Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Derita yang praktis

Sutradara: wim umboh produksi: jaya bersaudara pemain: christine hakim, dicky zulkarnaen, ully artha resensi oleh: putu wijaya. (fl)

16 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGEMIS DAN TUKANG BECA Karya/sutradara: Wim Umboh Produksi: Jaya Bersaudara INI cerita tentang Ratih (Ully Artha) dan Sri (Christine Hakim) di Solo. Ratih anak orang kaya, memungut Sri dari panti asuhan, lalu menjadikannya pembantu rumahnya. Setelah dewasa, Ratih yang badung itu melahirkan anak -- tanpa suami. Si anak lantas dirawat Sri, sementara Ratih berhasil memperoleh seorang suami (Dicky Zulkarnaen) untuk menutupi aib tersebut. Babak kedua. Sri lari dari rumah membawa anak Ratih yang bernama Ajeng (Ajeng Triani Sardi). Ia ditolong oleh seorang tukang beca di Surabaya yang bernama Parto (Alan Suryaningrat). Malang pada suatu kali Ratih dan suaminya memergoki -- sehingga Sri dan Parto terpaksa lari karena tak sudi menyerahkan Ajeng. Tujuannya: Jakarta. Di Jakarta, karena ada perkelahian antara rombongan tukang beca dan sopir bus, Sri dan Parto terpisah. Parto menempel pada keluarga seorang tukang beca. Sementara Sri dan Ajeng bertemu dengan gelandangan kecil bernama Mamiet (Lukman Sardi). Akhirnya Sri membawa Mamiet menjadi teman Ajeng. Selama berpisah dengan Parto, Sri sempat mencoba menjadi babu. Ia masuk penampungan calon babu. Tetapi karena cantik dan bawa anak, tak ada yang mau jadi tuannya. Akhirnya ia hampir saja berhasil dipancing seorang germo. Tapi untung Sri tak sanggup melakukannya. Sementara itu terjadilah penggusuran oleh para petugas terhadap rumah liar. Gubuk yang ditumpangi Sri, Ajeng dan Mamiet, kena sikat. Para petugas ternganga melihat tubuh Sri tergeletak -- sementara kedua anak kecil kehabisan akal di sampingnya. Cerita sebenarnya dapat berhenti di sini. Tapi Wim mungkin punya pertimbangan lain -- masih pula dilanjutkan. Film ini mendapat Citra untuk permainan Christine dan Ajeng, editing yang dilakukan Wim serta perekaman suata oleh Kemal Redha. Ia juga menduduki urutan kedua setelah film Teguh Karya 1828. Meski sulit dibandingkan, sebenarnya ia lebih dinamis dan memikat tinimbang 1828. Kalau dalam 1828 kita melihat usaha menekuni karakter dan ambisi untuk memotret keadaan masa lampau secara akurat, dalam film ini kita melihat sebuah sketsa kehidupan yang terampil dan pasih. Wim sama sekali tidak memotret. Ia menuturkan bagaimana perasaannya dan fikirannya terhadap satu keadaan. Cerita kadang ia tuturkan semaunya, sesuai dengan sudut pandangnya. Beberapa bagian yang dia anggap tak penting, disentuh atau dilompati begitu saja. Tapi bagian-bagian yang dia sukai digambarkan secara mendetail. Peralihan masa kecil Sri dan Ratih menjadi dewasa misalnya, disambung langsung saja. Sementara adegan di mana Sri bersama Ajeng dan Mamiet yang kelaparan itu menyaksikan seekor kucing makan nasi ayam, ditahan beberapa lama. Karena didorong semangat yang praktis, film ini terasa segar. Gambar jadi pokok, sedang dialog hanya penopang. Tetapi di lain pihak ia juga menyia-nyiakan kesempatannya untuk menggambarkan manusia secara komplit, meski sebagai tontonan ia memikat dan mengalir dengan banyak kejutan kecil. Kadang ia memaksa kita menerima sesuatu, sehingga akhirnya kita sadar logika yang dipakainya bukan logika umum. Film ini tidak untuk diusut-dicocok-cocokkan dengan kenyataan. Wim seperti nyerocos. Kadang ia terlalu cepat, tetapi tak syak ia dekat dengan problim yang digarapnya. Ada adegan-adegan bagus dalam film ini. Adegan Sri dan kedua anak menyaksikan kucing makan nasi itu, misalnya, bisa ditambah adegan Mamiet berusaha menadah beras yang jatuh dari goni di atas truk. Beras itu jatuh karena Mamiet terjerembab. Kemudian terlihat roda mobil menggilas butir-butir beras. Wim juga menjadi puitis, memamerkan wajah Christine dengan latar belakang yang sugestip -- tatkala ia memutuskan tak mungkin jadi pelacur -- tanpa kata-kata. Dengan judul yang sederhana, Wim sebenarnya bukan membuat cerita tukang beca dan pengemis. Ia bercerita tentang derita orang miskin yang berusaha untuk hidup meski begitu banyak kejadian menghalangi. Wim mengundang kita memandang derita dengan cara praktis. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus