Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Menguatnya Kami, Melemahnya Kita

Salah satu fenomena yang tengah marak akhir-akhir ini adalah persekusi.

17 Desember 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anindita S. Thayf

Salah satu fenomena yang tengah marak akhir-akhir ini adalah persekusi. Serupa virus penyakit, ia sanggup berbiak dan menulari siapa pun. Membuat sekelompok masyarakat menjelma menjadi hakim bagi sesamanya. Rasa persaudaraan bersulih dengan kebencian yang mudah meletup. Kenyataan ini menunjukkan menguatnya kata "kami" dalam kehidupan masyarakat.

Para pendiri bangsa memulai segala sesuatu dengan kata "kami". Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 diawali dengan kalimat "Kami putra/putri Indonesia...". Kata "kami" dipilih untuk mengukuhkan pernyataan bahwa seluruh putra/putri Indonesia merupakan saudara yang berbangsa dan bertanah air satu Indonesia serta berbahasa persatuan bahasa Indonesia. Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia juga dibuka dengan kalimat "Kami bangsa Indonesia...". Sebuah peneguhan bahwa bangsa Indonesia sebagai "kami" telah menjadi bangsa yang merdeka.

Kata "kami" juga dipakai dalam sastra. Umpamanya, salah satu puisi Chairil Anwar yang terkenal dibuka dengan kalimat "Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi". Serupa Sumpah Pemuda dan teks Proklamasi, Chairil berbicara atas nama "kami".

Dalam dua peristiwa penting bersejarah dan puisi di atas, para pendiri bangsa dan penyair memilih kata "kami" untuk membedakan diri dengan penjajah. Di tengah masa perjuangan melawan kolonialisme, penggunaan kata "kami" bisa dilihat sebagai peneguh identitas nasional sebuah bangsa yang akan dan/atau baru lahir.

Namun, dalam perkembangannya, kata "kami" justru menguat demi menebalkan sikap primordial. Jadilah "kami", yang semula untuk menyatukan sebuah bangsa yang sejak awal memang terdiri atas banyak hal berbeda, justru terpecah-pecah di tengah perjalanannya. Tak aneh, pada zaman Orde Lama, lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1959 yang membatasi ruang gerak penduduk keturunan Tionghoa. Ini terjadi karena etnis keturunan Tionghoa, yang juga terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, tidak lagi dianggap sebagai "kami", tapi "kalian". Peraturan pemerintah itu diprotes keras oleh Pramoedya Ananta Toer lewat karyanya, Hoakiau di Indonesia.

Kata "kami" kian kuat saat Orde Baru berkuasa. Kelompok-kelompok minoritas, baik dalam hal agama, kepercayaan, maupun etnis, didepak dari kata "kami". Keturunan Tionghoa yang ingin menjadi bagian dari "kami" diwajibkan mengganti namanya. Adapun para penganut aliran kepercayaan diwajibkan masuk ke lingkaran "kami"lewat pilihan Lima Agama Resmi yang diakui pemerintah.

Sekat-sekat dalam masyarakat pun kian tinggi seiring dengan kian sering dikumandangkannya kata "kami" dan "kalian". Maka, ketika Orde Baru runtuh, kerusuhan antar-suku, agama dan etnis pecah tak terkendali di sejumlah tempat. Tersebab etnis minoritas diancam isu rasial, sebagai pihak yang terancam, kaum minoritas ini sungguh berharap mendapat tempat dalam golongan mayoritas agar terlindungi. Tulisan "Milik Pribumi" adalah usaha terakhir mereka untuk menjadi bagian dari "kami".

Proses reformasi tidak pula berhasil melemahkan kata "kami". Di era demokrasi elektoral dan otonomi daerah, kata "kami" kian kuat dengan caranya sendiri. Sebagai turunan kata "kami", bermunculan kata "putra daerah", "warga pendatang", dan yang terakhir kata "pribumi". Berbagai bentuk persekusi yang banyak terjadi belakangan merupakan cerminan begitu hegemoniknya kata "kami" di negeri ini.

Bahasa Indonesia membedakan kata "kami" dan "kita". Demikianlah ciri khas bahasa Indonesia yang tidak dikenal bahasa Inggris, yang hanya mengenal kata we. Juga bahasa Belanda, yang hanya mempunyai kata wij. Walaupun sama-sama kata ganti orang pertama jamak, kata "kami" dan "kita" sesungguhnya memiliki arti yang berbeda.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan "kami" sebagai "yang berbicara bersama dengan orang lain (tidak termasuk yang diajak berbicara); yang menulis atas nama kelompok, tidak termasuk pembaca". Adapun kata "kita" dalam KBBI diartikan sebagai "pronomina persona pertama jamak, yang berbicara bersama dengan orang lain termasuk yang diajak bicara". Dengan demikian, kata "kita" mencakup "saya", "dia", "kamu", dan "mereka", sedangkan "kami" hanya mencakup "saya" dan "kelompok" yang berada dalam satu barisan.

Kenyataan hari ini memperlihatkan kata "kita" telah ditenggelamkan kata "kami". Akibatnya, kalimat yang sering terdengar, entah di dunia nyata entah di dunia maya, sebagian besar disertai kata "kami": "kami umat beragama...", "kami suku...", "kami partai...", "kami golongan...", dan sebagainya. Melemahnya kata "kita" menyebabkan nilai-nilai kemanusiaan kian sempit dan kerdil pula. Kemanusiaan bukan lagi berlandaskan "kita", melainkan "kami". Dalam bayang-bayang sejumlah jargon yang seolah-olah heroik, seperti "NKRI Harga Mati" atau "Saya Indonesia, Saya Pancasila", sesungguhnya "kita" tengah sekarat.

Sebuah kata bukanlah semata-mata barisan huruf dan apa yang dilafalkan lidah, melainkan sesuatu yang mengandung ideologi di baliknya. "Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh" adalah ungkapan bijak yang benar-benar mesti kita pikirkan kembali sebelum semuanya terlambat. l

Novelis dan esais

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus