Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benny, CSIS, dan Teka-teki Beek
Benny dan CSIS begitu dekat. Dia rutin berdiskusi dengan para pemikir di lembaga think tank Orde Baru ini. Pendapat-pendapat sumir mencurigai mereka membentuk aliansi tentara dan kelompok Katolik.
Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, setelah pemakaman Soedjono Hoemardani di Desa Janti, Klaten, Jawa Tengah, pada Maret 1986, Jusuf Wanandi satu pesawat dengan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Jenderal Benny Moerdani. Dalam pesawat milik ABRI yang terbang dari Solo itu juga bergabung Menteri-Sekretaris Negara Moerdiono. Ketiganya duduk meriung mengelilingi sebuah meja kecil. Mereka berbincang.
Di tengah perbincangan, tiba-tiba Moerdiono melontarkan pertanyaan kepada Jusuf Wanandi. "Setelah kedua tokoh besar (Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani) tiada, lantas siapa yang akan menggantikan mereka di CSIS?" Jusuf dengan cepat menanggapi. "Tentu saja Pak Benny! Ia yang paling dekat dengan kami. Dia juga menaruh minat pada masalah-masalah yang kami kaji," kata Jusuf, salah satu pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS), seraya memandang Benny Moerdani.
Saat itu Benny terdiam. Karena sang Jenderal diam saja, Jusuf dan Moerdiono pun tak melanjutkan perbincangan tentang siapa pengganti Ali (wafat pada 1984) dan Soedjono sebagai pelindung CSIS. "Setelah di Jakarta pun tidak pernah ada tindak lanjut tentang masalah tersebut," ujar Jusuf, 76 tahun, anggota Dewan Penyantun CSIS, di kantornya di Tanah Abang, Jakarta Pusat, pertengahan September lalu.
Centre for Strategic and International Studies merupakan lembaga pemikir (think tank) yang didirikan, antara lain, oleh Jusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi, dan Daoed Joesoef pada 1971. Mereka kemudian menggandeng dua tentara asisten pribadi Soeharto, Letnan Jenderal Purnawirawan Ali Moertopo dan Mayor Jenderal Purnawirawan Soedjono Hoemardani. Gagasan mendirikan CSIS muncul setelah Jusuf dan teman-temannya bertemu dengan Soeharto tak lama setelah pelantikannya sebagai Presiden RI kedua pada 1968. Jusuf, saat itu aktivis antikomunis, menawari Soeharto membentuk think tank untuk membantu dia menjalankan pemerintahan baru. Soeharto menyambut gagasan itu.
Sejak itu, diminta atau tidak, Jusuf rutin mengirimkan memo berupa analisis atas berbagai perkembangan politik langsung ke ruang kerja Soeharto melalui Ali dan Soedjono. Sebaliknya, Ali dan Soedjono aktif menimba dan menyumbangkan gagasan dalam pelbagai pertemuan di CSIS. Kebiasaan ini kemudian diteruskan oleh Benny Moerdani.
Memang Benny tak secara resmi menjadi orang CSIS seperti dua seniornya, Ali dan Soedjono. Namun ia sangat dekat dan bersahabat dengan orang-orang di lembaga itu. Benny juga rutin bertemu dengan para pemikir CSIS untuk meminta masukan seputar masalah sosial-politik dalam dan luar negeri.
Kedekatan Benny dengan orang-orang CSIS terjalin sekitar tiga tahun sebelum lembaga itu berdiri. Jusuf berkenalan dengan Benny ketika mereka sama-sama membantu Operasi Khusus Ali Moertopo di Malaysia. Operasi Khusus merupakan pelaksana tugas yang dibentuk Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani untuk menyelesaikan konfrontasi dengan Malaysia. Tugasnya lebih bergerak pada level politik.
Saat Jusuf dan kawan-kawan mendirikan CSIS, Benny masih bertugas di Korea Selatan. Tapi, bila sedang pulang ke Indonesia, ia secara informal datang ke CSIS. Menurut Jusuf, biasanya sambil menikmati kopi, mereka berdiskusi mengenai Korea Selatan, tempat Benny bertugas saat itu.
Pada 1974, ketika Benny dipanggil pulang Soeharto, hubungan Jusuf cs dan Benny kian dekat. Ia kerap datang ke kantor Jusuf untuk meminta masukan. Ketika CSIS menggelar seri konferensi bilateral di Amerika dan Eropa, Benny sering ikut sebagai peserta bukan panelis. Sebagai peserta aktif, dia kerap dimintai pendapat. Tapi, setelah Benny menjadi Panglima ABRI, Jusuf dan kawan-kawanlah yang rutin datang ke kantornya untuk memberi masukan.
"Benny begitu percaya kepada kami karena kami memang sudah berkawan dengan dia sejak dulu," kata Jusuf. "Pokoknya, bersama Pak Benny selalu ada tantangan. Kami mendapat inside story-nya." Menurut mantan anggota staf Benny di Badan Intelijen Strategis (Bais), Marsekal Muda Purnawirawan Teddy Rusdy, 77 tahun, kedatangan Benny ke CSIS atau mengundang orang CSIS ke Bais adalah untuk mengumpulkan data. Sebagai intelijen, Benny membuka jaringan dengan banyak lembaga, termasuk dengan CSIS. "Pak Benny ke sana sebagai bagian untuk mengumpulkan informasi," ujar Teddy.
Lantas masukan apa yang sering diminta Benny kepada CSIS? "Ya, macam-macam. Kalau masalah ekonomi, misalnya, kami membawa Hadi Soesastro (pakar ekonomi CSIS) untuk berdiskusi," kata Jusuf. Tapi Jusuf mengatakan mereka lebih banyak berdiskusi masalah luar negeri. "Boleh percaya boleh tidak, justru CSIS paling sering memberi masukan Benny untuk urusan politik luar negeri, seperti masalah Vietnam dan Kamboja."
Dalam urusan Kamboja, misalnya, CSIS sempat membantu Benny mengatur pelarian Presiden Lon Nol pada 1975. Jenderal yang didukung Amerika Serikat ini dijatuhkan oleh pasukan Khmer Merah, gerilyawan komunis pimpinan Pol Pot. Akhirnya Lon Nol bisa keluar dari Kamboja dan bertemu dengan Benny di Bali. Setelah itu, dia diterbangkan ke Guam, lalu Hawaii. "Sewaktu di Bali, dia masih presiden. Setelah ke Hawaii, dia jadi orang sipil biasa," ucap Jusuf.
Tapi Jusuf tak menampik kabar bahwa mereka juga sering berdiskusi masalah aktual dalam negeri. "Masalah Timor Timur kerap," katanya. Jusuf mengenang pernah ada kejadian seorang warga Taiwan tertembak di Dili. Benny lalu meminta CSIS menerangkan duduk kejadian perkara ke Kedutaan Taiwan. "Kami bilang kepada Kedutaan Taiwan, bukan Indonesia yang menembak, melainkan Fretilin."
Jusuf ingat, pada 1981, Benny meminta bantuan CSIS menjelaskan peristiwa pembajakan pesawat Woyla milik Garuda oleh lima teroris Komando Jihad pimpinan Imran bin Muhammad Zein di Bandar Udara Don Muang, Bangkok, Thailand. "Kami diminta menjelaskan mengapa Benny harus melakukan operasi militer dalam kasus tersebut," ujar Jusuf. "Sebelum operasi Woyla itu dilaksanakan, kami lalu memberikan penjelasan kepada media massa dan pihak-pihak luar negeri."
Menurut Jusuf, saat pesawat Woyla singgah di Malaysia untuk mengisi bahan bakar, sesungguhnya pemerintah Indonesia meminta Malaysia menahan pesawat itu. "Tapi pemerintah Malaysia tidak ingin terlibat." Jusuf bercerita, sore setelah terjadi pembajakan, Benny menghadap Soeharto. Saat itu Jenderal Yoga Soegomo sudah berada di Bangkok. "Kepada Pak Harto, Pak Benny waktu itu mengatakan khawatir bahwa Yoga tak bisa mengatasi situasi."
Di Bangkok, menurut Jusuf, saat itu Perdana Menteri Thailand Prem Tinsulanonda tak mau militer Indonesia turun dalam operasi. Prem menginginkan semua operasi diserahkan kepada militer Thailand. "Tapi Pak Benny berpendapat kita harus menyerbu. Kita yang bertanggung jawab," kata Jusuf. Setelah bertemu dengan Soeharto, Benny berangkat ke Bangkok. "Saat itu Pak Benny diam-diam memerintah satuan yang dipimpin Sintong Panjaitan untuk latihan kilat."
Benny kemudian meyakinkan Perdana Menteri Prem agar satuan antiteroris Indonesia memimpin operasi. "Pak Benny mengatakan, kalau pembebasan dilakukan oleh militer Thailand, justru bisa menimbulkan gejolak di Thailand sendiri. Sebab, saat itu pemberontak muslim di Thailand Selatan juga tengah menimbulkan masalah pemerintah Thailand," ujar Jusuf.
Tatkala peristiwa Tanjung Priok meletus pada 1984, menurut Jusuf, saat itu CSIS juga berdiskusi dengan Benny Moerdani. Benny pun, dalam sebuah pertemuan dengan orang-orang CSIS, memberi penjelasan latar belakang peristiwa Priok. "Pak Benny bilang biar polisi dulu yang menangani. Tentara hanya mem-back up. Tapi kemudian tentara melepaskan tembakan. Saat itu saya bertanya kepada Pak Benny beberapa sesungguhnya jumlah korban. Benny bilang yang tewas cuma ada sekitar 20."
Dalam perjalanannya, kedekatan hubungan Benny dan CSIS kemudian menimbulkan desas-desus yang sumir. Misalnya keakraban CSIS dan Benny itu merupakan bagian dari dibentuknya aliansi Katolik-militer. Itu berangkat dari asumsi bahwa pemikiran-pemikiran CSIS sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh seorang romo bernama Josephus Gerardus Beek (1917-1984) atau biasa dikenal dengan Pater Beek.
Dia adalah jesuit yang secara keras antikiri. Romo Beek dikenal memiliki grup diskusi yang secara kontinu mengeluarkan dokumen-dokumen analisis politik mutakhir yang kemudian disebar di kalangan Katolik.
Disertasi Mujiburahman, "Feeling Threatened, Muslim-Christian Relations in Indonesia's New Order, menyebutkan bahwa Pater Beek pada 1960-an sangat condong ingin membina aliansi Katolik-militer. Beek beranggapan aliansi itu perlu untuk melawan pemikiran kiri dan menanggulangi ancaman kemudian, yaitu bahaya Islam radikal. Dan itu, menurut beberapa artikel lain, akhirnya berpengaruh sampai jauh pada zaman Benny.
"Sama sekali tak benar. Tidak ada sangkut pautnya antara Benny dan Pater Beek. Sangkut paut pemikiran pun tidak ada. Wong Ali Moertopo saja satu kali ketemu Romo Beek, apalagi Benny. Tidak pernah sama sekali!" Jusuf menegaskan.
Betapapun demikian, Jusuf mengakui bahwa Romo Beek memang pastor yang menjadi mentornya ketika masa-masa dia menjadi aktivis di Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Keduanya membentuk Biro Dokumentasi pada 1963 bersama aktivis PMKRI lain, seperti Harry Tjan Silalahi dan Sudjati Djiwandono. "Biro itu dibentuk atas permintaan para uskup dan berkantor di Majelis Agung Wali Gereja Indonesia," ujarnya.
Biro Dokumentasi bertugas mengumpulkan kliping, data, dan informasi untuk memberikan bahan kepada pemimpin-pemimpin gereja Katolik dan Partai Katolik dalam melawan komunisme serta semua yang kekiri-kirian pada era Bung Karno. Menurut Jusuf, sejak dulu gereja Katolik memang sangat antikomunis. "Sampai sekarang pun gereja Katolik tak punya hubungan diplomatik dengan RRC," katanya.
Apakah Biro Dokumentasi itu cikal-bakal CSIS? "Bukan!" jawab Jusuf, tegas. Kebetulan saja, menurut Jusuf, orang-orang yang dulu aktif di Biro Dokumentasi-dia, Harry Tjan, dan Sudjati-kemudian mendirikan CSIS pada 1971. "Setelah CSIS berdiri, Pater Beek tidak ikut kami lagi. Kami jalan sendiri," ujarnya. "Apalagi, pada 1965, Konsili Vatikan mengeluarkan larangan kepada para rohaniwan untuk tidak ikut berpolitik."
Bila analisis-analisis Biro Dokumentasi itu, menurut Jusuf Wanandi, hanya beredar seputar lingkaran para pemimpin gereja, tapi kenyataannya tidak demikian. Rahman Tolleng, pemikir sosial-politik, saat menjadi aktivis di Bandung pada 1960-an mengaku hampir setiap minggu menerima dokumen-dokumen itu. "Saya diberi oleh seorang teman aktivis PMKRI. Tiap minggu saya diberi lima-delapan lembar dokumen," katanya.
Menurut Tolleng, info-info yang disajikan dokumen itu jauh dari sekadar kliping koran. Analisisnya melampaui apa yang telah disajikan sejumlah harian. "Penulis analisis itu selalu anonim, tidak ada namanya. Tinjauannya ada yang sepekan, bulanan. Sangat tajam. Memang masa itu sangat dibutuhkan informasi demikian," tuturnya. Sampai-sampai, menurut Tolleng, dia sendiri ikut menyebarkan dokumen itu. "Saya perbanyak analisis itu dan kemudian saya kirim ke teman-teman aktivis di Yogya dan seluruh Jawa. Saya sampai beken dan dianggap memiliki informasi A1."
Tolleng juga ingat, sewaktu ia mengikuti sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 1967, sebagai tanggapan dari Rancangan Ketetapan MPR tentang Hak dan Kewajiban Asasi Manusia, tiba-tiba sudah ada map untuk para peserta yang isinya analisis mengenai rancangan tersebut. Dia tidak tahu siapa yang membuat. Tapi ia menduga pasti dari lingkungan yang sama.
Tolleng sendiri suatu kali pernah bertemu dengan budayawan dan pencetus Manifes Kebudayaan, Wiratmo Soekito (almarhum). Wiratmo mengaku bagian dari salah satu penulis tim Beek. "Saya tidak tahu apakah Wiratmo beneran atau cuma bergurau karena ia mengatakan itu sambil tersenyum-senyum." Menurut Tolleng, Wiratmo juga mengatakan sesungguhnya Romo Beek memiliki saudara sesama pastor yang bertugas di Hong Kong, yang memimpin CIA Asia Tenggara. "Tapi saya juga tak tahu apakah itu betul."
Tolleng sendiri mendengar desas-desus bahwa Pater Beek membangun sebuah jaringan kaderisasi bawah tanah. "Ya, ada gosip-gosip demikian," ujar Tolleng, meski ia tak tahu kebenarannya. Sudah menjadi rahasia umum, Romo Beek mendirikan pelatihan Khalwat Sebulan (Khasebul). Ini pendidikan sebulan terhadap para anak muda Katolik.
Jaringan pelatihan rohani Khasebul yang ada di mana-mana itu sering dicurigai melakukan kerja intelijen dari zaman Ali Moertopo sampai Benny Moerdani. Konon banyak alumnus Khasebul pada zaman Operasi Khusus dimanfaatkan Ali untuk beberapa operasinya. Pada zaman Benny, alumnus Khasebul tersebar di banyak instansi.
"Sewaktu saya menjadi pemred di Suara Karya, atas pertanyaan saya, sekretaris saya mengaku dia pernah di Khasebul dan begitu pula pengakuan sekretaris saya ketika di Himpunan Kerukunan Tani Indonesia," ucap Tolleng. Menurut Tolleng, sejauh dia amati, kerja beberapa orang itu sangat rapi seperti intelijen. "Saya perhatikan, kalau sudah mengetik, kertas karbonnya selalu diambil dan diganti baru. Agar selalu memiliki data."
Desas-desus jaringan Khasebul melakukan kerja intelijen ditampik oleh Jusuf Wanandi. "Tidak benar. Dari mana tuduhan itu?" Khasebul, kata Jusuf, merupakan pelatihan sebulan untuk melatih keyakinan agar mau berjuang, melatih militansi. Bentuknya pendidikan mental dan rohani, bukan latihan fisik seperti militer. "Ini sama saja dengan anak-anak HMI membuat pelatihan," ujarnya.
Hal senada disampaikan Harry Tjan Silalahi. "Khasebul semacam latihan mental biasa. Sama dengan yang dilakukan HMI. Mereka melakukan pelatihan. Kami di PMKRI juga melakukan pelatihan yang sama," katanya. Apakah pendidikan Khasebul diajari menggunakan senjata? "Apa lagi itu. Itu khayalan bodoh," tutur Jusuf.
J.B. Soedarmanta, alumnus pendidikan Khasebul, juga menyanggah analisis-analisis spekulatif itu. "Khasebul pelatihan rohani biasa, bukan klandestin. Diketahui resmi oleh gereja. Itu seperti Exercia Ecclesiarum, latihan-latihan rohani Katolik," ujarnya. "Kalau sampai konsep Khasebul dibelokkan, tentu Pater Beek sebagai penggagasnya akan dikeluarkan dari kepastoran," kata penulis buku Pater Beek, SJ: Larut tetapi Tidak Hanyut ini.
Soedarmanta mengatakan sama sekali tak ada latihan fisik yang berat di Khasebul seperti latihan survival. "Pernah tangan kami diikat dan dibawa ke tempat yang banyak nyamuk agar merasakan digigit nyamuk. Atau paling lari siang pas panas-panas. Begitu saja." Menurut dia, yang banyak diajarkan justru latihan debat. Mereka dilatih saling mengkritik. "Pernah memang saya disalib-salibkan, dicantol di dinding. Tapi itu sebentar, hanya beberapa menit. Seperti main-main." Ia menampik anggapan bahwa keberadaan Romo Beek misterius. "Pater Beek dianggap misterius karena tempat tinggalnya selalu berpindah-pindah, seolah-olah tak mau diketahui publik, dari Kramat kemudian ke Gudang Peluru. Lho, itu memang asrama jesuit," katanya.
Tapi dia mengakui beberapa pemimpin Katolik, seperti I.J. Kasimo, agak tak setuju dengan cara kerja dan "garis pemikiran Beek". Cara kerja Beek dianggap bisa menjadikan orang di luar Katolik salah persepsi. Umat Katolik memang agak terbelah dengan "sepak terjang" Beek. Yang jelas, menurut Soedarmanta, sama sekali tak ada kaitan resmi antara Pater Beek dan Ali Moertopo atau Benny Moerdani. "Dia sendiri seumur hidup tak pernah datang ke CSIS," ujarnya.
Jusuf Wanandi mengatakan, lantaran kedekatan CSIS dengan Benny Moerdani, mereka justru bisa mengkritik kebijakan Benny yang salah arah. "Saking dekatnya, kami bisa mengkritik dia secara terbuka," ujar Jusuf. Misalnya dalam peristiwa penembakan misterius pada 1980-an.
Saat itu, menurut Jusuf, dia dan kawan-kawan di CSIS tak bisa menerima penjelasan Benny. Kepada mereka, Benny menjelaskan bahwa kematian preman itu terjadi akibat perkelahian antargeng. Para preman itu terpaksa ditembak karena melakukan perlawanan ketika ditangkap.
"Benny dan pemerintah tak pernah menjelaskan kepada kami apa yang sebetulnya terjadi. Kami kemudian memprotes Benny." Protes itu disampaikan Jusuf dalam pertemuan di kantor Benny di Tebet, Jakarta Selatan.
"Saya tidak mengerti apa yang terjadi. Penjelasan Bapak tidak masuk akal. Patut diingat, kalau Bapak mulai dengan tindakan seperti itu, suatu saat orang Indonesia akan mulai membunuh untuk kepentingan politik. Bapak harus menghentikannya sebelum menjadikan Indonesia seperti negara-negara Amerika Latin," kata Jusuf, mengulang kembali apa yang pernah ia sampaikan kepada Benny.
Jusuf ingat, saat itu Benny terdiam. Meski begitu, tutur Jusuf, Benny kelihatannya berpikir. Tak lama kemudian, rentetan pembunuhan itu pun berhenti. "Saya yakin sedikit-banyak masukan dan protes kami didengarkan oleh Pak Benny," ujarnya. Menurut Jusuf, Benny adalah orang yang mau mendengar, tapi dia pura-pura tidak mendengar. "Tentu dia menjaga pride-nya sebagai tentara, sebagai jenderal."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo