Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Membebat Luka di Maluku

Rusuh Maluku adalah selarik sejarah yang mesti dicatat dengan tinta hitam. Hanya dalam dua tahun pertama kerusuhan antar-agama di sana, sekitar 3.000 orang tewas percuma dan 67.000 lainnya terserak dalam kamp-kamp pengungsian. Kini, empat tahun setelah amuk itu pertama kali berkobar, warga muslim dan Kristen mulai merasakan betapa sesungguhnya mereka saling membutuhkan. Yang muslim tak bisa mengusir hama babi hutan—sesuatu yang dulu dikerjakan warga Kristen. Sebaliknya, warga Kristen mengaku rindu masakan yang dulu dibuat kerabat muslim mereka. Wartawan TEMPO Mardiyah Chamim September lalu mengunjungi Ambon dan Kepulauan Seram, Maluku, bersama rombongan International Medical Corps (IMC), lembaga swadaya masyarakat AS yang menangani proyek rekonsiliasi di daerah konflik. Di Maluku.

16 November 2003 | 00.00 WIB

Membebat Luka di Maluku
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Mata Farida merah membasah saat mendengar Maluku Tanah Pusaka. Ini lagu yang hari-hari ini kerap berkumandang di udara Ambon. Syairnya berkisah tentang mereka yang meratapi anak, saudara, suami, atau kekasih yang menjemput maut di tengah kerusuhan. "Jadi ingat Eva, anak beta yang masih balita. Dia terpaksa meninggal saat katong (kami) sibuk mengungsi ke sana-sini," katanya. Suara ibu muda berambut ikal ini tersendat-sendat di tenggorokan.

Farida, yang tinggal di Kampung Olas, Pulau Seram Barat, Maluku Tenggara, hanya sekeping contoh. Masih ada jutaan orang yang berduka. Menurut Human Right Watch, sejak Januari 1999 hingga 29 Juni 2000, kerusuhan di Maluku telah menelan sedikitnya 3.000 korban tewas. Tragedi kemanusiaan ini juga memaksa 67 ribu penduduk tercerai-berai di kamp-kamp pengungsian. Tidak terhitung pula kerugian material akibat rontoknya permukiman dan infrastruktur telekomunikasi.

Luka mendalam tampak di setiap jengkal tanah Maluku. Begitu lepas dari gerbang Bandar Udara Pattimura, aroma kepedihan pasca-kerusuhan segera tajam menyergap. Keelokan teluk biru berkilau-kilau yang memagari Ambon tak sanggup menetralkan aroma kesedihan itu.

Di salah satu sisi Teluk Dalam Ambon, misalnya, tergeletak bangkai kapal California. Kapal yang berisi ratusan pengungsi dari kubu Kristen ini tenggelam karena dibom pada 10 Mei 2001 saat melayari jalur Galala-Gudang Arang Benteng. Kapal itu tinggal serpihan. Besi dan kayu-kayu mencuat ke sana-sini. Warna karat melumuri bangkai kapal. Dalam insiden itu enam orang tewas dan puluhan penumpang lainnya terluka.

Di sepanjang tepian teluk dekat bandara, pemandangan masih mengenaskan. Ribuan bangunan teronggok merana. Masjid, gereja, sekolah, universitas, rumah sakit, perkantoran, rumah penduduk, bahkan markas tentara tinggal puing-puing yang gosong. Alang-alang liar tumbuh dan menjajah ribuan bangkai bangunan ini.

Menuju pusat kota, terutama di kawasan Batu Merah, episentrum kerusuhan pada awal 1999, jejak-jejak kerusuhan terasa makin menggigit. Tembok-tembok rumah dan toko dipenuhi noda hitam seukuran bola voli. Itulah bekas hantaman roket dan bom molotov yang ditambal dengan semen ala kadarnya. Namun tambalan yang tidak rapi justru membuat bola-bola hitam seperti menegaskan sesuatu: bahwa di tempat ini sejarah pernah ditoreh dengan tinta hitam. Kepedihan yang bersenyawa dengan amarah. Air mata yang bersekutu dengan tetes darah.

Bergerak lebih jauh ke labirin kota dan pedalaman, luka kerusuhan kian kentara. Bocah-bocah kecil bergerombol di pojok gang memainkan peran acang dan obet. "Kalian jadi acang, beta jadi obet," kata Noval, bocah 9 tahun, kepada teman-temannya. Lalu, tampang sok jago dipasang dan mengalirlah adegan tiruan kekerasan yang sempat terekam dalam otak mereka.

Acang dan obet adalah dua istilah yang gencar melambung ketika kerusuhan memuncak pada rentang 1999-2001. Acang (diambil dari kata Hasan) adalah julukan bagi muslim, sedangkan obet (dari kata Robert) adalah panggilan bagi orang Kristen. Kedua identitas yang sungguh penting ketika kerusuhan antarpemeluk agama mendera sekujur bumi seribu pulau ini.

Ketika itu, massa dipastikan menghadang siapa pun orang yang hendak memasuki areal perkampungan. Mereka dengan garang dan curiga menanyakan identitas orang yang tidak dikenal: "Acang atau obet?" Jika jawaban kurang cocok, bukan mustahil pedang atau golok tajam menebas leher si orang tak dikenal sampai putus. Tak peduli jika orang asing tersebut adalah dokter atau petugas kemanusiaan lainnya. Katharina Mose, dokter yang bertugas di Pulau Piru, Seram, misalnya, pernah tiga kali hampir dibunuh karena mencoba menolong korban kerusuhan yang ada di wilayah muslim (lihat Srikandi, Golok, dan Puskesmas Bisu).

Bocah-bocah pemain "acang dan obet" tadi adalah saksi hidup berbagai peristiwa mengerikan di Maluku. Kekerasan telah menjadi lazim dan tak seorang pun bisa memastikan beban psikologis apa yang diderita anak-anak itu. "Kondisi mental anak-anak di sini memang butuh perhatian serius," kata Yulia Widyati, dokter yang mengelilingi Maluku dalam tugasnya sebagai awak klinik terapung kapal Srikandi.

Syukurlah, Maluku tak hendak terus tenggelam dalam gelap. Melalui kerja keras berbagai pihak, LSM lokal maupun internasional, pemerintah, juga masyarakat sendiri, gejolak kerusuhan berangsur bisa diredam. Status darurat sipil untuk Maluku, yang berlaku sejak dua tahun lalu, telah resmi dicabut pada 15 September 2003.

Berbeda dengan tahun-tahun lalu, menurut Tony, pengemudi taksi di Bandara Pattimura, kini hampir tidak pernah dijumpai orang yang dengan sengaja membakar kemarahan warga yang beragama lain. Tony yakin penduduk sudah muak dibakar provokasi yang tak jelas asal-usulnya.

Boleh jadi, kesadaran ini adalah efek positif dari serangkaian pertemuan yang diprakarsai pemerintah seperti perundingan Malino I dan II. Tapi kuatnya niat berdamai juga muncul dari masyarakat sendiri. "Tak ada yang suruh," kata Tony, "Katong jenuh dengan kekerasan. Katong sandiri yang sadar hentikan baku hantam sehingga Maluku bisa berdamai."

Seperti juga Tony, anak-anak muda Ambon pun ingin kembali menikmati hidup yang nyaman. Jiwa-jiwa muda inilah yang kemudian menghidupkan kembali tempat-tempat hiburan di Ambon yang telah lama mati suri. Tengoklah suasana malam Minggu di diskotek Hotel Wijaya II, Ambon. Ratusan orang muda tumpah ruah di ruangan yang hanya berukuran 20 x 10 meter ini. Semua turun melantai, tak jarang sampai terang tanah. Pekatnya asap rokok dan buruknya ventilasi tak jadi soal. "Di sini katong juga tak peduli acang atau obet," tutur Paula. Nona berambut ikal ini lalu asyik menggoyang pinggulnya mengikuti irama lagu poco-poco.

Perdamaian memang sudah terasa di Maluku. Orang-orang saling menganjurkan baku bae, rukun, dan sama-sama berusaha memulihkan luka kerusuhan. Masyarakat pun telah bisa membaur dalam kegiatan sehari-hari. Kantor, pasar, sekolah, dan rumah sakit yang sempat terpisah—antara yang Islam dan yang Kristen—kini sudah menyatu. Baku bunuh dengan brutal, culik, bakar, dan bom tidak lagi terjadi.

Memang, masih ada sedikit kabut gelap yang membayangi perdamaian di Maluku. Kampung muslim dan kampung Kristen masih terpisah. Warga berlainan agama pun masih enggan berbagi kampung ataupun melakukan kerja sama bisnis. "Katong masih hati-hati," kata Ismail, 52 tahun, tokoh masyarakat di Kampung Baru, Seram Barat, Maluku Tenggara.

Ismail trauma. Ia punya pengalaman buruk. Malam hari Januari 1999, beberapa hari usai perayaan Idul Fitri, Ismail didatangi seorang tetangga. "Dia orang Kristen dari Kampung Loki," kata tetangga itu seraya menunjuk seseorang. Orang itu lalu membocorkan informasi rahasia tentang rencana Kampung Loki menyerang permukiman muslim di Kampung Baru, keesokan paginya.

Mendapat informasi begini, Ismail segera bertindak. Dia meminta perempuan dan anak-anak segera mengungsi ke desa tetangga yang lebih aman. Perjalanan mengungsi menuju Kampung Ani dilakukan dalam kegelapan tengah malam. "Hanya 11 laki-laki yang bertahan di kampung," kata Ismail.

Benar saja, keesokan pagi pukul 7, massa dari Kampung Loki datang dengan amarah membuncah. Mereka membawa panah beracun, golok, parang, juga pedang. "Katong seng (tidak) tahu kenapa mereka marah begini rupa, sebab berpuluh tahun katong berteman baik dengan mereka," Ismail mengenang. Lalu seorang tokoh masyarakat Loki diam-diam mendekati Ismail. "Dia berkata sebaiknya beta segera pergi kalau tidak ingin mati dibakar," kata Ismail, "Dia juga kasih jalan agar katong bersebelas bisa aman menyelamatkan diri."

Akhirnya Ismail dan kawan-kawan aman masuk hutan. Tak ada korban meninggal tetapi seluruh harta benda penduduk Kampung Baru habis tak bersisa. Rumah-rumah dibakar, perahu dihancurkan, masjid dirusak. "Sedih tentu saja," katanya. Itulah sebabnya, Ismail melanjutkan, sampai kini dia belum mau berbisnis ataupun tinggal di kampung yang sama dengan orang Loki. Cengkeh yang dulu biasa dijual kepada orang Loki kini tersimpan di gudang rumahnya.

Namun Ismail menambahkan, dia sebetulnya tak pernah benar-benar membenci orang Loki. Ismail hanya butuh waktu untuk kembali belajar hidup berdampingan. Kelak, bila luka hati telah sembuh, dia tidak berkeberatan memulai lembaran baru dengan warga Loki yang kini mengungsi jauh dari Kampung Baru.

"Katong sebenarnya ingin juga orang Loki kembali," tutur Taufik, seorang warga Kampung Baru. Selama tak ada warga Loki, tak ada pula yang memburu hama babi ganas yang berkeliaran di hutan. Penduduk Kampung Baru yang muslim tak punya keahlian dan tak mau pula memburu babi hutan yang dagingnya dianggap haram. Walhasil, babi hutan hidup bebas sementara penduduk praktis tak berani berladang ke kebun cengkeh yang ada di pedalaman hutan. "Takut diserang babi," kata Taufik.

Taufik melanjutkan, dia pun mendengar dari berbagai pihak, orang-orang Loki sebenarnya rindu kembali ke kampung halaman. Mereka kangen masakan daging kambing, ikan bakar, dan berbagai produk keperluan sehari-hari yang biasa dihasilkan kerabat muslim mereka di Kampung Baru.

Begitulah, jauh di lubuk hati kedua kubu, acang dan obet, sesunguhnya ada rasa rindu dan saling membutuhkan. Luka di hati memang belum sembuh benar. Suatu ketika rindu mungkin bisa terbayar tuntas dan Ambon kembali manise.

Mardiyah Chamim (Ambon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus