Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Iwan, si pelopor

Pengarang: iwan simatupang jakarta: sinar harapan, 1982 resensi oleh: bambang bujono.

11 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEGAK LURUS DENGAN LANGIT Kumpulan Cerita Pendek Iwan Simatupang Penerbit Sinar Harapan, 1982, 115 hal SESUATU yang tidak mungkin, sesuatu yang gila-gilaan dalam sebuah cerita pendek bisa sangat menarik. Dan Iwan Simatupang (1928-1970) rupanya ahli dalam hal itu. "Lima belas tahun yang lalu, terataknya didatangi seorang laki-laki kasar memperkosanya lalu pergi ...." Atau, "Oleh karena ia pada suatu hari tak tahu apa yang harus dilakukan tangannya, ia mencari tali dan menggantung dirinya." Dengan daya rangsang dan daya kejut seperti itulah Iwan membuka cerita pendeknya. Dalam Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu, ia membuka kisah dengan sepasang suami-istri yang kira-kira sedang berjalan-jalan, lantas si suami pamitan hendak membeli rokok sebentar. Tapi suami itu baru kembali sepuluh tahun kemudian. Sementara si istri tetap menunggunya di pojok jalan. Sebenarnya saja, seperti bisa dibaca dalam kumpulan 15 cerita pendek Iwan ini, pembukaan seperti itu selain memiliki daya pikat, pun langsung menyiapkan pembaca untuk terjun dalam satu dunia imajinasi yang lepas bebas. Suatu dunia tempat langit bisa disulap. Maka adalah seorang tokoh yang membunuh bapaknya yang baru saja kembali dari hilang. Soalnya, bapak itulah yang mendatangkan kesulitan demi kesulitan selama ia hilang itu. "Hilang adalah keadaan lebih parah daripada mati," tulis Iwan. Keluarga tokoh itu tidak ingin hilangnya kepala keluarga diketahui orang lain, untuk menjaga ketenteraman, untuk menghindarkan pertanyaan yang bukanbukan. Maka karena itulah petugas sensus yang menanyakan siapa kepala keluarga di situ, rerpaksa dibunuh oleh kedua kakak si tokoh. Cerpen Tegak Lurus dengan Langit. Yang menarik lagi, tokoh-tokoh cerita Iwan adalah tokoh yang selalu bergerak dan berbuat. Tokoh-tokoh yang praxis, tulis Dami N. Toda, yang memberi pengantar untuk buku kumpulan cerita pendek ini. Ini menjadikan cerita Iwan dinamis. Lahir di Sibolga, Sumatera Utara dan kemudian belajar di Fak. Kedokteran di Surabaya, Iwan mengaku pernah mengambil kuliah antropologi di Leiden, kemudian "mempelajari filsafat di Paris". Kegiatan kreatif yang pertamatama dilakukannya ialah menulis puisi, di awal 50-an. Kemudian, drama. Dan baru pada 1959 cerita pendek pertamanya muncul di Siasat Baru. Toh, Iwan lebih dikenal dengan novel-novelnya (Ziarah, 1960, Merahnya Merah,1961, Kering, 1961 dan Koong, 1968). Dan drama-dramanya (Bulan Bujur Sangkar, Taman) -- hingga kini masih sering dipentaskan oleh grup-grup teater remaja di Jakarta. Tapi Iwan tidak sendiri.Cara bercerita dengan menuturkan peristiwa atau pemikiran yang mengejutkan, kini dalam khasanih kesusastraan Indonesia dilakukan oleh Putu Wijaya. Putu (kumpulan cerita pendeknya Bom, Gres dan Es) mengawali ceritanya dengan langsung menotok pembaca. "Setiap kali hendak menulis namanya sendiri, tangannya selalu keseleo dan menulis kata 'babi'. . ." (cerita pendek 'Babi' dalam Gres). Cerita ini diakhiri dengan Anwar, tokoh itu, dengan pertolongan seorang dokter berhasil menuliskan namanya dengan betul. Dan dokter itu lantas meminta Anwar sendiri membacanya. "Babi!" seru Anwar. Tapi cerita Putu lebih terasa seperti menyimbolkan sesuatu. Kadang terasa pula keanehan tokohnya karena kelainan jiwa. Dalam cerita pendek Iwan, kesan simbolistis tipis. Iwan seperti hendak mencari jawab tentang kesepian manusia dan "hakikat hidup". Maka tokoh-tokoh Iwan adalah tokoh-tokoh yang selalu berkonfrontasi dengan hidup yulg bunuh diri, yang hilang misterius. Dengan kata lain, seperti ada sesuatu yang melandasi pemikirannya. Ketika Iwan, seperti dituturkannya, sempat belajar flsafat di Paris, arus filsafat eksistensialis memang sedang ramai dibicarakan. Toh Iwan bisa encer. Dalam cerita pendeknya yang kemudian, yang ditulisnya sekitar dua tahun sebelum meninggalnya, ia tak lagi menyuruk ke dalam gelap dan kesepian hidup. Seperti hanya sampai di permukaan. Mungkin cerita pcndeknya yang akhir-akhir itu, yang muncul di Warta Harian (surat kabar yang dipimpinnya sendiri), memang sengaja dikaitkan dengan peristiwa yang lagi hangat. Karena itu lebih dipentingkan sentuhan sosialnya. Tapi seperti halnya Putu, Iwan seorang tukang cerita yang tangkas, yang siap ngibul. Dalam cerpen ' Aduh . . . Jangan Terlalu Maju Atuh ! ' ia bercerita tentang kejadian di sebuah desa lereng gunung, ketika ritsluiting baru saja masuk desa. Seorang anak kelas V SD yang sehabis buang hajat memakai celananya kembali, menarik ritsluiting celananya ia mengaduh ada daging ikut terjepit. Hanya itu. Iwan agaknya memang memelopori penulisan cerita pendek (dan novel) yang tidak lagi mementingkan alur yang urut. Yang jadi pokok ialah sampainya percikan-percikan imaji yang tiba-tiba menghenyakkan pembaca pada pertanyaan tentang 'hakikat' dan 'misteri'. Dalam hal itu tindakan--dan bukan argumen--yang lebih ditampilkannya Suami itu tak perlu memberi alasan mengapa ia meninggalkan istrinya sepuluh tahun Si istri tak perlu mengatakan mengapa ia tetap menunggu di pojok Jalan. BB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus