HARGA comfrey (kompring, kata orang Surabaya) jatuh sekali --
dari Rp 20.000 awal tahun ini ke Rp 1.000 Mei lalu per pot.
Kalau dulu daun itu diperjual-belikan orang di apotik, toko
bunga, pinggir jalan, bahkan di bawah jembatan, sekarang
pasarannya sungguh sepi. "Bukan karena keterangan Dirjen POM,"
kata Abu Sifa, wartawan yang terjun ke bisnis kompring, "tapi
karena banyak orang sudah tanam kompring sendiri."
Para ahli mengetahui tanaman itu bukanlah asli negeri Indonesia,
tapi pendatang. Di Inggeris, tempat ia sudah lama dijumpai,
orang menggunakannya dalam bentuk teh yang dianggap berkhasiat
untuk menyehatkan badan. Adalah seorang konsultan Bak Dunia,
Prof. Dr. Agriput, ahli agronomi dari Los Banos (Pilipina) yang
membawa gelombang keranjingan kompring ke Indonesia. Pernah
selama bertugas di pabrik gula Jatiroto, Agriput dan isteri
menanamnya di halaman rumah. Dari mulut ke mulut tersiarlah
kompring dari situ, dan pasarannya benar-benar meledak mulai
1978, dua tahun sesudah Agriput meningalkan Indonesia.
Berbagai macam cara orang kita menggunakannya. Ada yang
memakannya seperti lalap, ada pula dengan meminum air
rebusannya. Agriput sendiri, menurut cerita pembantunya di
Jatiroto, "setiap pagi minum air rendaman daun kompring kering."
Apa khasiatnya? Aneka macam pula cerita orang tentang kompring
yang dikatakan menyembukan sejumlah penyakit, termasuk kanker
dan darah tinggi. Sesudah Agriput, adalah drs. A. Looho yang
diketahui paling menonjol mempopulerkan kompring di Jawa Timur.
Looho, yang kebetulan seorang apoteker, bisa menunjukkan
literatur farmasi tentang khasiat tanaman itu. Kemudian orang
bukan hanya menanamnya di halaman rumah, tapi juga membuka
perkebunannya seperti di Batu, Malang.
Akhirnya Dirjen Pengawasan Obat & Makanan, Dr. Midian Sirait,
mengeluarkan keterangan resmi pekan lalu, antara lain lewat
siaran TVRI. Ia melarang penjualan kompring di apotik. Di luar
apotik, tentu saja, larangannya tidak berlaku.
Apotik dilarang menjualnya, demikian Sirait, karena comfrey
bukan obat dan tidak terdaftar pula pada Departemen Kesehatan
sebagai obat tradisionil. Bila terdaftar pada Depkes, obat
tradisionil mempunyai nomor kode TR.
Tumor Pada Hati
Bahwa ia berkhasiat atau tidak, Dirjen POM itu mengaku bahwa
belum pernah diadakan penelitiannya di Indonesia. Ia berpegang
pada hasil penelitian di luar negeri bahwa dalam akar comfrey
terdapat alantoin dan dua alkaloida, yaitu konsolidina dan
simfitosinoglosina (Textbook of Pharmacognosy oleh Waber H.
Youngken). Disebutnya pula Chemical-Pharimaceutical Bulletin no.
16 tahun 1968 yang menulis bahwa kompring mengandung alkaloida
dengan inti pirolizidina, antara lain alkaloida simfitina dan
ekhimidina. Juga terdapat di dalamnya vitamin -- antara lain
tiamina, riboflavina, asam nikotinat, asam pantotenat, vitamin
B12, vitamin A dan C.
Watt mengungkapkan tahun 1962, kata Dirjen POM lagi, bahwa
alkaloida pirolizidina bersifat akumulatif atau menimbun dalam
jaringan tubuh, hingga mungkin timbul efek negatif pada
pemakaiannya dalam jangka panjang. Iwao Hirono dkk dalam
Journal of National Cancer Institute edisi September 1978
mengemukakan bahwa daun atau akar kompring symphytum officinale
-- jika diberikan pada makanan tikus dengan kadar 8% selama 600
hari secara terus menerus akan mengakibatkan tumor pada hati.
Meskipun hasil penelitian ini baru pada tikus, demikian
penjelasan resmi itu, sebaiknya manusia juga supaya berhati-hati
memakainya.
Sesudah adanya penjelasan resmi itu, penjualan kompring masih
ada di mana-mana, sedang orang masih membelinya. "Tidak mungkin
kita bisa melarang orang menjualnya di alun-alun," demikian drs.
Kustaryo, apoteker dari Kanwil Depkes di Yogyakarta.
"Namanya saja jamu," komentar Ny. Saib yang menjual kompring
dekat stasiun Tugu, Yogya. "Kalau cocok, boleh beli lagi. Orang
sakit cari obat yang jodoh." Nyonya itu bukan hanya menjual,
tapi juga berkebun kompring. Untuk membeli bibitnya -- masih Rp
30.000 per pot di Jatiroto, Ny. Saib pernah menjual 3 ekor
lembunya. Karena kompring sudah banyak, tambah pula keterangan
Dr. Sirait, Ny. Saib kini menawarkan harga Rp 500 saja per pot.
Looho, apoteker di Surabaya itu, dengan kompring sudah bisa
membikin rumah baru. Sekarang penjualannya tinggal 10 saja dari
biayanya dulu sampai Rp 300.000 sebulan. Tapi "umumny mereka
kembali membeli," kata Looho. Bahwa ada akibat samping pada
tikus, seperti yang dijelaskan Dirjen POM, Looho berkata:
"Jangankan obat, minum Coca-cola saja, kalau 350 botol tiap
hari, juga bisa mati." Ia menasehatkan supaya maksimal hanya 4
daun sehari untuk orang dewasa. "Saya juga pernah dapat laporan
ada orang sampai pingsan akibat -- makan kompring. Orang itu
makan sampai 10 daun sekaligus, barangkali ingin segera sembuh."
Terong
Tatat Tarmana, yang agak duluan berkebun kompring 2 ha di Batu,
Malang, sudah sempat beruntung banyak. Bahkan dari hasil
kompring ia memperluas kebun cengkehnya. Tapi bukan sedikit pula
yang bangkrut, seperti Hadi Suwarno. Melihat sukses Tarmana,
Suwarno telah menjual Colt dan Daihatsunya untuk memodali
perkebunan kompring sampai Rp 11 juta. Modalnya belum kembali,
harga kompring merosot.
Abu Sifa, sang wartawan yang disebut tadi, sudah bisa membeli
seperangkat kursi untuk rumahnya di Surabaya. Ia sempat membuka
perwakilan di Jakarta untuk menjual kompring Jawa Timur. Di
Jakarta, para penjualnya bahkan pernah memasang iklan.
Pembeli umumnya tidak mengetahui bahwa banyak sudah kompring
palsu yang beredar. Tapi walaupun ia tidak palsu, para ahli
umumnya masih gusar terhadap pemakaian tanaman itu secara
sembrono.
Kadar alkaloida dalam kompring "dalam jumlah besar memang bisa
membahayakan. Tapi tidak berarti dalam junlah kecil juga
berbahaya," ulas drs. B. Dzulkarnain, Ketua Himpunan Peneliti
Bahan Obat Alam yang juga anggota staf ahli Depkes. Bahkan
terong, katanya, bisa membahayakan kalau dimakan dalam jumlah
banyak.
Tapi bahaya itu pada manusia dalam kadar berapa besar? Itu belum
terjawab. Kalau mau diadakan penelitiannya di Indonesia, menurut
Dzulkarnain, "tenaga dan peralatannya cukup. Cuma uang yang
kurang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini