Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Yang Bahaya Dengan Kompring

Dirjen POM, dr. Midian Sirait melarang penjualan kompring di apotik karena bukan obat dan tak terdaftar pada depkes sebagai obat tradisionil. Pemakaian jangka panjang mengakibatkan tumor pada hati.(ksh)

16 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARGA comfrey (kompring, kata orang Surabaya) jatuh sekali -- dari Rp 20.000 awal tahun ini ke Rp 1.000 Mei lalu per pot. Kalau dulu daun itu diperjual-belikan orang di apotik, toko bunga, pinggir jalan, bahkan di bawah jembatan, sekarang pasarannya sungguh sepi. "Bukan karena keterangan Dirjen POM," kata Abu Sifa, wartawan yang terjun ke bisnis kompring, "tapi karena banyak orang sudah tanam kompring sendiri." Para ahli mengetahui tanaman itu bukanlah asli negeri Indonesia, tapi pendatang. Di Inggeris, tempat ia sudah lama dijumpai, orang menggunakannya dalam bentuk teh yang dianggap berkhasiat untuk menyehatkan badan. Adalah seorang konsultan Bak Dunia, Prof. Dr. Agriput, ahli agronomi dari Los Banos (Pilipina) yang membawa gelombang keranjingan kompring ke Indonesia. Pernah selama bertugas di pabrik gula Jatiroto, Agriput dan isteri menanamnya di halaman rumah. Dari mulut ke mulut tersiarlah kompring dari situ, dan pasarannya benar-benar meledak mulai 1978, dua tahun sesudah Agriput meningalkan Indonesia. Berbagai macam cara orang kita menggunakannya. Ada yang memakannya seperti lalap, ada pula dengan meminum air rebusannya. Agriput sendiri, menurut cerita pembantunya di Jatiroto, "setiap pagi minum air rendaman daun kompring kering." Apa khasiatnya? Aneka macam pula cerita orang tentang kompring yang dikatakan menyembukan sejumlah penyakit, termasuk kanker dan darah tinggi. Sesudah Agriput, adalah drs. A. Looho yang diketahui paling menonjol mempopulerkan kompring di Jawa Timur. Looho, yang kebetulan seorang apoteker, bisa menunjukkan literatur farmasi tentang khasiat tanaman itu. Kemudian orang bukan hanya menanamnya di halaman rumah, tapi juga membuka perkebunannya seperti di Batu, Malang. Akhirnya Dirjen Pengawasan Obat & Makanan, Dr. Midian Sirait, mengeluarkan keterangan resmi pekan lalu, antara lain lewat siaran TVRI. Ia melarang penjualan kompring di apotik. Di luar apotik, tentu saja, larangannya tidak berlaku. Apotik dilarang menjualnya, demikian Sirait, karena comfrey bukan obat dan tidak terdaftar pula pada Departemen Kesehatan sebagai obat tradisionil. Bila terdaftar pada Depkes, obat tradisionil mempunyai nomor kode TR. Tumor Pada Hati Bahwa ia berkhasiat atau tidak, Dirjen POM itu mengaku bahwa belum pernah diadakan penelitiannya di Indonesia. Ia berpegang pada hasil penelitian di luar negeri bahwa dalam akar comfrey terdapat alantoin dan dua alkaloida, yaitu konsolidina dan simfitosinoglosina (Textbook of Pharmacognosy oleh Waber H. Youngken). Disebutnya pula Chemical-Pharimaceutical Bulletin no. 16 tahun 1968 yang menulis bahwa kompring mengandung alkaloida dengan inti pirolizidina, antara lain alkaloida simfitina dan ekhimidina. Juga terdapat di dalamnya vitamin -- antara lain tiamina, riboflavina, asam nikotinat, asam pantotenat, vitamin B12, vitamin A dan C. Watt mengungkapkan tahun 1962, kata Dirjen POM lagi, bahwa alkaloida pirolizidina bersifat akumulatif atau menimbun dalam jaringan tubuh, hingga mungkin timbul efek negatif pada pemakaiannya dalam jangka panjang. Iwao Hirono dkk dalam Journal of National Cancer Institute edisi September 1978 mengemukakan bahwa daun atau akar kompring symphytum officinale -- jika diberikan pada makanan tikus dengan kadar 8% selama 600 hari secara terus menerus akan mengakibatkan tumor pada hati. Meskipun hasil penelitian ini baru pada tikus, demikian penjelasan resmi itu, sebaiknya manusia juga supaya berhati-hati memakainya. Sesudah adanya penjelasan resmi itu, penjualan kompring masih ada di mana-mana, sedang orang masih membelinya. "Tidak mungkin kita bisa melarang orang menjualnya di alun-alun," demikian drs. Kustaryo, apoteker dari Kanwil Depkes di Yogyakarta. "Namanya saja jamu," komentar Ny. Saib yang menjual kompring dekat stasiun Tugu, Yogya. "Kalau cocok, boleh beli lagi. Orang sakit cari obat yang jodoh." Nyonya itu bukan hanya menjual, tapi juga berkebun kompring. Untuk membeli bibitnya -- masih Rp 30.000 per pot di Jatiroto, Ny. Saib pernah menjual 3 ekor lembunya. Karena kompring sudah banyak, tambah pula keterangan Dr. Sirait, Ny. Saib kini menawarkan harga Rp 500 saja per pot. Looho, apoteker di Surabaya itu, dengan kompring sudah bisa membikin rumah baru. Sekarang penjualannya tinggal 10 saja dari biayanya dulu sampai Rp 300.000 sebulan. Tapi "umumny mereka kembali membeli," kata Looho. Bahwa ada akibat samping pada tikus, seperti yang dijelaskan Dirjen POM, Looho berkata: "Jangankan obat, minum Coca-cola saja, kalau 350 botol tiap hari, juga bisa mati." Ia menasehatkan supaya maksimal hanya 4 daun sehari untuk orang dewasa. "Saya juga pernah dapat laporan ada orang sampai pingsan akibat -- makan kompring. Orang itu makan sampai 10 daun sekaligus, barangkali ingin segera sembuh." Terong Tatat Tarmana, yang agak duluan berkebun kompring 2 ha di Batu, Malang, sudah sempat beruntung banyak. Bahkan dari hasil kompring ia memperluas kebun cengkehnya. Tapi bukan sedikit pula yang bangkrut, seperti Hadi Suwarno. Melihat sukses Tarmana, Suwarno telah menjual Colt dan Daihatsunya untuk memodali perkebunan kompring sampai Rp 11 juta. Modalnya belum kembali, harga kompring merosot. Abu Sifa, sang wartawan yang disebut tadi, sudah bisa membeli seperangkat kursi untuk rumahnya di Surabaya. Ia sempat membuka perwakilan di Jakarta untuk menjual kompring Jawa Timur. Di Jakarta, para penjualnya bahkan pernah memasang iklan. Pembeli umumnya tidak mengetahui bahwa banyak sudah kompring palsu yang beredar. Tapi walaupun ia tidak palsu, para ahli umumnya masih gusar terhadap pemakaian tanaman itu secara sembrono. Kadar alkaloida dalam kompring "dalam jumlah besar memang bisa membahayakan. Tapi tidak berarti dalam junlah kecil juga berbahaya," ulas drs. B. Dzulkarnain, Ketua Himpunan Peneliti Bahan Obat Alam yang juga anggota staf ahli Depkes. Bahkan terong, katanya, bisa membahayakan kalau dimakan dalam jumlah banyak. Tapi bahaya itu pada manusia dalam kadar berapa besar? Itu belum terjawab. Kalau mau diadakan penelitiannya di Indonesia, menurut Dzulkarnain, "tenaga dan peralatannya cukup. Cuma uang yang kurang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus