PENGEMIS DAN TUKANG BECA
Karya/sutradara: Wim Umboh
Produksi: Jaya Bersaudara
INI cerita tentang Ratih (Ully Artha) dan Sri (Christine Hakim)
di Solo. Ratih anak orang kaya, memungut Sri dari panti asuhan,
lalu menjadikannya pembantu rumahnya. Setelah dewasa, Ratih yang
badung itu melahirkan anak -- tanpa suami. Si anak lantas
dirawat Sri, sementara Ratih berhasil memperoleh seorang suami
(Dicky Zulkarnaen) untuk menutupi aib tersebut.
Babak kedua. Sri lari dari rumah membawa anak Ratih yang bernama
Ajeng (Ajeng Triani Sardi). Ia ditolong oleh seorang tukang beca
di Surabaya yang bernama Parto (Alan Suryaningrat). Malang pada
suatu kali Ratih dan suaminya memergoki -- sehingga Sri dan
Parto terpaksa lari karena tak sudi menyerahkan Ajeng.
Tujuannya: Jakarta.
Di Jakarta, karena ada perkelahian antara rombongan tukang beca
dan sopir bus, Sri dan Parto terpisah. Parto menempel pada
keluarga seorang tukang beca. Sementara Sri dan Ajeng bertemu
dengan gelandangan kecil bernama Mamiet (Lukman Sardi). Akhirnya
Sri membawa Mamiet menjadi teman Ajeng.
Selama berpisah dengan Parto, Sri sempat mencoba menjadi babu.
Ia masuk penampungan calon babu. Tetapi karena cantik dan bawa
anak, tak ada yang mau jadi tuannya. Akhirnya ia hampir saja
berhasil dipancing seorang germo. Tapi untung Sri tak sanggup
melakukannya.
Sementara itu terjadilah penggusuran oleh para petugas terhadap
rumah liar. Gubuk yang ditumpangi Sri, Ajeng dan Mamiet, kena
sikat. Para petugas ternganga melihat tubuh Sri tergeletak --
sementara kedua anak kecil kehabisan akal di sampingnya. Cerita
sebenarnya dapat berhenti di sini. Tapi Wim mungkin punya
pertimbangan lain -- masih pula dilanjutkan.
Film ini mendapat Citra untuk permainan Christine dan Ajeng,
editing yang dilakukan Wim serta perekaman suata oleh Kemal
Redha. Ia juga menduduki urutan kedua setelah film Teguh Karya
1828. Meski sulit dibandingkan, sebenarnya ia lebih dinamis dan
memikat tinimbang 1828. Kalau dalam 1828 kita melihat usaha
menekuni karakter dan ambisi untuk memotret keadaan masa lampau
secara akurat, dalam film ini kita melihat sebuah sketsa
kehidupan yang terampil dan pasih.
Wim sama sekali tidak memotret. Ia menuturkan bagaimana
perasaannya dan fikirannya terhadap satu keadaan. Cerita kadang
ia tuturkan semaunya, sesuai dengan sudut pandangnya. Beberapa
bagian yang dia anggap tak penting, disentuh atau dilompati
begitu saja. Tapi bagian-bagian yang dia sukai digambarkan
secara mendetail. Peralihan masa kecil Sri dan Ratih menjadi
dewasa misalnya, disambung langsung saja. Sementara adegan di
mana Sri bersama Ajeng dan Mamiet yang kelaparan itu menyaksikan
seekor kucing makan nasi ayam, ditahan beberapa lama.
Karena didorong semangat yang praktis, film ini terasa segar.
Gambar jadi pokok, sedang dialog hanya penopang. Tetapi di lain
pihak ia juga menyia-nyiakan kesempatannya untuk menggambarkan
manusia secara komplit, meski sebagai tontonan ia memikat dan
mengalir dengan banyak kejutan kecil. Kadang ia memaksa kita
menerima sesuatu, sehingga akhirnya kita sadar logika yang
dipakainya bukan logika umum. Film ini tidak untuk
diusut-dicocok-cocokkan dengan kenyataan. Wim seperti nyerocos.
Kadang ia terlalu cepat, tetapi tak syak ia dekat dengan problim
yang digarapnya.
Ada adegan-adegan bagus dalam film ini. Adegan Sri dan kedua
anak menyaksikan kucing makan nasi itu, misalnya, bisa ditambah
adegan Mamiet berusaha menadah beras yang jatuh dari goni di
atas truk. Beras itu jatuh karena Mamiet terjerembab. Kemudian
terlihat roda mobil menggilas butir-butir beras. Wim juga
menjadi puitis, memamerkan wajah Christine dengan latar belakang
yang sugestip -- tatkala ia memutuskan tak mungkin jadi pelacur
-- tanpa kata-kata.
Dengan judul yang sederhana, Wim sebenarnya bukan membuat cerita
tukang beca dan pengemis. Ia bercerita tentang derita orang
miskin yang berusaha untuk hidup meski begitu banyak kejadian
menghalangi. Wim mengundang kita memandang derita dengan cara
praktis.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini