Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAMIS, 10 April 1975. Sebuah pesawat Garuda tipe DC-8 yang disewa oleh Kepala Badan Intelijen Strategis Benny Moerdani menanti di Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, Bali. Pesawat komersial itu berangkat menuju Guam pukul 18.00, memboyong rombongan Presiden Kamboja Lon Nol ke Guam. Misi Indonesia selesai di sana. Seterusnya Lon Nol akan bertukar pesawat. Amerika Serikat telah menyiapkan armada baru untuk memboyong rombongan dari Guam ke Hawaii.
Tahun 1975 adalah masa genting bagi Kamboja. Pemberontakan kubu komunis Khmer Merah yang dipimpin oleh Saloth Sar alias Pol Pot menghebat. Pasukan pemerintah di bawah Lon Nol terpukul. Misi Khmer Merah terang dan jelas: menghabisi semua anggota pasukan di kubu Lon Nol.
Pembantaian terjadi hampir di seluruh Kamboja. Lon Nol termasuk satu dari tujuh pemimpin yang mesti dihabisi. Pada Maret 1975, pasukan Pol Pot menguasai hampir seluruh Kamboja. Di Phnom Penh, Lon Nol tersudut. Amerika, yang mendukung Lon Nol, bermaksud melarikan sekutunya itu ke tempat lebih aman. Selain itu, pertumpahan darah yang lebih hebat bisa terhindar seandainya Lon Nol pergi. Masalahnya ia menolak angkat kaki dari Kamboja.
"Dia tak mau keluar dari negaranya sebagai warga sipil, mau tetap dianggap presiden," kata Jusuf Wanandi, pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Di titik itulah Indonesia berperan. Sebagai sekutu Amerika, Indonesia bersedia menerima kunjungan diplomatik Lon Nol. Pemerintah Soeharto bersedia membantu misi Amerika dengan menerima kedatangan Lon Nol di Bali. "Kita menerima dia sebagai presiden," ujar Jusuf. Pada 1 April 1975, di bawah ancaman pembantaian oleh Khmer Merah, Lon Nol berangkat dari Bandara Pochentong di Phnom Penh menuju Ngurah Rai, Bali.
Korespondensi Indonesia-Amerika dalam operasi pelarian Lon Nol belakangan terkuak berkat WikiLeaks. Kawat-kawat diplomatik Amerika yang dibocorkan WikiLeaks menunjukkan ada komunikasi intens antara Benny Moerdani dan pejabat Kedutaan Amerika.
Dalam kawat rahasia tertanggal 7 April 1975, misalnya, disebutkan bahwa Benny mengubah rencana keberangkatan Lon Nol. Semula Lon Nol hendak diberangkatkan dari Biak dengan pesawat Angkatan Udara. Benny menginformasikan kepada pejabat Amerika bahwa rencana itu dibatalkan. Jadinya Lon Nol akan diberangkatkan dengan pesawat Garuda yang disewa intelijen. Benny meminta Amerika menyiapkan landasan di Guam untuk menerima penerbangan rahasia itu. Ia juga meminta Amerika menutup biaya penerbangan yang dikeluarkan Indonesia.
Kawat diplomatik Amerika juga menginformasikan pertemuan Lon Nol cs dengan Presiden Soeharto di Bali pada 5 April 1975. Dalam pertemuan itu, Lon Nol menjelaskan bahwa ia pergi dari Kamboja untuk mendukung perundingan damai di antara pihak yang berseteru di negaranya. Soeharto mendukung pemerintah Lon Nol, tapi tak bersedia menjadi penengah antara Khmer Merah dan kubu Lon Nol. Pertemuan tersebut berlangsung satu jam.
Kawat diplomatik rahasia tertanggal 9 April 1975 memuat data anggota rombongan Lon Nol yang berangkat ke Guam. Jumlahnya 22 orang, termasuk istri, lima anak Lon Nol, pengawal pribadi, dan perawat keluarga. Mereka ditemani empat orang dari Indonesia, yakni mantan Duta Besar Thailand Letnan Jenderal Hartono Rekso Dharsono, satu diplomat International Commission of Control and Supervision, satu wartawan Antara, dan satu penerjemah bernama Mono.
Jusuf Wanandi mengatakan hubungan Kamboja-Amerika-Indonesia terjalin sejak 1970-an. Secara rahasia, Indonesia mengirim senjata AK-47 buatan Uni Soviet kepada Amerika untuk diberikan kepada pasukan Lon Nol. "Supaya tak tampak-tampak amat bahwa pasukan pemerintah dibantu oleh Amerika," kata Jusuf. Sebagai ganti, Indonesia mendapat ribuan senjata M-16 bikinan Amerika.
Dalam buku United States and Cambodia, 1969-2000: A Troubled Relationship (2003), Kenton Clymer menulis bahwa setidaknya lima kali Indonesia mengirim senjata kepada Amerika untuk membantu pasukan antikomunis di Kamboja. Pengiriman yang kelima terjadi pada November 1970. Clymer mencatat, pada bulan itu, Indonesia mengirim 1.770 unit AK-47 dan sekitar 2,5 juta peluru. Sebagai imbalan, Indonesia mendapat 5.880 buah M-16 dan 54 ribu amunisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo