Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pengawal Kepercayaan Presiden

Soeharto sangat mempercayai Benny Moerdani. Mendapat misi pengamanan kunjungan kenegaraan hingga menjaga anak.

6 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Iring-iringan kendaraan yang membawa Presiden Soeharto dan Presiden Italia Giovanni Leone sampai di Gerbang Kota Roma. Tiba-tiba sebuah bola kertas berukuran besar digelindingkan oleh para demonstran yang berkumpul sekitar sepuluh meter dari tepi jalan. Bola besar itu menabrak mobil terdepan yang ditumpangi Mayor Jenderal Tjokropranolo, Sekretaris Militer Presiden. Iring-iringan mendadak berhenti.

"Entah datang dari mana Pak Benny sudah berdiri di sisi pintu mobil Pak Harto," ujar R. Haryoseputro, yang menyaksikan kejadian pada akhir November 1972 saat Pak Harto dan rombongan melakukan kunjungan kenegaraan di Eropa.

Meski bertugas di Korea Selatan sebagai Kuasa Usaha Republik Indonesia, Benny, menurut Haryoseputro, mendapat penugasan khusus untuk memimpin tim pendahuluan sebelum Soeharto melawat ke Eropa pada 1970 dan 1972. Di Belanda, pada 1970 gerakan kiri baru menguat dan protes atas perang Vietnam melintasi benua. "Demonstrasi anti-Amerika Serikat sangat kuat," kata R. Haryoseputro, yang saat itu memimpin Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda dan PPI Eropa.

Haryoseputro mengatakan Benny datang sepekan sebelum Presiden tiba. Di tengah ancaman demonstrasi besar yang menghantui Eropa oleh kelompok kiri baru dan pendukung Republik Maluku Selatan (RMS) di Belanda, Benny memeriksa semua celah yang mungkin bisa digunakan buat menyerang Soeharto. Untuk mempelajari keadaan, ia mengamati rencana rute Soeharto menuju Istana Huis Ten Bosch. Benny mengajak Haryoseputro.

Di sebuah belokan, Benny berhenti dan bertanya, "Di belokan ini, sampai kecepatan berapa kamu bisa memacu kendaraanmu?" Haryo menjawab, "Paling cepat 50 km per jam." Benny berseru, "Bahaya!" Ia lantas menunjuk jendela-jendela rumah di sisi-sisi jalan itu. Jika ada penembak dari sana, kemungkinan besar akan mengenai sasaran pada mobil dengan kecepatan 40-50 km. "Kalau 60 km mungkin masih aman," ucap Benny.

Setelah itu, Benny meninjau lampu merah di dekat istana, yang akan dilalui rombongan. Titik itu juga dianggap tak aman. Potensi ketidakamanan itu disampaikan Benny dalam pertemuan dengan aparat keamanan Belanda. Ia bertanya apa bisa semua jendela di jalan ke arah istana dijaga dan lampu merah dibebaskan dari demonstrasi. Aparat keamanan Belanda mengatakan "tidak" dengan alasan negara itu demokratis. Jawaban ini membuat Benny marah dan ia pun menggebrak meja sambil berkata keras-keras, "Kami hanya punya satu Soeharto! Apakah Anda bisa menjamin keselamatannya?"

Benny geram, tapi ia sadar tak bisa berbuat banyak. Beruntung bagi Benny. Di luar dugaan, terjadi insiden yang membuat sikap tim pengamanan Belanda berubah 180 derajat. Keesokan harinya, pada 31 Agustus 1970, 33 anggota RMS menyerbu Wisma Duta, rumah Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda, di Kerkeboslaan 2, Wassenaar, Den Haag. Mereka datang dengan senapan serbu dan parang. Dubes RI Letnan Jenderal Purnawirawan Taswin Natadiningrat lolos dari penyerbuan.

Insiden ini membuat pihak Belanda meningkatkan risiko keamanan bagi kunjungan Soeharto. Pemerintah Belanda tak lagi menganggap remeh keadaan. Sehari sebelum kedatangan Soeharto, jalan-jalan dijaga panser. Tapi, saat tiba di landasan militer Ijpenburg, Belanda, 3 September 1970, Soeharto tidak dibawa ke istana melalui jalan darat melainkan dengan helikopter. Keesokan harinya, Presiden melanjutkan perjalanan ke Jerman.

Kekhususan Benny di mata Soeharto tampak pada 1998, ketika Benny diangkat menjadi Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Ia perwira tinggi pertama yang pangkat jenderalnya disematkan langsung oleh kepala negara.

Soal kedekatan Benny dengan Soeharto diungkapkan Letjen Bustanil Arifin dalam buku L.B. Moerdani: Langkah dan Perjuangan (Agustus 2005). Menurut Bustanil, suatu hari Soeharto menyampaikan pesan melalui Benny, yang saat itu Panglima ABRI, kepada M. Jusuf, Menteri Pertahanan, untuk menaikkan pangkat tiga orang menjadi letnan jenderal: Bustanil, Ali Said, dan Ismail Saleh.

Saat Benny menjabat Panglima ABRI, Pak Harto bahkan menitipkan anak-anaknya kepada Benny. Mayor Jenderal Purnawirawan Suryadi, yang menjadi sekretaris Benny saat menjadi Panglima ABRI, mengatakan, "Pada tahun-tahun itu, semua anak Soeharto dekat dengan Benny. Mereka minta nasihat terus."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus