TEGAK LURUS DENGAN LANGIT
Kumpulan Cerita Pendek Iwan Simatupang
Penerbit Sinar Harapan, 1982, 115 hal
SESUATU yang tidak mungkin, sesuatu yang gila-gilaan dalam
sebuah cerita pendek bisa sangat menarik. Dan Iwan Simatupang
(1928-1970) rupanya ahli dalam hal itu.
"Lima belas tahun yang lalu, terataknya didatangi seorang
laki-laki kasar memperkosanya lalu pergi ...." Atau, "Oleh
karena ia pada suatu hari tak tahu apa yang harus dilakukan
tangannya, ia mencari tali dan menggantung dirinya."
Dengan daya rangsang dan daya kejut seperti itulah Iwan membuka
cerita pendeknya. Dalam Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu, ia
membuka kisah dengan sepasang suami-istri yang kira-kira sedang
berjalan-jalan, lantas si suami pamitan hendak membeli rokok
sebentar. Tapi suami itu baru kembali sepuluh tahun kemudian.
Sementara si istri tetap menunggunya di pojok jalan.
Sebenarnya saja, seperti bisa dibaca dalam kumpulan 15 cerita
pendek Iwan ini, pembukaan seperti itu selain memiliki daya
pikat, pun langsung menyiapkan pembaca untuk terjun dalam satu
dunia imajinasi yang lepas bebas. Suatu dunia tempat langit bisa
disulap.
Maka adalah seorang tokoh yang membunuh bapaknya yang baru saja
kembali dari hilang. Soalnya, bapak itulah yang mendatangkan
kesulitan demi kesulitan selama ia hilang itu. "Hilang adalah
keadaan lebih parah daripada mati," tulis Iwan. Keluarga tokoh
itu tidak ingin hilangnya kepala keluarga diketahui orang lain,
untuk menjaga ketenteraman, untuk menghindarkan pertanyaan yang
bukanbukan. Maka karena itulah petugas sensus yang menanyakan
siapa kepala keluarga di situ, rerpaksa dibunuh oleh kedua kakak
si tokoh. Cerpen Tegak Lurus dengan Langit.
Yang menarik lagi, tokoh-tokoh cerita Iwan adalah tokoh yang
selalu bergerak dan berbuat. Tokoh-tokoh yang praxis, tulis Dami
N. Toda, yang memberi pengantar untuk buku kumpulan cerita
pendek ini. Ini menjadikan cerita Iwan dinamis.
Lahir di Sibolga, Sumatera Utara dan kemudian belajar di Fak.
Kedokteran di Surabaya, Iwan mengaku pernah mengambil kuliah
antropologi di Leiden, kemudian "mempelajari filsafat di Paris".
Kegiatan kreatif yang pertamatama dilakukannya ialah menulis
puisi, di awal 50-an. Kemudian, drama. Dan baru pada 1959 cerita
pendek pertamanya muncul di Siasat Baru. Toh, Iwan lebih dikenal
dengan novel-novelnya (Ziarah, 1960, Merahnya Merah,1961,
Kering, 1961 dan Koong, 1968). Dan drama-dramanya (Bulan Bujur
Sangkar, Taman) -- hingga kini masih sering dipentaskan oleh
grup-grup teater remaja di Jakarta.
Tapi Iwan tidak sendiri.Cara bercerita dengan menuturkan
peristiwa atau pemikiran yang mengejutkan, kini dalam khasanih
kesusastraan Indonesia dilakukan oleh Putu Wijaya. Putu
(kumpulan cerita pendeknya Bom, Gres dan Es) mengawali ceritanya
dengan langsung menotok pembaca. "Setiap kali hendak menulis
namanya sendiri, tangannya selalu keseleo dan menulis kata
'babi'. . ." (cerita pendek 'Babi' dalam Gres). Cerita ini
diakhiri dengan Anwar, tokoh itu, dengan pertolongan seorang
dokter berhasil menuliskan namanya dengan betul. Dan dokter itu
lantas meminta Anwar sendiri membacanya. "Babi!" seru Anwar.
Tapi cerita Putu lebih terasa seperti menyimbolkan sesuatu.
Kadang terasa pula keanehan tokohnya karena kelainan jiwa. Dalam
cerita pendek Iwan, kesan simbolistis tipis. Iwan seperti hendak
mencari jawab tentang kesepian manusia dan "hakikat hidup". Maka
tokoh-tokoh Iwan adalah tokoh-tokoh yang selalu berkonfrontasi
dengan hidup yulg bunuh diri, yang hilang misterius. Dengan kata
lain, seperti ada sesuatu yang melandasi pemikirannya. Ketika
Iwan, seperti dituturkannya, sempat belajar flsafat di Paris,
arus filsafat eksistensialis memang sedang ramai dibicarakan.
Toh Iwan bisa encer. Dalam cerita pendeknya yang kemudian, yang
ditulisnya sekitar dua tahun sebelum meninggalnya, ia tak lagi
menyuruk ke dalam gelap dan kesepian hidup. Seperti hanya sampai
di permukaan. Mungkin cerita pcndeknya yang akhir-akhir itu,
yang muncul di Warta Harian (surat kabar yang dipimpinnya
sendiri), memang sengaja dikaitkan dengan peristiwa yang lagi
hangat. Karena itu lebih dipentingkan sentuhan sosialnya.
Tapi seperti halnya Putu, Iwan seorang tukang cerita yang
tangkas, yang siap ngibul. Dalam cerpen ' Aduh . . . Jangan
Terlalu Maju Atuh ! ' ia bercerita tentang kejadian di sebuah
desa lereng gunung, ketika ritsluiting baru saja masuk desa.
Seorang anak kelas V SD yang sehabis buang hajat memakai
celananya kembali, menarik ritsluiting celananya ia mengaduh ada
daging ikut terjepit. Hanya itu. Iwan agaknya memang memelopori
penulisan cerita pendek (dan novel) yang tidak lagi mementingkan
alur yang urut. Yang jadi pokok ialah sampainya
percikan-percikan imaji yang tiba-tiba menghenyakkan pembaca
pada pertanyaan tentang 'hakikat' dan 'misteri'. Dalam hal itu
tindakan--dan bukan argumen--yang lebih ditampilkannya Suami itu
tak perlu memberi alasan mengapa ia meninggalkan istrinya
sepuluh tahun Si istri tak perlu mengatakan mengapa ia tetap
menunggu di pojok Jalan.
BB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini