MEI 1821, Longwood House, St. Helena. Di senja itu terdengar gelegar meriam garnisun Inggris, menandakan tugas hari itu selesai. Kaisar menarik napas panjang. Dokter pengawas menghitung: 15 . . . 30 . . . satu menit. Tiba-tiba mata Kaisar terbuka. Seorang dokter lain yang berdiri dekat kepalanya mengusapkan telapak tangannya. Kedua bola mata itu tenggelam di kelopaknya. Denyutan nadi menghilang. Jam menunjukkan pukul 6 kurang 11 menit. Napoleon telah tiada. Tugas mengurus kematian yang sendu itu pertama-tama jatuh ke tangan Louis Marchand, pelayan kepala. Dalam usia 30 tahun Marchand yang tegap itu telah 8 tahun mengabdikan diri kepada Napoleon dengan setia. Tak heran Kaisar dalam surat wasiatnya menyebut Marchand sebagai "sahabat". Tiga minggu sebelumnya Kaisar sempat meninggalkan pesan kepada dokter pribadinya, "Setelah aku mati, yang waktunya takkan lama lagi, kuingin kau membelah badanku. Kuperintahkan kau tidak melewatkan apa pun dalam pemeriksaan itu. Engkau tak akan tahu apa yang salah dengan diriku sampai kaubelah badanku." Sesuai dengan wasiat itu, pada petang hari berikutnya direncanakan otopsi. Louis Marchand mempersiapkannya sejak pagi. Di ruang bilyar, yang untuk sementara dijadikan kamar mayat, 17 orang yang ambil bagian dalam otopsi telah hadir sebelum pukul 2. Mereka itu Marchand dan para pembantunya, dua perwira Prancis, wakil-wakil gubernur Inggris, dan tujuh dokter. Sebelum Kaisar - yang dikenal punya kekuatan fisik dan stamina yang begitu hebat - meninggal, kemunduran kesehatannya telah menjadi perdebatan pahit antara orang Prancis di Longwood House tempat Napoleon ditahan - dan penjaga-penjaga mereka orang Inggris. Para tahanan mempersalahkan udara St. Helena, dan menuduh pemerintah Inggris dengan sengaja mengirim Napoleon ke sana supaya mati. Dua dokter pribadinya memberi diagnosa "penyakit karena iklim". Tuduhan itu menakutkan Hudson Lowe, gubernur Inggris di St. Helena, orang yang bertanggung jawab atas kondisi lingkungan di Longwood House. Ia pernah mengadili seorang dokter militer, gara-gara dokter itu mengatakan bahwa Napoleon menderita hepatitis karena lingkungan yang tak sehat. Selain itu, Lowe juga selalu khawatir bila Napoleon lolos, seperti enam setengah tahun sebelumnya di Elba. Dari tujuh dokter, enam orang berkebangsaan Inggris dan berada di bawah disiplin keras Hudson Lowe. Keenamnya menyadari benar akibat dari yang mereka temukan. Dokter ketujuh, Francesco Antonmmarchi, 30, orang Korsika. Ia ahli patologi, telah jadi dokter pribadi Napoleon selama 16 bulan terakhir. Antommarchi-lah, atas permintaan pribadi Napoleon, akan bertindak sebagai pelaksana otopsi. Yang lain hanya akan jadi saksi. Mula-mula Antommarchi memotong dan membelah dada Kaisar untuk melihat organ-organ vital. Jantung ditanggalkannya dan ditaruhnya dalam sebuah tabung berisi alkohol. Napoleon memang berpesan agar jantungnya dikirimkan kepada jandanya, Marie Louise, yang tak mau menyertainya dalam pengasingan. (Pesan itu tak terlaksanakan, karena gubernur Inggris mencegahnya, dan kemudian menguburkan jantung itu beserta jasadnya.) Antommarchi kemudian melepaskan perut besar, yang pada pendapat bersama merupakan sumber penyakit fatal Kaisar. Perut itu dibuka agar semua yang hadir dapat menyaksikannya. Ketujuh dokter ternyata tak sependapat tentang penyebab kematian Kaisar. Karenanya, mereka menulis empat laporan terpisah. Hanya satu hal yang mereka sepakati, yakni hadirnya bisul di perut dekat pylorus. Antommarchi menyimpulkan, itu "kanker ulcer". Dokter-dokter Inggris mengatakan "bagianbagian scirrhouslah yang menyebabkan kanker". Laporan resmi menyatakan bahwa kematian Napoleon disebabkan oleh pylorus - laporan inilah yang umumnya dipercaya orang. Dan karena penyakit itu jadi kematian ayahnya pula, disimpulkanlah bahwa ia telah menderita penyakit turunan. Hal itu jelas membebaskan Gubernur Lowe dari beban dan tanggung jawab sejarah besar. Salah satu dokter Inggris, Thomas Shortt, mendapat kesan bahwa hati Kaisar telah membengkak. Itulah laporan yang tak diharapkan oleh Lowe, karena dengan demikian mendukung pendapat bahwa kondisi kesehatan di St. Helena buruk. Lowe memanggil Shortt dan memerintahkan bagian itu dicabut. Dokter tersebut dengan berat hati menurut. Tapi begitu keluar dari St. Helena, ia mencatat kejadian itu. Antommarchi pun punya kesimpulan sama, yakni hati Napoleon membesar secara abnormal, walau tak jelas penyebabnya. Ia percaya orang Inggris bertanggung jawab atas kematian Napoleon. Dokter pribadi Kaisar itu menulis laporan apa adanya, sementara Lowe tak bisa berbuat apa-apa. Tiga hari kemudian, 9 Mei, Napoleon dikuburkan di sebuah lembah di Pulau St. Helena. Pada 27 Mei semua pengiringnya berangkat ke Inggris dengan kapal Camel. Pada 25 Juli, hari ke-59 dalam pelayaran, Louis Marchand dipanggil ke kabin Count Charles-Tristande Montholon. Di kamar yang sempit itu Marchand bergabung dengan dua orang pelaksana pewarisan: Henri-Gratien Bertrand, bekas kepala upacara di istana Napoleon, dan Montholon sendiri. Bersama mereka hadir juga Pendeta Angelo Vigneli yang telah menyaksikan ketika surat wasiat itu ditanda tangani. Montholon dan Bertrand dua perwira yang terus mendampingi sang bekas kaisar selama dalam pengasingan. Dalam tahun-tahun yang penuh kesulitan itu keduanya bersaing untuk jadi orang kesayangan Napoleon. Pada bulan-bulan terakhir Montholon yang tampan dan aristokrat sejati berhasil mengalahkan Bertrand yang lebih pendiam dan tenang. Padahal, Bertrand lebih lama mendampingi Napoleon. Montholon ditunjuk sebagai pelaksana pewarisan pertama dan dipercaya menyimpan surat itu. Sekarang kemenangan itu sempurna: ia akan membacakan surat wasiat, sementara saingannya tinggal duduk dengan tenang. Dari isi dokumen yang dibacakan Montholon itu terlihat bahwa Napoleon seorang yang ahli dalam detail. Marchand, kepala pelayan itu, mendapat warisan uang dan barang-barang permata yang cukup sebagai bekal menempuh sisa hidupnya. Ia sangat gembira karena mendapat sebutan "sahabat" dari Mendiang. Selain itu, ia mendapat tugas istimewa. Yaitu bertanggung jawab atas tiga kopor kayu berisi barang-barang pribadi Almarhum. Di antara benda-benda dalam kopor itu terdapat segumpal rambut yang harus dibagi-bagikannya kepada orang-orang terdekat dan sahabat-sahabat. Hampir satu setengah abad kemudian rambut itu menjadi kunci terpenting untuk membuka rahasia kematian di St. Helena. Gotteborg, Swedia, Musim Gugur 1955. Pada usia di awal 50-an Sten Forshufvud membagi waktunya sebagai dokter gigi dan hobinya yang utama, yakni serologi - ilmu darah dan yang berhubungan dengan itu, misalnya toksikologi atau ilmu racun. Di samping itu, ia masih punya hobi lain yang tak kalah digandrunginya, yakni segala sesuatu yang berhubungan dengan Napoleon. Kamar duduknya dihiasi dengan hiasan-hiasan memorabilia berbau Napoleon. Gambar kaisar Prancis mengenakan jas penobatan terpampang di dinding. Di bagian atas sebuah pigura besar yang mengikat cermin antik lebar, terukir sang kaisar selagi muda, rambutnya terurai panjang. Itulah ketika Napoleon diangkat sebagai konsul pertama. Lalu di atas jam meja terpasang patung orang yang dikaguminya itu menunggang kuda. Di lemari terletak keramik yang dihiasi dengan lukisan lebah, lambang pribadi Kaisar. Di rak di kamar kerjanya penuh buku tentang Napoleon . Hobi itu diturunkan dari ayahnya, seorang dokter pula. Bagaimana tidak, bila ia dibesarkan di daerah yang menggemakan nama Napoleon. Ia hafal kutipan kata-kata Napoleon. Dan dalam usia 14 tahun, ketika duduk di sekolah menengah, Forshufvud pernah menulis tentang Napoleon untuk lomba mengarang. Dalam karangan itu disebutnya Napoleon sebagai "salah seorang tokoh besar dalam sejarah dunia". Malam itu, di bawah pandangan beberapa pasang mata sosok Napoleon yang terpampang di dinding, ia membaca memoar yang ditulis oleh Louis Marchand - pelayan kepala yang mendampingi Napoleon di saat-saat terakhir. Marchand menujukkan memoar itu kepada anak perempuannya, "Untuk menunjukkan kepadamu dan anak-anakmu bahwa Kaisar adalah untukku." Baru ketika satu-satunya cucu Marchand mengizinkan, memoar itu diterbitkan. Jilid kedua yang meliput masa St. Helena baru saja terbit di Prancis. Forshufvud selalu percaya bahwa Napoleon mati prematur. Itu merupakan tragedi terbesar di dunia. Usia Kaisar baru 45 ketika ia dibuang. Sebenarnya ia masih bisa memerintah Prancis untuk 20 tahun lagi. Forshufvud selalu mengikuti perdebatan di kalangan para spesialis tentang kematian tokoh pujaannya itu. Baik dokter maupun sejarawan masih saja mengulangi lusinan teori yang semuanya didasarkan pada laporan otopsi. Forshufvud tak percaya bahwa Napoleon mati karena kanker. Ia yakin tak ada yang bisa tahu sebab kematian itu, bila cuma membaca laporan otopsi. Karenanya, ia berpikir, barangkali saja Marchand bisa menyodorkan bukti-bukti baru. Malam itu ia membaca laporan pandangan mata dari hari ke hari dalam Mei 1821. Ia menemukan hal-hal baru yang lebih detail. Marchand melukiskan bagaimana perasaan Napoleon di suatu hari tertentu, bagaimana tawanan terhormat itu melukiskan hal yang dideritanya, apa yang dimakannya, dan bagaimana reaksinya. Ia pun bercerita bagaimana Napoleon bereaksi terhadap obat yang diminum tanpa persetujuannya, dan bagaimana reaksi tubuh Napoleon kemudian. Sambil membaca, pikiran dokter itu menerawang ke studinya tentang racun. Mungkinkah Napoleon telah diracuni? Kelihatannya demikian, dan itu tidak dilakukan dengan cara memberi dosis yang mematikan, karena bekasnya pasti akan terlihat dalam otopsi. Bagaimana kalau ia diracuni dengan perlahan-lahan dan berlangsung berbulan-bulan, malah bertahun-tahun? Forshufvud menemukan pola informasi Marchand tentang Napoleon yang selalu berulang: rasa kantuk dan tak bisa tidur yang bergantian, kaki bengkak dan rambut - kecuali yang di kepala - rontok. Itu semuanya tanda-tanda keracunan (atau lebih populer dengan sebutan intoksikasi) arsenik. Ia sekarang ingat bahwa dokter pribadi Napoleon, Antommarchi, dan dokter Inggris Shortt mencatat pembesaran limpa, tapi kelihatannya bukan karena penyakit. Limpa seorang korban arsenik, Forshufvud tahu, akan membengkak. Arsenik sudah lama ada. Racun itu sudah populer di Prancis, dan di zaman Napoleon dikenal sebagai "bubuk warisan", karena bisa mempercepat perkara waris-mewaris. Arsenik merupakan racun ideal karena tak berbau dan tak ada rasanya. Seperlima gram arsenik sudah cukup membunuh seorang manusia. Dalam dosis kecil yang diberikan berulang-ulang, racun itu akan membunuh perlahanlahan. Prosesnya bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Sakit akibat arsenik dalam dosis kecil sukar didiagnosa, karena gejalanya sama seperti penyakit-penyakit lain pada umumnya. Celakanya lagi, apabila orang yang terkena racun itu mendapat obat tertentu, terutama tartar emetik dan colomel, kematian akan lebih cepat datang dan bekas-bekasnya tak akan kedapatan dalam perut apabila mayat korban diotopsi. Di masa itu, umumnya dokter-dokter memberikan kedua obat tersebut untuk segala macam keluhan. Ini memungkinkan si pembunuh menyelesaikan tugasnya sambil menghapuskan bukti-bukti. Sungguh suatu kejahatan sempurna. Sementara itu Forshufvud memikirkan kemungkinan teori arsenik bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan sekitar kematian Napoleon, yang selama ini tak terjawab. Kanker perut biasanya membuat penderita makin kurus, sedangkan Napoleon di hari-hari terakhir makin gemuk. Dan kegemukan memang gejala umum pada korban yang keracunan arsenik sedikit demi sedikit. "Begitulah mereka melakukannya. Ia mati diracun dengan arsenik. Dan buktinya ada di sini," serunya sambil menutup buku dan mengusapnya seolah-olah memberi selamat kepada penulisnya. Istrinya, yang duduk di sebelahnya, terkejut ketika ia menceritakan laporan yang dibacanya. "Maukah kau menuliskannya?" tanya istrinya. Tidak, jawab Forshufvud. Ia seorang ilmuwan dan bukan detektif. Tapi jawaban Forshufvud kepada istrinya malam itu, rupanya asal jawab. Empat tahun kemudian pengejaran atas pembunuh Napoleon telah menjadi obsesi dalam hidup dan pekerjaannya. Di kapal Bellerphone, Juli 1815. Hari itu, 14 Juli, sebagian rakyat Prancis diam-diam merayakan Hari Bastille (penyerbuan penjara Bastille yang memulai Revolusi Prancis). Sementara itu, Napoleon, yang menjadi tawanan Inggris, sedang menunggu keputusan atas nasibnya. Kaisar itu memang lebih suka menyerah kepada orang Inggris ketimbang ditangkap oleh ahala Bourbon yang berjaya kembali. Inggris dan sekutu-sekutunya sadar betul akan bahayanya, apabila Napoleon cuma disingkirkan di Eropa. Enam bulan sebelumnya dengan mudah kaisar yang kalah itu lari dari Elba, dan dengan mudah pula ia berkuasa kembali. Tetap hadirnya Napoleon, sekalipun sebagai tawanan, dekat-dekat di Eropa akan terus membuat kaum bangsawan yang menguasai Eropa deg-degan. Maka, diputuskanlah bahwa Napoleon akan diasingkan ke St. Helena sebuah pulau terpencil dan mudah dijaga di Atlantik Selatan. Keputusan itu disampaikan oleh Admiral Lord Keith. Dan Napoleon sempat terperangah mendengarnya, walaupun ia seorang realis. Ia sadar, orang Inggris tak akan memberinya kesempatan lolos untuk kedua kalinya. Karena itu, ia segera memilih anggota-anggota staf yang akan menyertainya ke pengasingan. Pilihan pertama jatuh kepada Bertrand, opsir pasukan zeni yang menjabat pemimpin upacara di istana. Bertrand dan istrinya, Fanny, itu pula yang menemani Kaisar ketika dibuang ke Elba. Sekali lagi ia pun ia bersedia mendampingi Kaisar, walaupun kali ini istrinya keberatan. Ada kenangan pahit sewaktu di Elba, mereka kehilangan anaknya. Agak sukar memilih lagi pengiring yang lain. Akhirnya, Kaisar mengambil Count Charles-Tristan de Montholon, seorang dengan pribadi yang agak unik. Bangsawan itu ganteng, berumur 30-an. Karena koneksi keluarga, ia berhasil menjadi jenderal dan memegang jabatan militer dan diplomatik. Tapi ia tak pernah pergi berperang. Tiga tahun sebelumnya, ketika menjabat menteri dengan kekuasaan penuh pada Grand Duke of Wurzburg ia menikah tanpa izin Kaisar dengan Albine de Vassal yang baru saja bercerai. Napoleon memecatnya. Setelah Perang Waterloo (ketika Napoleon dikalahkan Inggris), dengan cara licin Montholon dan istrinya berhasil mendampingi Kaisar naik kapal Bellerphone. Kemudian terpilih pula Markis de Las Cases, yang berjanji untuk menulis sejarah era Napoleon. Ia didampingi oleh Gaspard Gourgoud, 32 tahun, seorang opsir artileri yang beberapa kali menyertainya dalam beberapa kampanye militer Napoleon. Pelayan setia Louis Marchand terang harus ikut. Orang muda yang kekar ini juga menjabat sebagai bodyguard. Waktu itu umurnya 24, belum menikah dan tak punya kerja lain kecuali mengabdi kepada Kaisar. Ia pergi ke St. Helena sebagai pelayan kepala, dibantu Francesci Cipriani, pelayan keluarga Bonaparte sejak masa Korsika. Marchandlah kepercayaan Kaisar. Dialah yang memberi isyarat bahwa Inggris akan mengirimkan Napoleon ke tempat yang sangat jauh . Kaisar terguling ini diizinkan pula membawa dokter. Kebetulan, di kapal ia berkenalan, dan langsung merasa senang kepada Dokter Barry O'Meara, dokter kapal. O'Meara menerima ajakan Kaisar untuk turut ke St. Helena. Ini menyenangkan orang Inggris, tentu. Dengan demikian, dokter itu bisa bertindak sebagai mata-mata. Pada 17 Agustus, kapal Northumberland dengan dikawal 9 kapal lain dan 1.500 prajurit membawa Kaisar Napoleon ke St. Helena. November 1959, Goteborg. Setelah beberapa bulan Forshufvud mengerjakan secara penuh "proyek Napoleon", ia menemukan nama Hamilton Smith. Ceritanya, pada hari itu ia pergi ke perpustakaan Goteborg untuk memeriksa artikel-artikel terakhir dalam beberapa jurnal kedokteran. Ketika menyimak Analytical Chemistry, terbaca olehnya artikel Smith tentang metode baru pengetesan rambut untuk memeriksa keracunan arsenik. Hamilton Smith seorang ahli riset dari Departemen llmu Kedokteran Forensik Universitas Glasgow, Skotlandia. Ia sedang tertarik pada testing arsenik. Sebab, ahli toksikologi yang dihormati itu merasa prihatin benar akan akibat racun tersebut terhadap lingkungan, terutama dalam hubungannya dengan kanker paru-paru. Arsenik sangat luas digunakan dalam insektisida penyemprot hama tembakau. Menurut Smith, ia telah menemukan cara baru untuk memeriksa keracunan arsenik hanya dengan menggunakan sehelai rambut. Teknik yang ditemukan Hamilton merupakan hasil sampingan perang: penggunaan tenaga nuklir dalam riset. Bekerja sama dengan Pusat Riset Atom Harwell dekat London, Smith berhasil mengembangkan suatu prosedur penyinaran yang dapat mengaktifkan arsenik pada rambut seseorang yang keracunan arsenik, dan mengukur kadarnya dengan tepat. Forshufvud keluar dari perpustakaan dengan hati gembira, dan merasa beban yang dipikulnya telah jadi ringan. Pertama-tama tentu saja ia harus menemukan rambut itu. Dan ia tahu, tempat untuk memulai tahap ini adalah Paris. Dokter gigi itu memutuskan untuk menulis surat kepada seseorang yang dikenal dengan nama Pangeran Napoleon. Orang itu keturunan Jerome, adik Kaisar Napoleon, dan sekarang menjadi wakil klan Bonaparte. Mei 1960, Paris. Ketika Commandant Lachouque setuju untuk bertemu, Sten Forshufvud merasa nasibnya berubah baik. Sebelum itu, kunjungannya ke Paris bersama istrinya hanya merupakan serentetan kegagalan. Semula ia datang dengan tujuan menemui Pangeran Napoleon - Napoleon Louis Victor Bonaparte, dari garis keturunan Kaisar. Forshufvud telah menulis kepadanya dari Goteborg, dan mendapat jawaban berupa undangan untuk menemuinya di Paris. Dari kamar hotelnya ia menelepon Kaisar, dan berbicara dengan staf sekretaris Pangeran. Orang itu meyakinkan dia bahwa Pak Sekretaris akan menghubunginya via telepon. Ternyata, sampai pukul 19.30 panggilan itu tak kunjung datang. Keesokan harinya Forshufvud menelepon lagi, dan, sekali lagi, ia harus menunggu dengan hampa. Kebungkaman di seberang sana membuatnya yakin bahwa Pangeran sebenarnya tak ingin bertemu dengan seorang asing dari Swedia yang bermaksud membuka kembali kasus kematian nenek moyangnya. Forshufvud mengerti alasannya. Seorang Bonaparte - terutama keturunan dekat Kaisar - harus berhati-hati, walaupun kini sudah abad ke-20. Dalam ukuran sejarah, satu abad lalu - ketika nama Napoleon bagaikan bayangan menakutkan di seluruh Eropa - bukan waktu yang lama. Dan baru sepuluh tahun yang lalu pemerintah membatalkan undang-undang yang melarang keluarga Bonaparte bertempat tinggal di bumi Prancis. Mengetengahkan kemungkinan bahwa Napoleon mati diracun, kemungkinan besar akan menimbulkan kegemparan politik yang akan mengancam diterimanya kembali keluarga Bonaparte di Prancis. Sambil merenungi nasib, sekilas ingatan Forshufvud kembali ke memoar Marchand. Pelayan kepala itu mengatakan bahwa ia telah memberikan seikat rambut Kaisar kepada seorang wanita bernama "Madame Sylvester". Segera saja dibuka-bukanya buku telepon untuk mencari nama itu. Tapi dokter gigi yang bersemangat ini hanya menemukan kekecewaan: ditemukannya, paling tidak, 50 nama Sylvester. Adakah seorang lain yang bisa dihubungi? Ya, memang ada. Lalu dicarinyalah nama "Lachouque". Hatinya berjingkat ketika didapatinya hanya ada satu nama di bawah "Lachouque". Sangat bisa jadi, itulah orang yang dicarinya: Henry Lachouque. Orang itu tokoh terkemuka di kalangan ahli tentang Napoleon di Paris, dan menjabat Direktur Museum Les Invalides. Dialah yang menyunting memoar Marchand. Diputarnya telepon dan, kebetulan, Lachouque sendiri yang menerima. Suaranya ramah, dan ia bersedia menemui Forshufvud untuk berdiskusi tentang Napoleon . Keesokan harinya bertemulah mereka. Henry Lachouque tampaknya seorang gentleman masa lalu, dengan postur tinggi dan kepala setengah botak. Atas permintaan tuan rumahnya itu, Forshufvud lalu memaparkan teorinya - yang didasarkan pada memoar Louis Marchand - bahwa Napoleon mati diracun. Untuk membuktikannya, ia perlu selembar rambut agar bisa dites oleh Dr. Hamilton Smith dari Glasgow. "Rambut Kaisar? Saya punya sedikit," kata Lachouque. "Ikuti saya." Sten Forshufvud bukan macam orang yang cepat gembira oleh sesuatu yang kelihatannya akan berhasil. Tapi kali ini - mengikuti Ullabritta, istrinya, yang mengekor di belakang Lachouque - hatinya bersorak. Ruang yang mereka masuki adalah museum pribadi, sebuah kamar yang penuh dengan relik Kaisar. Pedang dan bayonet penuh menghiasi dinding. Di sudut ada semacam tempat pemujaan yang dihiasi tirai menjuntai dari langit-langit. Di meja kecil terletak sebuah replika putih topeng kematian Napoleon. "Wajah ketika Kaisar wafat," kata Lachouque. Di situ juga terlihat barang yang membawa Forshufvud ke Paris, yakni sebuah reliquaire Louis Marchand, sebuah kotak kayu kecil tempat pelayan setia itu menyimpan barang-barang kenangan masa St. Helena. Isinya antara lain sketsa penguburan dan kartu permainan yang dipakainya untuk menulis pesan-pesan Napoleon yang terbaring di kamar tidur gelap, seminggu sebelum ia meninggal. Di dalam kotak kecil itu juga terdapat amplop kecil dengan tulisan tangan Marchand, "Les Cheveux de I'Empereur", yang artinya rambut Kaisar. Isi amplop memang itu, seikat rambut yang dicukur dari kepala Napoleon, sehari setelah ia meninggal. Forshufvud memandang dengan cermat ikatan rambut itu . Warnanya cokelat kemerah-merahan dan halus bagaikan sutera. Rambut yang datang dari St. Helena lebih dari 100 tahun itu akan segera membukakan rahasia pikir Forshufvud. Bagaikan dalam suatu upacara, Commandant Lachouque memberikan amplop itu kepada Ullabritta. Tangannya yang terlatih itu memetik sehelai rambut dari ikatannya dengan sebuah pinset, lalu ditariknya. Jangan lupa, ia pernah jadi asisten Forshufvud, sebelum jadi istrinya. Tuan rumah kemudian berkata, "Madame, barangkali Anda suka seekor lebah?" Dengan tanggap Forshufvud menjawab, tentu saja, "dengan senang hati." Orang Prancis itu memberikan replika sebuah lebah berukuran 11 X 8 cm yang disulam dengan benang emas. Napoleon telah memilih lebah sebagai simbol pribadi, untuk menunjukkan dirinya pekerja keras. Forshufvud tahu, telah menjadi kebiasaan Kaisar menghadiahkan simbol itu kepada orang yang diperintahkannya mengerjakan suatu misi. Dokter gigi itu tak percaya mistik, tapi pemberian itu bagaikan titah Kaisar yang telah tiada lebih dari 100 tahun lalu kepadanya, untuk membongkar rahasia kematiannya. Itu merupakan suatu kehormatan besar. Ketika berpamitan, ia mengatakan kepada Lachouque, "Ini merupakan hari yang paling membahagiakan dalam hidup saya." Juli 1960, Goteborg. Surat dari Glasgow yang telah lama dinanti-nantikannya akhirnya tiba juga. Tiga bulan lalu, ia menulis surat tercatat kepada Hamilton Smith - dengan melampirkan sehelai rambut yang didapatnya dari Lachouque. Sebelumnya, ia telah menelepon dan, untunglah, ahli toksikologi itu bersedia melakukan tes, tanpa menanyakan nama "jentelmen yang dulu memakai rambut itu." Forshufvud berpendapat, belum waktunya ia mengungkapkan nama sebelum hasil tes ada di tangannya. Dibukanya surat itu dengan hati-hati. Di dalamnya ia menemukan nota dengan tulisan tangan Hamilton. * * * Mei 1961, Goteborg. Dalam surat jawabannya Hamilton Smith mengatakan bahwa ia memerlukan beberapa helai rambut lagi. Itu sebabnya beberapa waktu lalu ia menulis surat kepada Commandant Lachouque, dan opsir Prancis yang ramah itu sekali lagi bersedia ditemui di Paris. Di Paris, dengan perantaraan Lachouque, ia ditanggapi oleh para ahli kedokteran militer Prancis. Mereka meminta Forshufvud menguraikan tesisnya. Sungguh janggal, pikirnya, seorang Swedia memberi ceramah tentang seorang pahlawan nasional Prancis kepada orang Prancis, dan mengatakan bahwa pujaan mereka mati diracun. Tak banyak reaksi yang didengarnya, kecuali beberapa pertanyaan kecil. Sikap mereka positif, dan setuju kalau Forshufvud melanjutkan penelitiannya. Malah ada usul untuk membongkar peti jenazah yang ada di bawah ratusan ton batu granit tak jauh dari sana. Lachouque pun memberi lagi beberapa helai rambut dan menemaninya menemui Henri Griffon, ahli toksikologi terkemuka. Itu atas usul Forshufvud sendiri, yakni agar rambut Napoleon dianalisa di Prancis dengan menggunakan teknik Hamilton Smith . Tapi perkembangan tiba-tiba saja berbalik. Dan Forshufvud tahu sebabnya. Bukan cuma Lachouque, tapi orang-orang Prancis lain dalam lingkungan ahli-ahli Napoleon mestinya punya pertanyaan berikut: kalau Napoleon benar-benar diracun, siapa pelakunya? Dan jawaban atas pertanyaan itu tampaknya jelas. Yakni pahlawan nasional itu telah dibunuh oleh orang-orang terdekatnya selama di St. Helena. Sebab, untuk menuduh orang Inggris, bukti-bukti tampaknya tak mengarah ke sana. Itu tentu saja tak diinginkan Prancis. Forshufvud terbentur pada dua pilihan: menghentikan penelitiannya atau meneruskannya. Bila langkah kedua yang diambilnya, ia memerlukan bukti fisik bahwa yang diujinya memang rambut Kaisar. Masalahnya, orang Prancis sudah tak mau membantu - pintu tampaknya sudah tertutup. Sementara itu, Hamilton Smith menunggunya di Glasgow. Dokter gigi dari Swedia itu akhirnya memilih cara publisitas. Dirampungkannya artikel yang beberapa bulan sebelumnya ditundanya, karena menunggu sampai bukti-bukti fisik yang lebih jauh diperolehnya. Sekarang ia tak mau menunggu. Ia harus berjudi, tentu saja dengan perhitungan. Ia berpendapat, lebih baik berbuat sesuatu daripada menunggu dan kalah. * * * Oktober 1961, Hamburg. Sten Forshufvud dan Hamilton Smith, bersama Anders Wassen, seorang ahli toksikologi Swedia, menulis artikel di jurnal Nature terbitan Inggris. Artikel tersebut menjelaskan secara terinci analisa Smith atas selembar rambut. Tak lupa dikatakan bahwa korban tak lain adalah Kaisar Napoleon. Reaksi keras dari para ahli Prancis, yang segera saja muncul, sudah ditebaknya sejak semula. Isi artikel tersebut lebih merupakan suatu kutukan, kata para ahli Prancis, lantaran orang Swedia itu telah berani-berani nyelonong ke wilayah mereka. Dan, tentu saja, itu melukai kebanggaan mereka. Selembar rambut tak cukup, siapa tahu itu telah kena kontaminasi dari luar. Malah ada yang sangsi bahwa itu benar-benar rambut Napoleon. Harapan Forshufvud ternyata berjawab. Beberapa hari setelah artikel itu terbit sebuah panggilan telepon dari Swiss membesarkan hatinya. Penelepon mengaku bernama Clifford Frey, seorang fabrikan tekstil dari Kota Munchwilen, Swiss. Ia menyimpan seikat rambut Napoleon yang berasal dari pelayan Kaisar, Abram Noverraz. Dengan senang hati ia akan menyerahkan rambut itu untuk penelitian lebih lanjut. Dan ia ingin ditemui sore itu di pelabuhan udara Hamburg, Jerman. Di bandar udara Hamburg setelah berunding sebentar, Frey bersedia menyerahkan rambut itu dengan syarat. Tadinya, orang Swiss itu ingin menjualnya dengan harga œ1.000. Tapi, dengan gaya bicaranya, Forshufvud berhasil meyakinkan dia bahwa itu benar rambut Kaisar, harganya tentu akan lebih mahal. Sebab, itulah senjata untuk meruntuhkan berbagai teori tentang kematian tokoh termasyhur itu. Sementara menunggu pesawat terbang terakhir ke Goteborg, Forshufvud merasa puas. Di dalam tasnya sudah ada benda yang telah lama dinantikannya - rambut, yang akan menentukan kebenaran atau kengawuran teorinya. * * * Desember 1961, Goteborg. Forshufvud mengikuti gejala penyakit Napoleon, seperti yang dilihat para penulis memoar dalam periode 7 bulan, antara September 1820 (ketika ia jatuh sakit keras) dan 5 Mei 1821 (saat ia meninggal). Ia mencocokkan deskripsi keadaan kesehatan Napoleon dengan gejala keracunan yang diketahuinya, untuk mengetahui kapan kira-kira ia kena arsenik. Sudah lama ia beranggapan, dalam 7 bulan terakhir itu Napoleon telah menunjukkan gejala-gejala, a baik kronis maupun akut, keracunan arsenik. Keterangan para saksi - para penulis memoar itu - sungguh meyakinkan. Langkah berikutnya adalah membangun plot gejala keracunan tersebut, dengan bukti-bukti dari rambut yang sedang dikerjakan Hamilton Smith. Penderitaan terakhir Napoleon, menurut tulisan saksi-saksi, bukanlah suatu penurunan kesehatan yang perlahan menuju kematian. Penderitaan akut itu selalu diselingi dengan keadaan sehat. Tapi tidak terlalu sehat, karena ia cuma bisa berjalan beberapa langkah dengan susah payah. Napoleon selalu mengeluh kepada Marchand, "Kedua kakiku tak bisa menopangku." Kelemahan di bagian bawah badan merupakan gejala keracunan arsenik. Untuk membuat catatannya urut, Forshufvud menyambungkan beberapa helai kertas di lantai dan menulis semua gejala penyakit Napoleon selama 7 bulan terakhir, seperti yang dilaporkan oleh Antommarchi dan Marchand. Seluruh masa sakit itu ditelusurinya dengan yang dinamakannya garis waktu. Ternyata, gejala-gejala itu tak tersebar secara merata dalam garis panjang tapi terpotong-potong antara periode sakit dan periode sehat. Dalam 7 bulan itu Napoleon menderita enam episode keracunan akut. Setelah Februari, sifat gejala-gejala itu kelihatan berubah. Kaisar itu agak sembuh pada pertengahan April, ketika ia menulis surat wasiatnya. Penderitaan berlangsung lagi selama dua minggu, dan itulah yang terakhir. Laporan Hamilton Smith datang pada bulan Desember. Itu merupakan hasil penelitian luas dan menentukan. Ahli toksikologi itu telah mencabut 20 helai rambut dari ikatannya. Dua kali tes dilakukannya. Hasilnya, rambut itu menunjukkan kadar kandungan arsenik 3,27 dan 3,75 bagian persejuta. Angka itu kurang dari pengukuran pertama, tapi masih lebih kurang 4 sampai 5 kali skala normal yang 0,8. Smith menganalisa sehelai rambut sepanjang 13 cm, sepotong demi sepotong. Grafik yang didapatnya menunjukkan gambaran tinggi-rendah dengan perbedaan besar: antara 2,8 dan 51,2. Analisa atas rambut yang lebih pendek menghasilkan angka 1,06 (tak begitu berbeda dengan ukuran normal) sampai, yang tertinggi, 11. Smith menyatakan secara tertulis, ia melakukan 140 kali tes. Perbedaan besar dalam grafik Smith merupakan bukti fisik bahwa Napoleon bukan tidak disengaja dibunuh dengan arsenik. Maka, Forshufvud pun menjadi benar-benar yakin bahwa seseorang telah sengaja meracuni Napoleon dengan arsenik, dan itu dilakukan secara periodik, dan kadarnya tak cukup kuat untuk membunuh seketika. Ia tentu saja mengharapkan agar gejala-gejalanya bisa tertukar dengan gejala penyakit lain. Kemudian Forshufvud mencocokkan garis waktunya dengan grafik Smith. Ia mencoba menghitung kembali garis pertumbuhan rambut sampai pada waktu dicukur. Perpanjangan 5 mm rambut menunjukkan pertumbuhan sekitar dua minggu, berarti 15 hari dari kehidupan Napoleon. Ia pun membandingkan tinggi-rendah grafik Smith dengan kelompok gejala sakit dan sehat. Dan itu cocok semuanya. Sepanjang garis waktu bulan-bulan terakhir masa hidup Napoleon, puncak kandungan arsenik dalam rambut terjadi bersamaan waktunya dengan kelompok waktu yang menunjukkan munculnya gejala keracunan, seperti yang dilaporkan dalam memoar. * * * 20 Mei 1962, Grossvenor House, London. Sejak artikel itu muncul, pencarian bukti tampaknya semakin lancar. Setelah Frey, Forshufvud menerima surat dari seorang wanita Australia bernama Dame Mabel yang mengaku cicit William Balcombe, pemasok bahan makanan ke Longwood House tempat Napoleon dulu ditahan. Wanita itu mengatakan bahwa ia tak hanya menyimpan satu, tapi dua ikat rambut Kaisar. Seikat didapatnya sebagai warisan dalam keluarga Balcombe, satu ikat lagi berasal dari keluarga Komander John Theed, kapten sebuah kapal perang Inggris yang pernah berkunjung ke St. Helena. Yang paling menggembirakan Forshufvud, Mabel setuju mengirimkan kedua ikat rambut itu untuk penelitian lebih lanjut. Di samping itu, wanita Australia itu juga mengundang Forshufvud untuk menemuinya di London dalam musim semi. Dengan gembira dokter gigi itu membalas surat tersebut, dan menyarankan agar mengirimkan rambut Kaisar kepada Hamilton Smith di Glasgow untuk diuji. Pada hari yang telah ditentukan, Forshufvud berada di London berbicara dengan Dame Mabel. Wanita itu mulai dengan pertanyaan terarah, "Dokter Forshufvud, saya bersukacita karena Anda telah mengajukan bukti bahwa Kaisar meninggal karena diracun. Anda mesti tahu, ada tradisi dalam keluarga kami bahwa kakek-buyutku juga percaya akan hal itu. Jadi, sebagai wakil keluarga Balcombe, saya harus mengucapkan terima kasih karena Anda telah berhasil mengungkapkan kejahatan itu. Nah, sekarang saya ingin tahu, apakah contoh rambut yang saya kirimkan itu menambah jelas persoalan. "Sangat membantu, Dame Mabel, sangat membantu. Dan seharusnya sayalah yang mengucapkan terima kasih kepada Anda," jawab Forshufvud sambil memperlihatkan kedua sampel ikat rambut yang menunjukkan bukti-bukti peracunan arsenik. Forshufvud menceritakan pula bahwa terkenanya Napoleon oleh arsenik dapat ditentukan hampir mendekati ketepatan. Sebab, dapat diketahui dari memoar Betsy Balcombe bahwa rambut itu dicukur pada 16 Maret 1818. Karenanya bisa disimpulkan, rambut yang dipotong tuntas dari kulit kepala oleh Marchand hari itu adalah rambut yang mulai tumbuh pada 1817 atau pada bulan-bulan pertama 1818. "Dan kita tahu dari memoar Barry O'Meara (dokter Inggris Napoleon) dan Louis Marchand, dalam periode itu Kaisar beberapa kali sakit dengan menunjukkan gejala-gejala keracunan arsenik pada bagian akhir waktu itu," kata Forshufvud. * * * 22 April 1963, Goteborg. Hamilton Smith melaporkan hasil analisanya atas sampel baru rambut Napoleon yang diterima dari Duncan Macauley. Kolonel Macauley yang tinggal di Sussex adalah keturunan Admiral Pulteney Malcolm. Seperti halnya Clifford Frey dan Dame Mabel, ia telah membaca teori yang diajukan Forshufvud dan kandungan arsenik yang ditemukan oleh Hamilton Smith. Ikatan rambut itu didapatnya dari warisan keluarga Admiral Malcolm. Sang admiral dan istrinya mengunjungi Kaisar di Longwood House, pada 3 Juli 1817. Analisa potong per potong atas rambut dari Malcolm menunjukkan kandungan arsenik yang berkisar antara 1,75 dan 4,94 bagian persejuta, yang berarti sekitar 2 sampai 6 kali kadar normal. Hasil analisa menunjukkan angka lebih rendah dari yang terdahulu. Yang paling penting untuk Forshufvud adalah pola tinggi rendah yang sangat mencolok dari analisa itu. Itu merupakan bukti yang paling meyakinkan bahwa peracunan itu disengaja. Dan untuk pertama kalinya juga hal tersebut membuktikan adanya peracunan dalam dua tahun pertama pengasingan. Namun, sebegitu jauh, hanya segelintir oranglah yang tahu akan bukti-bukti baru yang ada di tangannya. Barangkali, ia sekali lagi harus mengumumkan penemuan barunya itu. Ia yakin, kali ini pun akan mendapat hasil yang sama. * * * Februari 1970, New York. Gregory Troubekkoy, seorang warga New York, ternyata juga penggemar masalah-masalah Napoleon. Dengan cara yang berbelit-belit ia berhasil memperoleh seikat rambut yang berasal dari sejarawan Emmanuel Las Cases, yang menemani Napoleon di St. Helena. Troubetzkoy, seperti tecermin dari namanya, seorang keturunan bangsawan Rusia. Nenek moyangnya turut berjuang melawan Napoleon, ketika kaisar Prancis itu menyerang Rusia. Pendapat orang ini mengenai Napoleon sedikit kontradiktif. Sebagai seorang Rusia yang patriotik, ia anti-Napoleon. Tapi ia pun berpendapat, kekalahan Napoleon sedikit banyak membawa perubahan ke negerinya. Yang jelas, ia berpendapat bahwa kekalahan Napoleon menyebabkan terjadinya peredaan gelombang revolusi di Prancis, yang juga berpengaruh atas meredanya gelombang revolusi di Eropa, termasuk Rusia. Perkenalan Troubetzkoy dengan Forshufvud kebetulan belaka. Di salah satu koran lokal, beberapa lama sebelumnya, orang Rusia itu membaca sebuah berita kecil tentang analisa rambut Napoleon oleh seorang ahli di Glasgow. Tadinya ia tak begitu tertarik pada tulisan itu. Baru ketika ia membeli sebuah naskah asli Las Cases yang berjudul Memorial de Sainte-Helena, sebagai seorang yang keranjingan Kaisar, ia teringat pada artikel lama tersebut. Pasalnya, dalam naskah itu tertempel juga seikat rambut Kaisar. Dibongkarnya kembali koleksi klipingnya, maka ia mendapatkan nama Forshufvud. Segera saja diteleponnya dokter gigi itu. Dengan antusias, Troubetzkoy menjanjikan contoh rambut beberapa helai. Atas saran Forshufvud, dikirimnya enam helai rambut langsung ke Hamilton Smith di Glasgow, Skotlandia. Troubetzkoy sedang membaca surat dari Forshufvud yang menceritakan analisa rambut yang terdapat dalam Las Cases, yang dikirimkannya kepada Hamilton Smith dulu itu. "Kami tak tahu berapa jarak potongan rambut itu dari kulit kepala Napoleon. Bisa jadi rambut itu dicukur oleh Sartini (pelayan Napoleon yang lain) dari tengkuk di dekat kepala. Menurut Las Cases, rambut itu dicukur pada 16 Oktober 1816. Kalau demikian, itu membuktikan bahwa Napoleon telah menelan arsenik dalam jumlah besar secara teratur kira-kira dari 31 Juli sampai 1 Oktober 1816. Itu cocok benar dengan yang kami ketahui tentang kesehatan Napoleon pada waktu itu. Sejak pertengahan April 1816, ia tidak banyak lagi bergerak karena kakinya tak bisa lagi menyangga tubuhnya. Pada waktu yang bersamaan, orang-orang sekelilingnya juga memperhatikan bagaimana ia telah berubah secara mendadak. Dari potret tahun-tahun 1816, 1817, dan 1818, Napoleon kelihatan makin seperti seorang alkoholik yang tubuhnya makin gendut dan berat. Padahal, menurut kesaksian-kesaksian, ia tak banyak minum anggur, malah tidak minum minuman keras sama sekali. Dari tanggal 9 sampai 13 September Kaisar makin sakit, juga untuk beberapa hari dalam bulan Agustus 1816. "Bisa diperkirakan bahwa rambut-rambut yang Anda kirimkan dipotong sepanjang 10 cm dari kulit kepala. Kalau demikian, ini menunjukkan arsenik masuk ke dalam tubuh Kaisar dimulai sejak Januari 1816 dan berlangsung hingga awal Maret tahun itu. Walaupun ini tampaknya tak mungkin, hasil analisa tak berlawanan dengan perkembangan kesehatan Napoleon yang kami ketahui." * * * 27 September 1974, Mont Gabriel, Kanada. Ben Weider menggandrungi dua hal: kesehatan dan kesegaran fisik. Sebagai pendiri sekaligus pemilik sebuah perusahaan pembuatan alat-alat body building, ia selalu tertarik pada ilmu fisiologi manusia. Hal lain yang boleh dikatakan digilainya adalah Napoleon. Nama itu menjadi suatu obsesi baginya, dan merupakan satu bagian dari hidupnya. Ia selalu membaca semua terbitan penting tentang tokoh masyhur itu. Pikiran Weider selalu penuh dengan teka-teki tentang sakit dan meninggalnya Napoleon. Ia heran bagaimana Napoleon yang selalu menjaga kesehatan tubuhnya, melakukan latihan tiap hari dan makan minum dengan hati-hati, bisa mati dalam usia 40-an. Mula-mula Weider membaca artikel Forshufvud melalui seorang temannya, seorang dokter, yang sama-sama menjadi anggota organisasi Souvenir Napoleonien atau Lembaga Napoleon Kanada. Harap diketahui, Weider adalah ketua lembaga tersebut. Setelah membaca artikel itu, ia berpendapat bahwa dokter gigi Swedia itu telah mengungkapkan hal-hal baru dan lebih masuk akal ketimbang teoriteori kuno yang telah dibacanya. Weider pun lalu mengadakan korespondensi dengan Forshufvud selama beberapa tahun, sebelum mereka bisa bertemu muka. Sementara itu reaksi dari Prancis sungguh berlawanan. Semua ahli yang setanah air dengan Napoleon menolak teori Forshufvud, dan menganggap teori itu absurd. Bukti dari rambut, bantah mereka, tak masuk akal lantaran arsenik bisa saja diserap dari tanah ke dalam tubuh setelah penguburan. Weider merasa bahwa perlawanan para Napoleonis Prancis, yang disebut Forshufvud sebagai "blokade" itu, sangat tidak fair. Weider terpanggil untuk membantu Forshufvud. Demikianlah, setelah melalui proses berbelit dan korespondensi panjang lebar, Weider dan Forshufvud setuju bertemu. Pertemuan itu berlangsung di Mont Gabriel Lodge, sebuah tempat peristirahatan di Pegunungan Laurentian, sekitar 60 mil dari Montreal, kota tempat tinggal Weider. Untuk tampil sebagai pembela Forshufvud, Weider terlebih dahulu ingin mendapat jawaban dari dokter gigi dan ahli racun itu tentang beberapa hal yang masih meragukannya. Forshufvud, tentu, saja tak mengelak. Mengapa teori racun tak diketahui jauh-jauh hari, padahal buktinya sangat kuat? Forshufvud menjawab bahwa ia telah mengajukan hal semacam kepada Henri Griffon, toksikolog terkemuka dari angkatan kepolisian di Paris. Griffon menjawab, tak pernah ada dokter yang memberi diagnosa keracunan arsenik secara tepat dan cepat. Itu karena gejalanya sama dengan penyakit-penyakit lain yang mudah dikenali. Mengapa Antommarchi, dokter pribadi Napoleon, tak menyadarinya? Riset keracunan arsenik baru dimulai pada 1930, 109 tahun setelah Napoleon meninggal. Tapi, bagaimana dengan ahli pengobatan dan juga sejarawan yang telah mengkaji hal itu? Forshufvud mengingatkan rekannya itu bahwa, sampai Hamilton Smith menemukan teknik analisa rambut, tak pernah ada bukti fisik langsung yang mengarah kepada teori peracunan. Hal itu baru muncul ketika memoar Marchand terbit. "Anda harus juga tahu bahwa semua yang menolak teori arsenik saya adalah mereka yang pernah menulis tentang Napoleon. Mereka tentu saja ogah teorinya dibantah orang. Ini mengena betul pada diri para Napoleonis Prancis. Setahu saya, mereka yang membantah saya adalah para sejarawan. Sampai hari ini, belum seorang pun muncul dari kalangan toksikologi, fisiologi, ataupun kriminologi yang maju ke depan melawan saya. Sejarah adalah milik para sejarawan, dan bukan para ahli pengetahuan alam. Anda bayangkan bagaimana para ahli Napoleon dari Prancis itu bisa menerima kenyataan bahwa Kaisar telah dibunuh oleh salah seorang dari warga negara mereka." "Mengapa tuduhan Anda tidak tertuju kepada Gubernur Hudson Lowe?" tanya Weider bersemangat. "Kalau demikian, saya pasti jadi orang Swedia pertama yang jadi ketua Souvenir Napoleonien Cabang Paris," sahut Forshufvud sambil terbahakbahak. Mungkinkah Napoleon memakai minyak rambut? Atau barangkali tirai di kamarnya, di St. Helena, ataupun tonik di pulau pembuangan itu mengandung arsenik? Minyak rambut akan membuat kadar arsenik merata, jawab Forshufvud, tidak turun naik seperti kadar arsenik dalam rambut yang dianalisanya. Lalu, kalau tirai yang jadi penyebab, pasti bukan cuma Napoleon yang menderita sakit semacam itu. Dan tonik yang berbasis arsenik baru secara umum digunakan di Prancis sekitar 1860. Harap dicatat, Napoleon selalu menolak minum obat. Bagaimana dengan asal-usul rambut yang digunakan sebagai bukti? Forshufvud menjawab pasti. Rambut itu asli. Keasliannya bisa dipercaya dari pola kandungan arsenik yang ada di dalamnya. Jangan lupa, rambut itu bagaikan sidik jari yang selalu bervariasi antara satu orang dan yang lain. "Rambut yang kami terima datang dari banyak sumber. Kalau itu palsu, berarti rambut dari satu orang mestinya telah tersebar ke seluruh dunia. Mungkinkah kelima orang yang satu sama lain tak saling mengenal itu bersekongkol memalsukan rambut yang sama? Buat apa?" Untuk pertanyaan selanjutnya, Weider tampak ragu mengatakannya. Tapi Forshufvud arif sudah. Katanya, "Ben yang baik, mestinya Anda berpikir bahwa seorang Swedia gila telah mengganti rambut-rambut itu dengan yang lain, untuk menopang teorinya. Anda punya hak penuh buat menelusuri segala kemungkinan. Tapi saya tak punya peluang untuk membuat pemalsuan. Dengan perkecualian rambut dari Marchand dan Noverraz, sampel-sampel lain dikirim langsung kepada Hamilton Smith di Glasgow, tanpa lewat saya." Pertanyaan Weider terakhir, mengapa harus meracuni secara bertahap dan sedikit-sedikit. Inilah jawaban Forshufvud. Ahala Bourbon takut kepada Napoleon. Tapi yang paling mereka takutkan adalah kegiatan gerakan Bonapartis, karena keluarga Bourbon selalu mencap setiap gerakan perlawanan sebagai kegiatan golongan Bonapartis. Jangan lupa, Napoleon masih populer. "Andai kata saja Count d'Artois memerintahkan pembunuh bayarannya menyudahi nyawa Napoleon dengan sekali sabetan racun, maka suatu otopsi akan dilakukan. Kalau info keracunan tersebar, bayangkan reaksi-reaksi kemarahan rakyat. Akan terjadi pemberontakan," kata orang Swedia itu. Keesokan harinya, diskusi diteruskan dengan pertanyaan pokok: siapa pembunuhnya? Mereka meninjau kembali orang-orang yang hadir di St. Helena ketika drama itu terjadi. Pertama-tama, keduanya mengeluarkan orang-orang yang tidak pernah tinggal di Longwood House dari daftar. Alasannya, mereka bisa meracuni semua penghuni Longwood House, tapi tak mungkin memfokuskan pembunuhan itu kepada Napoleon. Orang-orang Inggris pun dicampakkan dari daftar, walaupun tuduhan orang Prancis terpusat pada mereka. Mereka yang tak menyertai Napoleon selama di pengasingan juga dicoret. Sebab, bukti-bukti arsenik berasal dari periode awal, tengah, dan akhir selama pengasingan yang makan waktu lima setengah tahun itu. Perhatian sekarang tertuju kepada mereka yang tinggal: Las Cases, Gourgoud (opsir artileri yang menyertai Napoleon), O'Meara, Albine de Montholon Cipriani yang mati di pengasingan, dan mereka yang datang kemudian, seperti Antommarchi. Daftar tersangka makin pendek, tapi masih termasuk ke dalamnya dua perwira, Bertrand dan Montholon, serta kira-kira selusin pelayan. "Kita harus mengesampingkan Bertrand. Kasihan dia, karena tak berbahagia di St. Helena, berhubung perlakuan Napoleon terhadapnya. Dan peracunan perlahan merupakan suatu tindakan yang penuh dengan perhitungan darah dingin, bukan karena kemarahan. Lebih lagi, Bertrand tidak tinggal di Longwood House, dan ia tak turut campur dalam mengatur rumah tangga," kata Forshufvud. Weider tahu cara meracuni, yakni melalui makanan dan minuman. Maka, katanya, "Tukang masak Pierron tinggal di Longwood selama masa pengasingan." "Benar," jawab Forshufvud. "la dengan mudah dapat meracuni Napoleon, tapi tentu bukan Napoleon sendiri yang akan terkena. Sebab, masakan Pierron itu dihidangkan oleh seorang pelayan pria. Napoleon tak pern'ah mau menerima makanan selain dari pelayannya itu. Maka, Pierron tak akan tahu porsi yang mana yang akan dihidangkan kepada Napoleon, kecuali ada makanan khusus yang dipesan Kaisar. Tapi makanan khusus itu tak sering, dan tak ada catatan tentang keracunan makanan." Kemudian mereka mendiskusikan tiga pelayan: Louis Marchand, pelayan kepala Saint-Denis dan Noverraz, seorang Swiss. Dua yang terakhir harus dikesampingkan karena mereka tidak melayani makan Kaisar secara tetap. Weider menyadari bahwa cuma ada dua orang yang tertera dalam daftar tersangka. "Sungguh ironis. Montholon dan Marchand - dua orang yang paling dekat dan paling setia dari pengikut Kaisar!" "Ironis, memang, tapi wajar," kata Forshufvud. "Hanya yang paling setia yang bisa dekat dengan sasaran dan bisa menyelesaikan misi itu." Latar belakang alasan kedua orang itu pergi ke St. Helena dibicarakan. Pertama Louis Marchand. Ia telah melayani Napoleon sepuluh tahun. Ibunya juga pelayan istana Napoleon. Keduanya tak punya hubungan apa pun dengan keluarga raja Prancis. Napoleon adalah satu-satunya kehidupan yang dikenalnya sepanjang hidup. Wajar kalau ia turut ke St. Helena. Sekarang Montholon. Ia berasal dari keluarga aristokrasi kuno. Ia seorang perwira yang tak pernah berperang. Napoleon pun tak pernah tahu siapa dia sebenarnya. Ia bahkan tak mengizinkannya kawin dengan Albine. Dan ketika ia mengawini juga wanita itu, Montholon dipecatnya. Ketika Napoleon ditumbangkan dan dibuang ke Elba, Montholon mendekati keluarga Bourbon. Ia jauh lebih dekat kepada golongan aristokrasi kuno ketimbang kepada Napoleon. Ayah tirinya, Count de Semonville, sangat dekat dengan d'Artois, adik Louis. Tak pelak lagi, ia mendapat pangkat jenderal melalui koneksi tersebut ketika restorasi Bourbon pertama (ketika Napoleon dibuang ke Elba). Pada waktu itu, suatu tuduhan berat dialamatkan kepadanya. Montholon didakwa menggelapkan uang 6.000 franc, gaji anak buahnya. Itu suatu tuduhan serius yang bisa membawanya ke penjara beberapa tahun. Tapi ia tak pernah diajukan ke pengadilan. Tak lama kemudian, Napoleon kembali dari Elba. Dalam memoarnya, Montholon mengatakan, ia segera saja bergabung kembali dengan Napoleon. Tak ada buktinya. Dan yang paling mengherankan, mengapa seorang playboy semacam dia memilih pergi ke St. Helena kalau bukan untuk suatu keperluan. Sekarang, perhatikan juga kelakuannya di St. Helena. Ia tak bereaksi apa-apa ketika Napoleon begitu dekat, malah mesra, dengan istrinya, Albine. Ketika Albine minta pulang, ia memilih tinggal, walaupun Napoleon menyuruh keduanya pergi. Sekali lagi, mengapa? "Saya pikir cuma satu penjelasan tentang kelakuan yang mengherankan itu. Ia dikirim menyertai Kaisar ke St. Helena dengan satu tujuan: meracun Kaisar. Orang yang mengirimnya adalah Count d'Artois, yang telah beberapa kali menjadi otak pembunuhan atas Napoleon. Saya percaya bahwa d'Artois, dengan perantaraan ayah tiri Montholon, mengatakan kepadanya, kalau tak mau menjalankan misi itu, ia akan diseret ke pengadilan karena telah mencuri gaji anak buahnya. Itulah alasan saya, dan dengan ini saya tuduh Montholon pembunuh Kaisar!" Diskusi beralih ke cara pembunuhan. Montholon bersama dengan pelayan lain, Cipriani, memegang tanggung jawab rumah tangga dan perlengkapan, termasuk bahan makanan dan minuman. Montholon memegang tanggung jawab sebagai orang yang mengurus anggur. Ia memegang kunci tempat anggur. Anggur merupakan alat terbaik untuk peracunan. Napoleon selalu minum anggur, yakni yang bermerk Vin de Constance, dari botolnya. Anggur itu tiba di St. Helena dalam tong-tong. Sebagai pengurus anggur, sangat mudah bagi Montholon mencampurkan arsenik ke dalam botol-botol anggur. Dalam beberapa kesempatan yang jarang terjadi, Napoleon memberi anggur kepada teman-temannya. Dan beberapa kali orang yang menerima anggur itu menderita gejala penyakit seperti yang diderita Napoleon. Teman-temannya memperingatkan dia tentang bahayanya minum anggur. Tapi Napoleon tak pernah menggubris peringatan itu. Juni 1975, Geranium Valley, St. Helena. Ketika ia memandang ke kepingan semen berat yang pernah jadi penutup kuburan Kaisar, pikiran Sten Forshufvud menerawang ke adegan pada bulan Oktober 1840, tatkala jasad Napoleon menjadi bukti terakhir "perkara" garapannya. Pada awal tahun itu, karena desakan kaum Bonapartis, Raja Louis Philippe memutuskan memenuhi harapan Almarhum Napoleon agar ia dikuburkan di tepi Sungai Seine. Untuk itu, dikirimnya suatu rombongan yang ditugasi membawa jasad Kaisar kembali ke Prancis. Semua yang kembali hidup-hidup dari pengasingan diundang dalam penggalian kembali itu. Hadir antara lain Bertrand yang sudah berusia 69, Las Cases yang di atas 80. Louis Marchand yang berusia setengah tua juga hadir. Juga St. Dennis dan Noverraz, dua pelayan lain, ada di situ. Antommarchi dan O'Meara telah meninggal. Montholon tak ada di situ, karena dipenjarakan. Hidupnya, setelah St. Helena, tetap penuh teka-teki. Ia memperoleh 1,5 juta franc, tapi pada 1829 ia bangkrut. Tahun 1840, ia mengabdikan dirinya kepada Louis Napoleon, anak Louis Bonaparte dari istrinya yang bernama Hortense. Anak itu kemudian menjadi Kaisar Napoleon III. Tahun itu juga ia memimpin suatu pasukan orang nekat, menyerang Prancis dari Inggris. Mereka bercita-cita merebut kembali Prancis untuk Louis Napoleon. Tapi tentara Kerajaan Prancis sudah menunggunya, dan Montholon pun tertangkap. Ia dihukum 20 tahun penjara, tapi enam tahun kemudian ia dibebaskan. Montholon meninggal 13 tahun kemudian, dengan membawa rahasia hidupnya. Ketika dikuburkan, jasad Napoleon tidak dibalsam. Ketika peti dibuka, semua yang hadir tak mendapati tulang-belulang seperti umumnya mayat yang telah dikuburkan 19 tahun. Pakaian seragam yang dikenakannya pada waktu dikuburkan rusak, tapi tubuhnya utuh. Forshufvud, 140 tahun setelah pembongkaran kuburan itu, tahu akan keanehan ini. Arsenik! Racun itu, selain berfungsi sebagai perusak, juga pemelihara jaringan hidup. Museum-museum biasanya menggunakan arsenik untuk memelihara spesimen. Tubuh yang kena arsenik akan mengalami proses pembusukan sangat lambat. Jadi, jasad Napoleon memberi petunjuk tentang terjadinya pembunuhan. Bukti itu akan diperkuat andai kata tubuh Kaisar yang terbaring di bawah ribuan ton semen dan disimpan di dalam peti enam lapis itu boleh dibuka. Tapi, kalau itu disetujui pemerintah Prancis, penyelidikan selanjutnya merupakan tugas yang lain. Forshufvud telah menyelesaikan tugasnya yang dimulai tahun 1959, setelah ia membaca memoar Louis Marchand. Ia telah "dianugerahi" lambang kumbang Napoleon, yang sekarang tergantung di kamar kerjanya. Di ruangan itu ia telah memecahkan teka-teki kematian Napoleon. Sudah saatnya dia beristirahat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini