SETENGAH hari saja keluar-masuk kampung Gubernur Jawa Timur,
Soenandar Priyosudarmo, mengeluarkan pujian buat Walikota
Malang, Kolonel R. Soegijono. Bahkan apa yang dilihatnya di
Malang hari itu, kata Gubernur, akan dipakai sebagai pola
perbaikan kampung di kota-kota Jawa Timur lainnya.
Hasil perbaikan kampung itu sendiri sebenarnya tidak terlalu
istimewa. Tapi bahwa perbaikan itu dibiayai oleh swadaya
masyarakat itulah yang menarik perhatian Gubernur. "Kalau memang
bisa dibiayai dengan swadaya mengapa harus pinjam ke Bank Dunia
segala?" katanya. Karena itulah Soenandar mengambil keputusan
hendak meninjau kembali penggunaan pinjaman Bank Dunia untuk
perbaikan kampung di Jatim.
"Saya memang ditawari pinjaman dari Bank Dunia itu, tapi saya
menolak" ujar Walikota Soegijono pada TEMPO. "Sebab kita sudah
mulai melaksanakan perbaikan kampung melalui program Malang Kota
Indah" tambahnya. Caranya? Soegijono sendiri mengakui tidak
mampu menyediakan dana untuk perbaikan 36 kampung yang ada di
Malang. Karena itu Pemda Kotamadya hanya menyediakan dana
perangsang bagi RT/RW yang akan melaksanakan perbaikan
lingkungannya sendiri. "Paling-paling kita hanya menyediakan
biaya kurang dari 25%," katanya. Hanya yang jelas, dengan cara
demikian biaya perbaikan kampung jatuhnya jauh lebih murah
dibandingkan seandainya dikerjakan lewat proyek pemerintah,"
ujar Soegijono bangga.
Untuk memperbaiki gang dan selokan utama di RW, misalnya, hanya
menghabiskan Rp 1.289.000. "Padahal menurut taksiran Kepala DPU
Malang, kalau ditangani pemerintah paling tidak akan menelan
biaya Rp 3 juta," ujar Noor Mohamad Tamamy ketua RW 16 di Jalan
Gereja.
Terbungkus Plastik
Gang-gang model Malang Kota Indah terbuat dari beton. Mengapa?
Di samping lebih murah, memperbaikinya juga mudah. Rusak sedikit
RT atau RW bisa segera memperbaiki. Coba kalau jalan aspal.
"Sulit, karena tidak bisa beli aspal secara ketengan," ujar
Tamamy yang sehari-hari guru SMAN 11 Malang itu.
Lucunya, karena menghindari sejauh mungkin memotong bangunan
milik penduduk, akibatnya lebar gang tidak seragam. Bahkan di
beberapa gang sempit, terpaksa hanya dilebarkan sedikit dengan
memindahkan selokan dari pinggir ke bawah permukaan gang.
Untuk semuanya itu, mengumpulkan biaya yang tak sedikit memang
harus kerja keras. "Tetapi umumnya tidak ada yang keberatan
ditarik biaya," seperti kata Tamamy. Mereka rela patungan mulai
dari Rp 25.000, sampai Rp 1000 -- bisa diangsur selama 4 bulan.
Mula-mula memang ada penduduk yang keberatan diajak memikul
proyek bersama itu. "Tapi karena diberitahu oleh kepala kampung
bahwa Pemda tidak mungkin bisa segera memperbaiki seluruh
kampung yang ada, kami pun tergugah untuk berswadaya," kata
Mustaffa dari RW 5 Lingkungan (kampung) II.
Nah, hasilnya kini sudah mulai dapat dirasakan. Di RW-nya Tamamy
misalnya, sekarang ini, katanya hampir tiap rumah sudah punya
WC. "Dulu semua hajat itu dilepaskan di sepanjang sungai sana,"
ujar Tamamy. "Bahkan sering penduduk mengadu ada kotoran manusia
terbungkus plastik yang dilemparkan ke pekarangannya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini