Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berakhir dengan Serangan Militer
Lobi-lobi politik menjadikan Timor Portugal bagian dari Indonesia diganti dengan serangan militer. Benny kecewa terhadap kualitas tentara.
SUTIYOSO masih ingat pertemuan pertamanya dengan Benny Moerdani. Satu malam di pengujung 1974, bekas Gubernur DKI Jakarta yang ketika itu berpangkat kapten dan menjabat Kepala Seksi Intelijen Grup II Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) ini diminta menghadap Benny di kantornya di Tebet, Jakarta Selatan. "Saya bertanya-tanya, apa tugas yang akan dihadapi," kata Sutiyoso kepada Tempo, pertengahan September 2014.
Maklum saja jika Sutiyoso agak tegang. Sebab, Benny, yang kala itu berpangkat brigadir jenderal, memegang jabatan Asisten Intelijen Departemen Pertahanan dan Keamanan. Benar saja, ketika Sutiyoso menghadap Benny di ruang kerjanya, muncul perintah yang menciutkan nyali. "Cari dua titik untuk masuk ke Timor Timur. Waktunya sepekan, lakukan sendiri secara rahasia. Jika tertangkap, kamu tidak akan diakui sebagai prajurit," ujar Sutiyoso menirukan Benny.
Perintah ini menjadi awal dari rangkaian operasi intelijen militer yang dilakukan Kopassandha sebelum menduduki Timor Portugal. Ketika itu, Timor Portugal dilanda konflik bersenjata antarpartai politik setelah tumbangnya rezim Salazar melalui Revolusi Bunga di Portugal.
Konflik muncul karena setiap partai memiliki opsi berbeda jika Portugal melepaskan Timor Portugal. Ada partai yang menghendaki kemerdekaan penuh, yakni Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente atau Fretilin. Partai lain, Uniao Democratica Timorense atau UDT, ingin tetap menjadi koloni Portugal. Sedangkan partai Associacao Popular Democratica de Timor, Pardito Trabalhista, dan Klibur Oan Timor Aswain ingin bergabung dengan Indonesia. Konflik ini dianggap berbahaya karena, selain mengganggu keamanan perbatasan Nusa Tenggara Timur, dikhawatirkan menyebarkan komunisme.
Sutiyoso mengaku diperintahkan mengintai sekaligus menginisiasi rencana ekspansi militer jika diperlukan. Berpakaian sipil dan diberi modal pistol kecil serta binokular (teropong), Sutiyoso berangkat menuju Atambua, perbatasan Nusa Tenggara Timur dengan Timor Portugal. Untuk mengumpulkan data intelijen, dia menyamar sebagai mahasiswa hingga kuli angkut. Beberapa kali Sutiyoso menyusup dan nyaris tertangkap. "Di perbatasan, Fretilin membuat pos penjagaan dan siap berperang," kata pensiunan letnan jenderal ini.
Setelah Sutiyoso menemukan celah penyusupan, pada pertengahan 1975, operasi intelijen yang dirintis Sutiyoso dinaikkan skalanya oleh Benny Moerdani. Dengan sandi Operasi Flamboyan dan dipimpin Kolonel Dading Kalbuadi-sobat kental Benny-Kopassandha mengirimkan tiga regu berkekuatan 100 orang. Tim berkode Susi, Umi, dan Tuti bertugas menyusup ke Timor Portugal, merekrut milisi setempat, dan menyiapkan basis untuk operasi militer skala besar. "Ada 1.500 gerilyawan lokal yang bergabung," ujar Sutiyoso, yang menjabat Wakil Komandan Tim Umi.
Tiga tim ini-yang dijuluki The Blue Jeans Soldiers karena memakai pakaian sipil-terlibat banyak pertempuran dengan Fretilin. Beberapa kota bisa direbut dan posisi Fretilin terpojok. Pada Desember 1975, mereka dilebur bersama tim gabungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam Operasi Seroja.
Sebelum Sutiyoso bergerak, ternyata ada tim intelijen lain yang menyusup ke Timor Portugal. Tim ini bergerak sejak Juli 1974 di bawah komando Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Pemimpinnya adalah Kolonel Aloysius Sugiyanto.
Kepada Tempo, Sugiyanto mengatakan ditugasi Wakil Kepala Bakin Ali Moertopo menjajaki peluang integrasi dengan pemimpin sipil di Timor Portugal. Selama setengah tahun, Sugiyanto rutin menjalin lobi. Sebagai bagian dari pendekatan, ada bantuan ekonomi. "Saya mengirimkan makanan, sepeda motor, hingga mesin ketik," katanya.
Pada Januari 1975, kegiatan itu dinaikkan skalanya menjadi operasi penggalangan politik dan diberi sandi Komodo. Dalam operasi ini, Sugiyanto dan tujuh perwira menengah ABRI yang ditugasi Bakin berhasil menjaring empat partai untuk berintegrasi-kecuali Fretilin.
Ali Moertopo dan jaringannya bertugas melakukan lobi-lobi internasional. Menurut Sugiyanto, tim Operasi Komodo pernah memfasilitasi pertemuan petinggi partai Timor Portugal dengan pejabat Portugal dan pemimpin bekas negara jajahan Portugal di Makau. Diplomat Indonesia pun melobi pemerintah Portugal hingga ke forum Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. "Ada hasil positif, antara lain kecenderungan Portugal untuk menyetujui integrasi," ujar Sugiyanto.
Namun, pada pertengahan 1975, konflik bersenjata semakin panas, terutama antara Fretilin dan UDT. Hal ini mengubah perjalanan lobi, dari pendekatan politik menjadi aksi militer. Puncaknya, kata Sugiyanto, terjadi menjelang November 1975. Sepulang dari Amerika, Ali Moertopo memanggil Sugiyanto dan menyuruhnya menemui Benny Moerdani. "Temui Benny, semuanya sudah dia ambil alih," kata Sugiyanto menirukan perintah Ali.
Dengan perasaan bingung, Sugiyanto berusaha menemui Benny. Dia mengaku baru bertemu dengan Benny di Nusa Tenggara Timur menjelang Operasi Seroja digelar. Dalam pertemuan itu, Benny hanya mengatakan, "You punya pasukan sekarang di belakang saya."
Saat itulah, menurut Sugiyanto, sebagian perwira Bakin melihat ada kecenderungan sikap Benny mengubah pendekatan integrasi, dari lobi politik menjadi aksi militer. Bakin, kata Sugiyanto, merasa kegiatannya dilangkahi Benny dan petinggi militer lain yang memilih berperang. "Kami kecewa, lobi politik yang dirintis lama berakhir seperti ini," ujarnya.
Namun pandangan itu dibantah Marsekal Muda Purnawirawan Teddy Rusdy. Mantan Asisten Perencanaan Umum ABRI dan asisten Benny di Badan Intelijen Strategis (Bais) ini mengatakan opsi militer diambil karena konflik di Timor Portugal semakin tak terkendali. Menurut Teddy, ada kecenderungan Uni Soviet, sebagai negara komunis terbesar saat itu, ingin menanamkan pengaruh di Timor Portugal melalui Fretilin. "Ini akan menjadi ancaman serius jika Indonesia tidak segera mengintegrasikan Timor Timur," ujarnya.
Sembilan pesawat Hercules C-130 mendekati batas langit Dili, Ahad dinihari, 7 Desember 1975. Di tengah remang cahaya, burung besi tambun yang masing-masing mengangkut 100 penerjun dari Grup 1 Kopassandha dan Brigade Infanteri 18 Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) itu melayang dengan formasi anak panah, mendekati jantung ibu kota Timor Timur. Pukul 05.45 waktu setempat, penerjunan dimulai. Dari bawah, para penerjun ditembaki milisi Fretilin dan Tropas sehingga sebagian tewas.
Di lepas pantai Dili, enam kapal perang Indonesia bergerak. Di pantai Kampung Alor, keenam kapal itu menurunkan belasan tank, panser, serta satu divisi marinir. Pada pukul 05.00, pasukan marinir yang dilindungi kendaraan lapis baja bergerak untuk merebut Dili. Mereka dihadang gerilyawan Fretilin. Akhirnya, pasukan gabungan ABRI merebut Dili pada pukul 12.30.
Dalam buku Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan yang ditulis Julius Pour, perebutan Dili atau hari pertama Operasi Seroja menewaskan 35 prajurit ABRI, termasuk dua mayor dan dua kapten. Hingga November 1979 atau akhir operasi, 247 prajurit Kostrad meninggal.
Menurut Teddy Rusdy, Benny kecewa karena melihat profesionalisme prajurit saat itu menurun. Setelah memadamkan berbagai pemberontakan di era Orde Lama, ABRI seperti kehilangan momentum meningkatkan kemampuan. "Benny juga kecewa karena banyak personel ABRI yang dipekerjakan di bidang politik."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo