dan Doktor F.D.K. Bosch (1887-1967) . Kedua profesor Leiden University ini adalah pionir peneliti relief Gandawyuha di Borobudur. Pada 1917- tepat 100 tahun lalu- N.J. Krom, yang meneliti Borobudur, berani menyimpulkan bahwa relief di lorong 2 sampai 4 Borobudur berhubungan dengan Gandawyuha. Krom merasa hakulyakin setelah ia mempelajari manuskrip kuno berbahasa Sanskerta tentang perjalanan Sudhana yang ia temukan di perpustakaan Asiatic Society di Kolkata, India. Manuskrip itu disarikan dua peneliti India bernama Rajendralala Mita dan Haraprasad Sastri.
Menurut Fontein, ketika membandingkan manuskrip di Asiatic Society dengan relief di Borobudur, Krom berkesimpulan bahwa naskah Gandawyuha yang dipakai sebagai rujukan pemahat Borobudur adalah versi lebih pendek dibanding naskah Gandawyuha Sanskerta yang disarikan dua peneliti India itu. "Pendapat Krom itu muncul karena para bodhisatwa Manjusri, Maitreya, dan Samantabhadra sering diulang-ulang dipahat di Borobudur," demikian ditulis Fontein dalam kata pengantar bukunya.
Akan halnya F.D.K. Bosch, yang meneruskan penelitian Krom, menurut Fontein, punya pandangan yang berbeda dengan Krom. Bosch menyatakan sumber Gandawyuha yang digunakan para pemahat Borobudur adalah versi lebih panjang atau luas dibanding manuskrip Sanskerta yang dirujuk dua peneliti India tadi. Alasannya, menurut Bosch, jumlah guru yang ditemui Sudhana di relief Borobudur tampak lebih banyak ketimbang yang diungkapkan di manuskrip Asiatic Society, Kolkata.
Fontein sendiri dalam penelitiannya menapak lebih jauh dari apa yang Krom dan Bosch lakukan. Dibanding Krom dan Bosch, Fontein lebih banyak menggunakan bahan terjemahan Gandawyuha, termasuk yang berbahasa Cina dan Jepang yang tak dikuasai Krom dan Bosch- tapi dikuasai Fontein karena studinya di Leiden adalah sastra Cina dan sastra Jepang. Dengan sangat rinci, Fontein menganalisis tiap relief Gandawyuha di Borobudur.
Fontein mengulas perjalanan Sudhana di relief Borobudur yang belum dipecahkan Krom dan Bosch. Misalnya, mengapa Sudhana di tengah-tengah perjalanannya melakukan kunjungan ulang ke Manjusri. Soal duplikasi pertemuan Sudhana itu, Fontein menemukan penjelasan saat ia membaca Tanxuaji, naskah Cina yang dibuat Fazang (643-712). Teks itu menerangkan Sudhana ternyata berkunjung dua kali menemui gurunya.
Fontein secara detail membedah satu per satu ilmu yang diberikan tiap guru di relief Borobudur hingga relief Sudhana bertemu dengan bodhisatwa Samantabhadra. Ia juga jeli mengamati posisi tangan atau mudra pada relief. Pada awal relief Gandawyuha, tatkala Buddha di Vihara Jetvana melakukan meditasi Simhavijrmbhita, Fontein misalnya menganalisis posisi tangan Buddha sebagai Vitarka Mudra, bukan Dharma Cakra Mudra seperti umumnya posisi Buddha saat di Vihara Jetvana dalam ikonografi Buddha standar. Menurut Fontein, ini salah satu keunikan Gandawyuha Borobudur.
AJARAN penting pada relief Gandawyuha juga mencakup toleransi. Para kalyanamitra- sahabat-sahabat yang ditemui Sudhana- sangat beraneka ragam. Dari biksu, anak-anak, pelayar, pedagang, dewa Hindu, perempuan penghibur, biksuni, ahli tata bahasa, petapa, sampai pedagang wewangian. "Sudhana berguru pada banyak kalangan tanpa melihat latar belakang ataupun strata sosial berbagai lapisan masyarakat," kata guru besar emeritus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, arkeolog Profesor Dr Noerhadi Magetsari.
Setiap kali bertemu dengan kalyanamitra, pertanyaan Sudhana selalu sama: bagaimana cara hidup sebagai bodhisatwa sehingga bisa mencapai kebenaran tertinggi. Kepada Sudhana, semua kalyanamitra menjawab, "Yang saya ketahui ini. Kalau kamu mau tahu, tanya ke sana." Lalu tiap kalyanamitra menunjukkan kalyanamitra lain.
"Pelajaran yang dipetik adalah belajarlah dari orang-orang yang kamu temui dan jangan meremehkan mereka. Gandawyuha mengajarkan toleransi, wawasan yang luas, dan hati yang terbuka. Sepanjang hidupmu, carilah sampai benar-benar menemukan kebenaran," ujar Salim Lee. Perjalanan Sudhana juga menggambarkan sebuah perjalanan pluralisme. Beberapa guru yang ditemui bukan dari kalangan Buddha, melainkan Hindu. Sudhana, misalnya, bertemu dengan Dewa Siwa. Pertemuan itu tergambar pada panel 104 dinding dalam lantai II candi.
Sudhana pada relief Borobudur digambarkan memakai pakaian mewah dengan banyak pengawal. Ini menandakan dia berasal dari saudagar kaya. Tapi selalu ada gambaran yang sama saat ia bertemu dengan para guru yang melambangkan kerendahan hatinya, yaitu ia duduk bersila dan menyembah. "Ini menggambarkan Sudhana mau mendengar wejangan saat berguru ke banyak kalangan," ucap Dr Niken Wirasanti, arkeolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sudhana, menurut Niken, saat mendatangi banyak tempat juga melakukan semadi. Semadi sebagai ritual dilakukan terus-menerus oleh Sudhana hingga mencapai terang yang sempurna.
Soal semadi ini, menurut Profesor Dr Noerhadi, bukan sekadar ilustrasi sampiran, melainkan prinsip Gandawyuha. Jalan yang ditempuh Sudhana sesungguhnya adalah jalan yoga. Perjalanan Sudhana sebetulnya merupakan perjalanan yoga. Menurut Noerhadi, sutra Gandawyuha sesungguhnya mengandung ajaran filsafat yogacara. Filsafat yogacara adalah sebuah aliran filsafat dalam agama Buddha Mahayana yang mengarah ke filsafat idealisme.
Noerhadi menyebutkan filsafat yogacara juga menjadi landasan bagi aliran tantra. Noerhadi melihat Borobudur mengintegrasikan dua aliran besar agama Buddha Mahayana, yaitu ajaran Mahayana dan Tantrayana. Dan integrasi itu dilakukan melalui filsafat yogacara. Di Candi Borobudur, setelah menyelesaikan mengitari lorong 4 Borobudur, kita akan naik memasuki teras melingkar. Teras ini melambangkan dunia dharmadhatu, yang menampilkan Buddha berbagai penjuru dan Buddha di stupa-stupa berongga. Di kawasan ini, muncul apa yang disebut sistem pentad atau panca tathagata: Buddha Amitabha yang menghadap ke barat, Buddha Aksobhya yang menghadap ke timur, Buddha Ratnasambhawa yang menghadap ke selatan, Buddha Amoghasiddi menghadap ke utara, dan Buddha Vairocana di dalam stupa berongga.
Sistem pentad ini, menurut Noerhadi, dikenal sebagai metode ibadah aliran tantra. Terutama kalangan pengikut tantra yang mendasarkan diri pada Guhyasamaja Tantra. Seorang yogi, melalui Anuttara Yoga, dengan mengarahkan diri kepada sistem pentad ini, akan menyucikan diri dan berusaha meninggalkan badan yang dikuasai karma. "Kemampuan pendiri Borobudur mengintegrasikan aliran-aliran yang bermacam-macam menuju satu ajaran kebuddhaan itu yang luar biasa. Sementara di luar Indonesia aliran ini pecah menjadi dua, di Borobudur malah dapat dipersatukan," kata Noerhadi.
SALIM Lee sendiri kini bersama timnya sedang menerjemahkan sutra Gandawyuha ke bahasa Indonesia. Kegiatan tersebut dimulai pada 2010. Salim dan timnya mempelajari sutra Gandawyuha dari berbagai sumber. Menurut Salim, bila hanya merujuk pada satu terjemahan, timnya mengalami kesulitan. Dalam terjemahan versi bahasa Inggris, misalnya, banyak kata yang terjemahannya kurang tepat. Maka timnya juga menggunakan versi bahasa Mandarin dan Sanskerta. Selain itu, Salim dan timnya menggunakan rujukan disertasi dan tesis tentang Gandawyuha dari pakar-pakar, seperti Thomas Cleay, Luis Gomez, Douglas E. Osto, Jan Fontein, dan Mark Allan Ehman.
Kemampuan para pendiri Borobudur menampilkan 460 relief Gandawyuha, menurut Salim, menunjukkan kokohnya kebudayaan Nusantara. Agama Buddha yang datang dari India masuk ke Indonesia tidak ditelan mentah-mentah atau glondongan. Tapi agama itu ditelaah, dipertimbangkan, dipelajari, disesuaikan, dan diterima masyarakat. Ukiran Gandawyuha pada Borobudur, baik motif maupun gayanya, menurut Salim, misalnya 100 persen menggunakan ukiran Jawa. "Ini menunjukkan kebudayaan Nusantara akomodatif serta cerdas dan penuh percaya diri," kata Salim.
Shinta Maharani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo