Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dokter datang! Dokter datang!" Seruan itu membuncah memecah keheningan. Hari masih pagi di Kampung Olas, Pulau Seram Barat, Maluku Tenggara. Jam di tangan saya baru menunjukkan pukul 5 pagi. Kapal kayu yang difungsikan sebagai klinik terapung yang saya tumpangi baru saja merapat di dermaga kecil di kampung itu setelah menempuh perjalanan laut 10 jam dari Ambon, ibu kota Maluku. Matahari baru sedikit, tapi cahayanya telah merayapi permukaan desa.
Pagi itu keriuhan datang di Olas. Berita kedatangan Srikandi—nama kapal klinik terapung itu—tersebar dari mulut ke mulut. Penduduk berkemas seolah menyambut hari besar. Bocah-bocah dibangunkan, dimandikan, dan diberi baju terbaik.
Sejenak kemudian, puluhan orang, sebagian besar perempuan yang menggendong balita, sudah mengantre rapi memasuki dek kapal. Mereka santai menunggu awak Srikandi bersiap-siap. "Sabar ibu-ibu, kami mesti mandi dan sarapan dulu," kata Desi Taba, 42 tahun, kapten Srikandi.
Tiga jam kemudian, barulah aktivitas klinik terapung itu bermula. Berlinda, bidan, dengan sigap menimbang dan menyuntik bocah-bocah balita dengan aneka vaksin sesuai dengan kebutuhan. Yulia Widyati dan Budi Setiawan, dua dokter muda lulusan Universitas Padjadjaran, Bandung, beraksi memainkan stetoskop memeriksa pasien. Sementara itu, Bachtiar, perawat, sibuk meracik obat plus dua kotak susu yang akan diberikan kepada segenap pasien. Seluruhnya cuma-cuma.
Kedatangan Srikandi ke Olas adalah bagian dari perjalanan medis kapal yang disponsori International Medical Corps (IMC)—lembaga swadaya masyarakat AS yang memfokuskan diri pada rekonsiliasi di daerah konflik—ke kawasan Pulau Seram. Selain Olas, kapal juga mendatangi Ani, Baru, dan Aryati—ketiganya desa-desa lain di Seram. Kampung-kampung ini memang bukan kawasan yang punya nilai penting lagi strategis. Ketiganya hanya titik remang-remang dalam peta bumi Kepulauan Maluku. Namun, di pojok kampung-kampung yang terkucil inilah upaya pemulihan dampak kerusuhan terasa begitu bermakna.
Jauh sebelum Srikandi datang, di desa ini amuk datang membakar. Orang-orang dari kelompok Islam dan Kristen saling bunuh. Korban jatuh. Yang luka tak terobati. Setelah rusuh reda, kondisi kesehatan penduduk memilukan.
"Katong (kami) senang ada Srikandi di sini," kata Mama Eva, 45 tahun. Sejak empat tahun silam, pelayanan kesehatan menjadi barang mewah bagi Kampung Olas. Puskesmas yang terdekat, di Kampung Ani, sudah porak-poranda diterjang kerusuhan. Dokter dan perawat puskesmas telah lama kocar-kacir menyelamatkan diri, mengungsi ke tempat aman.
Memang ada seorang mantri yang bertahan di Puskesmas Kampung Ani. Tapi praktis kehadirannya tak berarti banyak, karena jalur distribusi macet dan pasokan obat-obatan dari pemerintah pusat mandek. "Itu sebabnya orang sebut puskesmas itu Puskesmas Bisu," kata Eva.
Di Puskesmas Ani, biasanya pasien yang datang hanya ditanggapi dengan basa-basi. Pasien yang sedang gering itu paling-paling diminta bersabar, karena tak ada obat tersedia. Kalau ada yang sakit berat, apa boleh buat, silakan berdoa saja menunggu ajal menjemput. "Habis," kata Eva, "sewa perahu ke Ambon mahal sekali, Rp 800 ribu sekali jalan. Mana sanggup katong." Maklumlah, penduduk di kampung ini adalah nelayan yang pendapatannya tak menentu.
Dengan kondisi memprihatinkan ini, wajar bila kualitas kesehatan masyarakat jadi menurun. Sepanjang tahun 2000, menurut catatan Lanaini, Kepala Desa Kampung Olas, 96 orang meninggal karena serangan malaria, diare berat, juga karena komplikasi saat hamil dan persalinan. Jumlah ini sangat signifikan mengingat total penduduk Olas hanyalah 4.000 jiwa.
Pertama kali Srikandi beroperasi, Maret 2001, Yulia dan Budi banyak menjumpai kasus malnutrisi yang berat di kalangan balita. Beberapa bocah mengalami honger oedem (HO) dalam tahap lumayan parah, tubuhnya tinggal kulit pembungkus tulang. Sesekali juga dijumpai balita yang mengidap penyakit batu ginjal dan, karena infeksi yang terus berlanjut, mereka harus dioperasi.
Kini, setelah setahun Srikandi beroperasi—dengan kedatangan rutin sebulan sekali di Kampung Olas dan sekitarnya—mutu kesehatan penduduk jauh membaik. Wajah-wajah balita sudah tampak cerah dengan pipi gembul. Grafik pertumbuhan mereka rata-rata sudah di atas garis normal. Tingkat kematian ibu hamil dan melahirkan juga bisa ditekan. Dua orang ibu bahkan melahirkan di meja bersalin klinik terapung. "Salah satu bayi diberi nama Srikandi, persis seperti nama kapal ini," kata Berlinda sambil tetap sigap menimbang para balita.
Hari itu aktivitas klinik terus berlanjut. Pasien mengalir tanpa henti. Pemeriksaan hanya berhenti sejenak ketika tiba rehat siang. Tak ada waktu santai. Usai santap siang, dokter dan perawat kembali berkutat dengan pasien sampai tak ada seorang pasien pun tersisa tanpa dilayani. "Pernah suatu kali kami baru berhenti hampir tengah malam. Kita semua sampai teler," kata Yulia. Peluh menetes satu-satu di dahinya.
Pernah dalam satu kali kunjungan, kru Srikandi memeriksa hingga 300 pasien. Ini terjadi pada periode awal Srikandi beroperasi, ketika efek kerusuhan masih terasa amat menekan. Diare menghebat di segala sudut kamp pengungsian. Selain karena air dan makanan yang kotor, diare juga dipicu tekanan psikologis yang dahsyat menyusul berbagai peristiwa kekerasan yang mereka alami.
Yulia melanjutkan, tekanan psikologis adalah hal yang paling sulit ditangani para dokter. Apalagi, penduduk masih takut-takut mengutarakan perasaan dan kecemasan. Mereka khawatir bakal terjadi dampak buruk bila peristiwa traumatis yang mereka alami diceritakan. "Tidak sedikit yang menangis berjam-jam di hadapan kami. Mereka kehilangan kata-kata," kata Yulia. Mereka adalah perempuan yang suami, anak, atau saudaranya dilibas kerusuhan.
Tanpa terasa, gelap berkuasa. Pukul 10.00 malam. Para pasien sudah tuntas dilayani. Semua kru kapal sudah membersihkan badan, mandi dengan sebagian dari 4.000 liter air tawar persediaan kapal sebesar bus kota itu. "Badan segar, siap tidur," kata dokter Budi Setiawan sembari bergegas menuju bilik yang ada di lantai bawah.
Kini giliran Kapten Desi Taba beraksi. Komando diberikan kepada delapan awak kapalnya untuk melanjutkan perjalanan. Malam itu juga Srikandi bertolak menuju Masohi, Maluku Tengah. "Butuh sembilan jam perjalanan ke sana. Itu pun kalau laut tenang," kata pelaut ini.
Harapan Desi Taba terpenuhi. Laut malam sungguh bersahabat. Tak sedikit pun ombak datang mengacau. Sementara itu, dari arah buritan, sesekali tampak lumba-lumba melompat. Di atas Srikandi, langit cerah dengan jutaan bintang berkedip membentuk berbagai rasi. Adakah keindahan ini punya nama? Perlukah keindahan ini diberi nama?
Pagi harinya, Srikandi bersandar di Pelabuhan Masohi dan kru medis beranjak dari kapal untuk menuju Rumah Sakit Umum Masohi. Sepintas, tidak tampak bekas kerusuhan di rumah sakit ini. Gedungnya bercat putih-biru bersih. Para pasien tersenyum meski badan lemas.
Katharina Mose, dokter yang bertugas di RSU Masohi, menuturkan kisahnya. Awal 1999, massa mengamuk tanpa sebab jelas. Kaca-kaca jendela rumah sakit dilempari batu. Segala peralatan medis dirusak. Para pasien yang sedang terbaring di kasur rawat inap berhamburan menyelamatkan diri.
Sebagai langkah darurat, fasilitas rawat inap dibagi dua. Untuk pasien muslim disediakan ruangan di Gedung Ampera, sedangkan pasien Kristen dirawat di Gedung Balai Latihan Kerja Masohi. Barisan tenaga medis pun dipecah berdasar agama. "Sungguh situasi menyedihkan," tuturnya.
Katharina kemudian mencoba memulihkan situasi. Dia mengepel, mengelap jendela, menyapu selasar. Harapannya, semoga rumah sakit yang porak-poranda itu segera bisa dibenahi.
Tidak jarang pula Katharina menyusuri daerah rawan kerusuhan, mencoba menolong orang sakit tanpa peduli agama mereka. Katharina berjalan sendirian karena rekan-rekannya takut menjemput bahaya. Tapi niat baik ini sering disambut dengan amarah. "Tiga kali saya dikepung dan diancam dibunuh. Tiga kali pedang ditempelkan di leher saya," dia mengenang. Untunglah, setelah niat dijelaskan, amukan massa mereda dan Katharina dipersilakan jalan terus mengobati korban kerusuhan.
Akhir 2001, IMC mengerahkan bantuan peralatan dan tenaga dokter untuk memulihkan fungsi RSU Masohi. Perlahan-lahan, tempat berobat ini pun kembali bernyawa. Poliklinik dan fasilitas rawat inap sudah kembali menyatu, tanpa batas muslim-Kristen. Jendela, selasar, dan kamar-kamar tidur pasien kembali berdenyut. Pada Maret 2003 lalu, IMC resmi mengembalikan pengelolaan RSU Masohi kepada pemerintah daerah setempat.
Hampir seharian Srikandi mampir di Masohi. Ketika orang-orang meninggalkan kapal, Srikandi kembali berkemas. Menjelang malam, kapal kayu bermesin 250 PK itu kembali ke Ambon: mengambil napas untuk serial pelayaran berikutnya.
Mardiyah Chamim (Pulau Seram, Maluku)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo