Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SATIYAH tak menyangka demam yang diderita putra sulungnya, Vahrizal, 25 tahun, sejak Sabtu dua pekan lalu bukan panas biasa. Gara-gara penyakit ini, Vahrizal harus menginap di ruang isolasi Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Tanjung Priok, Jakarta Utara. "Anak saya sakit difteri," kata Satiyah, 45 tahun, Senin pekan lalu.
Badan Vahrizal panas dan menggigil. Ia merasakan kondisinya membaik setelah menelan puyer penurun panas. Beberapa jam kemudian, badannya menggigil lagi. "Diberi obat yang lain juga enggak mempan. Ini kok sakitnya aneh," kata Satiyah.
Warga Depok ini kemudian diboyong ke rumah sakit terdekat. Dokter yang memeriksanya langsung curiga saat mendapati selaput keabu-abuan di mulut bagian dalam, gejala khas penyakit difteri. Vahizal lalu dirujuk ke RSPI Sulianti Saroso. "Di rumah sakit Depok itu, obatnya enggak ada," ujar Satiyah.
Vahrizal adalah satu dari 33 pasien yang dirawat di RSPI Sulianti Saroso pada Senin pekan laluakibat difteri. Di rumah sakit itu, jumlah pasien difteri, yang biasanya 3-4 orang per bulan, mendadak melonjak sejak awal Desember.Dua dari tiga penderitanya adalah anak-anak dan sebagian merupakan pasien rujukan dari daerah lain. "Ada yang dari Depok, Tangerang, Bekasi," ujar Direktur Utama RSPI Sulianti Saroso, Rita Rugoyah.
Sebulan terakhir, jumlah pasien difteri meningkat di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Kementerian Kesehatan menyatakan kasus di tiga daerah tersebut sebagai kejadian luar biasa dan melakukan outbreak response immunization (ORI)- tindakan vaksinasi setelah merebaknya suatu penyakit- untuk anak sampai usia di bawah 19 tahun. "Ada 11 yang dinyatakan ORI tahun ini, daerah lain sudah melewati dan sudah berkurang kasusnya," kata Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek.
Difteri menyerbu tanpa kenal waktu. Sepanjang tahun, penyakit tersebut ada di Indonesia. Sampai pertengahan Desember, ada 714 penderita yang dilaporkan dari 25 provinsi, 38 di antaranya meninggal. Jumlah ini jauh lebih banyak dibanding dua tahun terakhir.
Bisa dibilang penyakit purba, difteri yang ditemukan sejak abad kelima ini merajalela di semua sudut di seluruh dunia. Data yang dipublikasikan Center for Disease Control and Prevention- lembaga di bawah Kementerian Kesehatan Amerika Serikat- menunjukkan, di Negeri Abang Sam saja, jumlah penderitanya mencapai206 ribu pada 1921, dengan 15.520 di antaranya meninggal.
Mulai 1920-an, jumlah penderita penyakit tersebut menurun drastis sejak dikembangkannya vaksin. Dalam rentang 2004-2015, hanya tercatat dua kasus di Amerika. "Di sana, ketika mendaftar sekolah, mendaftar kuliah, mereka mesti menunjukkan bukti sudah divaksinasi lengkap," kata Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Aman Bhakti Pulungan.
Sayangnya, penyusutan setajam ini tak terjadi di Indonesia. Vaksinasi memang disediakan pemerintah sejak 1977. Penyakit tersebut pun hampir lenyap pada 1999 karena masifnya imunisasi wajib kala itu. Namun, pada 2005, difteri kembali melonjak sampai 1.031 kasus dan hingga kini penyakit tersebut masih eksis. "Karena ada orang yang tak mau atau tak disiplin imunisasi," ujar Nila Moeloek. Sepanjang tahun ini, misalnya, dua dari tiga penderita difteri tak pernah diimunisasi dan hampir satu dari tiga orang sisanya tak divaksinasi lengkap.
Soal ketidakdisiplinan ini diakui Satiyah. Kerepotannya menjadi orang tua tunggal, yang harus mengurus rumah sekaligus mencari nafkah, membuatnya tak acuh terhadap jadwal imunisasi wajib anak-anaknya. Tiga anaknya jadi sering bolos ke pos pelayanan terpadu (posyandu). "Salah saya yang tidak menyempatkan diri," tuturnya.
Lain lagi dengan Yuliati, 44 tahun, yang memilih tak memvaksinasi anak keempat dan kelimanya. Guru sekolah menengah atas di Surabaya ini merasa tak ada perbedaan antara anak yang divaksinasi dan yang tidak. Tiga anak pertama Yuliati semuanya diimunisasi. "Pemerintah silakan menggalakkan gerakan imunisasi, tapi tetap itu semua kembali ke orang tuanya. Enggak perlu memaksakan sampai ke sekolah-sekolah, lalu membuat takut masyarakat," katanya.
DIFTERI adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Kuman ini memproduksi racun yang merusak jaringan- biasanya hidung dan tenggorokan. Gejala infeksi di tempat ini sangat khas, yakni munculnya selaput putih keabu-abuan atau kebiruan yang berasal dari sel-sel mati dan bakteri. Infeksi yang menjalar pada kelenjar getah bening di sekitar leher membuat bagian leher membengkak mirip leher sapi. "Disebutbullneck," kata Direktur Medik dan Keperawatan RSPI Sulianti Saroso, Dyani Kusumowardhani.
Toksin yang dikeluarkan bakteri ini dengan cepat menyebar dan bisa menutup jalan napas. Racun tersebut juga bisa merusak saraf, termasuk saraf yang membantu mengendalikan otot pernapasan. Juga dapat menyebar ke organ vital, seperti jantung, yang mengakibatkan gagal jantung. Karena komplikasi ini, rata-rata 5-10 persen penderita difteri meninggal di seluruh dunia.
Masalahnya, penyakit mematikan ini sangat mudah menular dengan menyebar lewat percikan ludah. Semua kelompok usia bisa tertular penyakit ini, terutama anak-anak yang daya tahan tubuhnya belum terbentuk sempurna. "Anak hanya memiliki 60 persen daya tahan tubuh. Makin bertambah usianya, daya tahan tubuhnya meningkat," kata Nila Moeloek.
Satu-satunya jalan untuk mencegah penularan adalah lewat vaksinasi yang diberikan secara bertahap. Ada tujuh rangkaian imunisasi lengkap yang diberikan dari bayi sampai anak kelas V sekolah dasar. Setelah lengkap, salah satu vaksinnya dianjurkan diulang kembali setiap 10 tahun sekali. "Daya tahan tubuh yang sudah dibentuk oleh imunisasi itu bisa menurun, makanya kemudian dijaga dengan pengulangan," kata Dyani.
Kalau imunisasinya sudah lengkap tapi ada ORI, menurut Nila, anak bisa divaksinasi lagi sesuai dengan jadwal ORI. Tak perlu khawatir akan overdosis karena penambahan vaksin ini tak memiliki efek samping, justru akan lebih menguatkan kekebalan tubuh.
Lalu bagaimana dengan orang dewasa yang tak tahu status imunisasinya? Sekretaris Jenderal Kementerian KesehatanUntung Suseno Sutarjo mengatakan, kalau berisiko tertular bakteri, misalnya bekerja di rumah sakit, vaksinasi tiga kali dengan rentang jarak 0-1-6 bulan perlu dilakukan. Tapi, jika kegiatannya tak rentan tertular, imunisasi ini tak wajib dilakukan.
Untuk orang tua yang masih enggan anaknya divaksinasi, Nila meminta mereka tak memikirkan dirinya saja. Selain untuk melindungi diri sendiri, vaksin diperlukan untuk perlindungan komunitas. Suatu lingkungan tak akan terkena dampak virus atau bakteri, yang bisa ditangkal dengan imunisasi, kalau cakupan vaksinasinya paling tidak 95 persen. "Kalau yang sakit dia sendiri, silakan. Tapi kalau dia kemudian menulari yang lain yang daya tahan tubuhnya sedang rendah, bagaimana? Jangan egois," ujar Nila.
Nur Alfiyah, Artika Farmita (surabaya)
Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae, yang biasanya menyerang saluran napas bagian atas, hidung, serta kulit. Difteri sangat mudah menular dan berbahaya karena dapat menyebabkan kematian pada 5-10 persen penderita.
Penularan
Difteri menular dari manusia ke manusia bila terjadi kontak dengan penderita dan carrier (orang yang terinfeksi bakteri tapi tak menunjukkan gejala sakit) melalui percikan ludah yang keluar saat batuk atau bersin, kontak langsung dengan permukaan kulit atau luka terbuka, serta kontak dengan benda-benda yang terkena kuman difteri.
Yang Rentan
Semua kelompok usia bisa tertular penyakit ini, terutama anak-anak yang belum mendapat imunisasi lengkap.
Gejala
- Demam kurang-lebih 38 derajat Celsius
- Ada psedomembran di tenggorokan, yakni selaput berwarna putih keabuan atau kebiruan yang tidak mudah lepas dan mudah berdarah
- Hidung berair
- Bengkak di area leher seperti leher sapi (bullneck)
- Nyeri saat menelan
- Kesulitan bernapas atau sesak napas disertai bunyi
Pencegahan
-3 dosis imunisasi dasar DPT-HB-Hib (difteri, pertusis, tetanus-hepatitis B-haemofilus influenza tipe B) pada usia 2, 3, dan 4 bulan
- 1 dosis imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib pada usia 18 bulan
- 1 dosis imunisasi lanjutan DT (difteri tetanus) untuk anak kelas I sekolah dasar
- 1 dosis imunisasi lanjutan Td (tetanus difteri) untuk anak kelas II SD
- 1 dosis imunisasi lanjutan Td untuk anak kelas V SD
Imunisasi diberikan di sekolah, madrasah, pondok pesantren, pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), pos pelayanan terpadu (posyandu), dan fasilitas kesehatan lain.
Orang yang sudah mendapat imunisasi rutin lengkap juga dianjurkan mengulang kembali divaksin Td atau TdaP setiap 10 tahun sekali.
Orang yang sudah telanjur terkena difteri diberi anti-difteri serum (ADS).
Orang yang telah menderita difteri harus tetap diimunisasi setelah sembuh karena difteri tak memberikan kekebalan kepada penderitanya.
Kasus Difteri
2011
806 kasus
- 38 meninggal (4,71%)
- 18 provinsi, tertinggi di Jawa Timur, 663 kasus (82,3%)
- 54,96% penderita tidak mendapat vaksin
2012
1.192 kasus
- 76 meninggal (6,38%)
- 18 provinsi, tertinggi di Jawa Timur 954 orang (80%)
- 47,32% penderita tidak mendapat vaksin
2014
396 kasus
- 16 meninggal (4,04%)
- 22 provinsi, tertinggi di Jawa Timur 295 kasus (74%)
- 37% penderita tidak mendapat vaksin
2015
252 kasus
- 5 meninggal (1,98%)
- 13 provinsi, tertinggi di Sumatera Barat 110 kasus (43%)
- 37% penderita tidak mendapat vaksin
2016
415 kasus
- 24 meninggal (5,8%)
- 20 provinsi, tertinggi terjadi di Jawa Timur dengan 209 kasus (50%)
- 51%penderita tidak mendapat vaksin
2017(sampai pertengahan Desember)
714 kasus
- 38 meninggal (5,3%)
- 25 provinsi
- 11 provinsi KLB difteri
- Jumlah penderita paling tinggi di Jawa Timur, yakni 265 (44%)
- 66% penderita tidak mendapat vaksin, 31% vaksin tak lengkap, 3% vaksin lengkap
Nur Alfiyah | Sumber: Kementerian Kesehatan, Who
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo