Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Raja amerika yang lain: valentino l

Gaya hidup dan keberhasilan pianis terkenal valentino liberace. yang memulai debutnya th '51. perolehannya selalu diamalkan kepada orang-orang yang membutuhkan. (sel)

11 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI dilukis oleh Michelangelo yang menitis " kata Liberace. Pianis tersohor ini berkomentar tentang lukisan dinding yang mirip punya Kapel Sistine di Vatikan itu. Adanya di kamar utama rumah besar milik Liberace, yang disebutnya Versailles House. Di sebelah, ada ruangan lebar yang juga serba pualam Di sini mural-nya malah lebih aneh. Di langit-langit beterbangan sekelompok putri, bidadari-bidadari kecil bersayap, dan makhluk surga lainnya. Mereka menari-nari di atas piano. Lalu sepasang angsa emas, gamang terapung-apung. Dan di bawah Liberace menatap bangga, tak bosan-bosan. Suasana kesurga-surgaan itu (surga model Katolik) konon memang cocok untuk seniman berusia 63 tahun itu. Setidak-tidaknya demikianlah menurut Michael Segell dalam majalah Rolling Stone. Pianis itu sendiri "nyaris patung suci bagi jutaan pemuja yang tergila-gila." Dan ini telah memberikan kepada putra imigran itu lebih banyak kemakmuran yang seakan-akan belum pernah diraih tukang hibur lain. Wladziu Valentino Liberace benar-benar menyerupai dewa, konon. Dan meraih sukses segudang. Ia telah menyebarkan sejenis syiar dalam hal sentimentalitas, kegemerlapan dan kebanggaan diri. Dan diujungnya: duit. Sejak 1950, ia meraih tidak kurang US$ 1 juta setahun dan memakukan gaya hidupnya yang hanya dapat dilukiskan sebagai campuran antara keanggunan dan penghamburan. Yang ingin dicapainya memang kekayaan dan sanjungan. J ika tidak, "saya tidak ingin lagi berada dalam bisnis pertunjukan," ujarnya sendiri. Itulah Liberace, 'si dukun'. Yang mampu membuat si tua-bangka-encokan bangkit berdansa dengannya. Lagu-lagu cintanya yang sendu merayu-rayu, merambat-rambat dengan amoroso, konon mampu menyentakkan si tuli. Sementara yang buta, dengan mata batinnya," akan menangkap tehnik panggungnya yang tak tertiru: tangan yang berputar-putar di sekitar kepalanya, jedah yang mendadak, untuk kemudian--secara dramatis--mendaki ke alam khayalan. DI masa mudanya, seniman berbakat ini menyertai berbagai acara kebaktian. Pada 1950-an, saat televisi banyak digunakan sebagai sarana dakwah, beberapa kota menyajikan The Liberace Show sepuluh kali dalam seminggu. Syiar yang disampaikan: cintailah keluargamu, berilah amal kepada yang kurang beruntung. Pada gilirannya, acara itu sering menampilkan ibu Liberace, Frances, dan saudaranya, George. Settingnya senantiasa yang membangkitkan rasa haru: di tempat tidur, misalnya, terbaring seorang wanita dengan paru-paru buatan. Terbukti acara semacam itu konon mampu mendorong ibu-ibu membangunkan suaminya masing-masing hanya sekedar untuk menyaksikan seorang tukang hibur muda tampil di layar TV: dalam balutan jas bulu putih yang mewah, sedang menyanyikan Ave Maria. Di latar belakang: seorang nona sedang berlutut dengan mulut komat-kamit. Ada sebuah "tempat suci" di Cloisters, Liberoce's Palm Spring Estte, Dalam sebuah kamar kecil ada sejumlah artifak yang telah diberkahi seorang pastor. Lee, nama Liberace di lidah eman-temannya, melakukan misa di sana. Tapi gedung gereja yang benar bagi Liberace, tulis Segell, adalah Liberace Museum di Las Vegas. Kebetulan tidak terletak di tempat yang bisa dianggap bersuasana anggun di Liberce Shopping Plaza. Sejak dibuka pada 1979 museum itu sudah dikunjungi sekita 200 ribu orang yang membayar US$ 3 per kepala. Isinya: enam mobil sang seniman yang dibuat menurut pesanan, berlusin-lusin busana dan baju bulu yang dihiasi permata, sejumlah kandelabra (tempat lilin antik), piano-piano, beribu-ribu gambar diri Liberace semu ka penuh. Tampaknya foto-foto itu dibuat kronologis saban hari dalam karir US$ 100 juta Mr. Showmanship itu. Perolehan dari museum tersebut mengalir keluar sebagai bea siswa musik pada sejumlah perguruan tinggi. Tidak satu pun yang masuk ke kantung Liberace. "Selalu menjadi amal kepada orang orang yang membutuhkan," katanya sendiri. "Apakah dari kalangan keagamaan, para penghibur atau bintang film pensiunan. Saya selalu merasa dekat dengan hal-hal religius--karena itu merupakan bentuk bisnis pertunjwkan." * * * Jarang ada seorang bintang yang muncul begitu cepatnya, tapi mampu cemerlang begitu lamanya, menurut Segell pula. Di mulai pada 1951 melalui penampilan di televisi. Itu segera membikinnya menjadi rebutan para pemasang iklan -- dari bank, pabrik pensil alis, perusahaan biskuit, sampai-sampai perusahaan pemakaman. Sekitar 180 sponsornya mengandalkannya untuk meraih US$ 50 juta lebih keuntungan baru untuk satu tahun saja. TENTU ada yang kontra. Namun ketika waktu berlalu, dan pemujaan terhadapnya semakin melangit, kritik pers pun menyurut. Yang biasanya dikritik adalah caranya memotong bagian yang dianggap 'tidak sesuai' dari lagu-lagu klasik. Dan bukan penampilannya dengan busana yang meriah, ketampariannya . . . dan rambutnya itu: yang "berombak bagai lembah dan bukil Pegunungan Alpen, memahkotai dengan sempurna tampangnya yang tampan." Keterlaluan, memang. Orang bertanya: adakah warna kelabu rambutnya itu hasil sepuhan, untuk penyesuaian dengan suasana di panggung? Ataukah asli? Dan "kontroversi" itu dimanfaatkan Liberace sebagai bagian dari penampilan panggungnya. Misalnya dengan mengundang para wanita tampil ke panggung, untuk membiarkan mereka mengusap-usap ikal rambutnya. Pada 1954, sempat beredar isu bahwa ada seorang spesialis rambut yang memeriksa bulu-bulu kepala sang pianis: apakah ikalnya bukan karena bikinan. "Keriting asli," sang spesialis mengumumkan. Dan para hadirin yang tadinya waswas bersorak dengan girangnya. "Duduk di sebuah meja kecil didalam Versailles House, Liberace tampak seperti, well, seperti Liberace," tulis Segell, yang tak sungkansungkan menunjukkan kekagumannya. Berbusana serba putih dari ujung sepatu sampai ke ujung giginya, ia tersenyum ke sana ke mari. Rambut kelabunya yang ikal seperti papan penggilasan, berombak dari pelipis kiri ke pelipis kanan dengan lengkungan S yang panjang. Ujung matanya kini bertanda garis-garis berbentuk kaki burung gagak, dan bola matanya tampak berat-bahkan tanpa celak tebal yang biasa dipakainya jika sedang di panggung. Ia kelihatan cukup fit, meski agaknya harus sering mengontrol berat badannya. Di sebelah kamar tidur inti terdapat kamar duduk--penuh dengan cermin yang saling berkaca sama sendiri. Dinding-dinding kaca di-sketsa dengan gambar-gambar Aubrey Birdsley. Ada meja-meja bercermin, lampu-lampu kaca gantung, jambangan-jambangan kaca, piano besar--yang juga bagian atasnya dilapisi cermin atau kaca. Di samping kamar ini ada kamar mainan. Antaranya berisi jackpot. Ke kiri, barisan tiang marmar menjolok atap. Ada patung-patung gaya Yunani. Ikut menapak turun dari ruangan itu--adalah Baby Jacques, satu dari anjing pudel Liberace yang sedang mengikuti tuannya. "Kontroversi," ujar Liberace, sementara menatap sayang Baby Jackques. "Saya pertama kali menyadarinya ketika tahun 1952 mengenakan tuxedo putih di Hollywood Bowl Dianggap sangat berani memang, tapi kupakai agar penonton d, barisan belakang dengan jelas dapat melihat tampangku, di tengah lautan tuxedo hitam." Itulah alasan pakaian panggungnya yang serba putih. Dan itu dimanfaatkannya benar-benar sebagai ciri personalitas panggungnya. "Ketika saya melangkah di panggung, kutatap muka setiap orang, khususnya yang laki-laki. Mereka shock. 'Berolok-olokkah ia,' begitu tentu kata hati mereka. Hanya itu yang kulakukan." Bagi para wanita yang mabuk oleh daya virtuoso-nya, mungkin cukup mengecewakan untuk mengetahui bahwa sasaran karir panjang Liberace sebenarnya keangkuhan pria. "Kukira secara naluriah laki-laki ingin lebih cemerlang dari wanita," katanya. "Seorang tukang hibur bertengger di satu singgasana, membuat orang-orang berkata: 'Lihat, betapa gagahnya ia'. Tapi di dalam, semangatnya bisa terbang." Di antara kritik tajam yang menyasar ke arah Liberace, di hari-hari awal karirnya, antara lain: ia "terpungging dalam lemari pakaian wanita." Atau, ia pacaran dengan abangnya sendiri. Di pihak lain Liberace sendiri benci membicarakan kehidupan romantiknya. "Saya tidak menganggap para tukang hibur pantas membeberkan selera seksual dari politiknya di depan khalayak," katanya. Ia pernah main roman dengan Sonja Henie, bintang skate Norwegia yang pernah muncul dalam acara-acara musik terbuka di Hollywood. "Apa yang dilakukan penghibur di dalam kerahasiaan rumah dan tempat tidurnya sendiri, bukan urusan seorang lain pun." Namun dengan girangnya ia mengungkapkan kesenangannya yang baru dengan film porno. "Dua Natal yang lalu, saya membeli sebuah pesawat televisi yang dapat merekam dan mempertunjukkan gambar," ungkap Liberace dengan mata berbinar-binar "Lalu saya pergi ke tukang dagang video tape dan pulang dengan True Grit, Nasty Hbits dan Inside Jennifer Welles. Seorang wanita nakal berkoar bahwa ia mampu melayani 22 laki-laki dalam satu malam. Dan ia benar-benar melakukannya! Sesudah selesai, cewek itu mengadakan santap malam model Cina untuk semua laki-laki itu. Sementara yang lain melahap makanan, sundal itu mengajak lagi seorang pelayan Cina, sebagai tambuo." "Pada hari libur, saya mengajak sejumlah teman," katanya melanjutkan. "Mereka tahu saya punya sejumlah film porno. Kubilang: 'Oh, anda tentu tak ingin melihatnya. Benar-benar menjijikkan, benar-benar kotor, tak tahu kalian?' Tapi kuputar juga film itu, dan orang-orang terhormat tersebut ambruk di tempat duduk masing-masing sambil berceloteh". Lalu menirukan celoteh mereka yang kegirangan. "Sikap manusia benar-benar berubah sekarang," katanya. "Sekitar 20 tahun yang lalu, mereka akan menelepon polisi." Toh ada jenis kritik yang menggoresnya sangat dalam. Seperti yang diakuinya kini, sebagai seniman yang pernah 'membunuh' lagu-lagu klasik pada masa awal karirnya, kenangan akan sikap ayahnya sangat menghantam perasaannya. Dalam sebagian besar usianya yang 93 tahun, sang ayah menolak memaafkan anaknya karena dianggap "mengecerkan, mencerca dan mempermalukan" lagu-lagu klasik. *** ALVADORE Liberace, imigran Italia kelahiran Napoli pinggiran, adalah pemain terompet Prancis hasil didikan sendiri. Ia bermain di drum band John Philip Sousa dan Milwaukee Philharmonic Orchestra. Dari istrinya, Frances Zuchowski, putri petani imigran Polandia, ia memperleh empat anak yang dibesarkan di rumah papan tripleks di barat Milwaukee, AS. Pada usia empat tahun, setiap anaknya diajar dasar-dasar harmoni dan musik oleh ayah mereka. Sang ayah sangat tidak menyenangi azz, "si musik liar", yang populer pada masa remaja anak-anak itu Tapi si anak ketiga, Walter--demikian nama baptis Liverace--merasakan suatu beban. Belum lagi usianya lima tahun, ia duduk di depan piano keluarga, dan, seperti yang tertulis dalam sebuah program konser Liberace, "mendorong terbukanya jiwa seorang anak yang maha sensitif ketika ia memainkan me lodi-melodi sederhana dengan kendali yang aneh dan tak tampak." Tapi Walter muda tampaknya ingin praktis, khususnya setelah Ignace Jan Paderewski berkunjung ke rumah Libe race. Negarawan dan pianis konser Polandia ini memuji permainan Walter muda, dan belakangan mendorongnya agar hanya memakai nama sepotong, Liberace. Latihan musik kemudian menjadi tugas pertama. Baru kemudian: sekolah, teman-teman, undangan santap malam. Dalam rnasa depresi, yang membuat musikus seperti Salvatore kehilangan pekerjaan, Walter bekerja sebagai tukang antar barang di warung sayur ibunya dan main untuk kelas-kelas dansa dan pertunjukan hiburan. Anak bandel ini berhasil memperoleh bea siswa pada Sekolah Musik Winconsin, dalam usia 15 tahun. Acap ia memainkan resital di siang hari, dan malamnya main di kedai-kedai es krim dengan sebuah band dansa. Ketika dalam usia 16 tahun diminta main sebagai solois dengan Chicago Symphony Orchestra, ia menerima cita rasa pertama yang menjadi dasar 'permusuhan' para musisi klasik terhadap musik pop. "Saya dinasihati, jika saya tetap menggunakan nama Liberace dalam band dansa, berarti saya merusakkan kehormatan yang diberikan Chicago Symphony," ia mengenang. "J adi saya katakan kepada pimpinan band agar memanggil saya dengan nama lain. Dan nama yang dipilihnya: Walter Busterkeys."Tahun 1939, Liberace main dengan repertoar klasik. Dalam resital di LaCrosse, Winconsin, ia memainkan Three Little Fishes sebagai lagu ulangan (bis)--sambil mengedip, tersenyum dan menggelinjang. Tepukan yang menggebu-gebu memberinya gagasan bagaimana menciptakan uang melalui permainan piano. Dan ia membawa kedipan dan senyumannya ke New York tahun berikutnya. Kemudian tercatat sebagai pemain piano selingan pada Persian Room, Plaza Hotel. Tahun 1947, ketika kembali lagi kePersian Room, ia menggunakan piano besarnya sendiri, merk Bluthner, dengan bayaran US$ 150 ribu. Saat itu ia memakai hiasan yang serba Louis XIV --motif yang dipinjam dari A Song To Remember, film tentang kehidupan Frederic Chopin. Setelah perang, ketika abangnya George Liberace men jadi manajer bisnis, pemimpin band dan violisnya, mereka bermain di klub malam seluruh negeri--tanpa sebuah komentar, apalagi ucapan selamat, dari Salvatore, sang ayah. "Jenis kesenian musik yang ia (Salvatore) apresiasikan begitu murninya, hingga tak seorang pun ingin membelinya," kata Liberace dengan murung. "Saya ikut dalam konser dan resital, tapi itu hanya untuk kemegahan. Untuk hidup, saya harus melacurkan seni saya". "Di dalam musik klasik," katanya lagi, "ada potongan-potongan yang menjemukan sebelum sampai ke bagian yang bagus. Kemampuanku lebih banyak di dalam mengadaptasi--menyisihkan yang menjemukan dari karya-karya klasik, dan membuatnya enak di lidah dan di telinga orang awam. Saya lebih tertarik pada khalayak umum ketimbang para munafik yang lancung, yang datang ke konser karena itu adalah hal berbudaya." Liberace mencari dukungan di tempat lain. Almarhum-ibunya, yang menerima semua jenis musik kecuali rock 'n ' roll (yang disebutnya "jingkrakan kotor"), memberi persetujuan dan dukungan pada masa-masa awal suksesnya. Ia menemaninya dalam acara-acara TV dan konser, memakai pakaian bulu serta permata. Dan dukungan lain datang dari sang kakak, Angie, dan George. Hanya dalam usianya yang sudah lanjut, Salvatore baru mengetahui sukses putranya. *** DI tahun 1954, empat yang pertama dari 200 album rekamannya laku sekitar 100 ribu tiap kopinya. Mengalahkan Eddie Fisher, idola pop saat itu. Konser yang diadakannya di Madison Square Garden, Carnegie Hall dan Hollywood Bowl diserbu pengunjung. Pertunjukannya di Chicago's Soldiers Field dihadiri sekitar 120 ribu orang. Hollywood memanfaatkan pula ketampanan dan popularitasnya, sebagai pemeran pianis buta yang beralih menjadi dermawan dalam film Sincerely Yours. Kemudian sebagai penjaja (salesman) peti mayat dalam The Loved One. Di tahun 1963 ia telah mengukubkan dirinya sebagai salah seorang tukang hibur yang paling tinggi bayarannya. Di saat itu pula ia bcrhasil selamat dari penyakit yang nyaris merenggut nyawanya: tak sengaja menghirup uap cairan dry-cleaning yang hampir saja menghancurkan ginjalnya. Peristiwa itu, katanya, "secara filosofis sangat mempengaruhi diriku. Hidupku telah menjadi lebih baik, membikirl sejumlah orang lain bahagia. Tentu tak ada yang perlu disesalkan." Untuk urusan menyenangkan hati orang lain itu, ia menghabiskan US$ 750 ribu untuk biaya pengiriman surat dan hadiah kepada kerabat, teman dan para pembantu. J uga menyelenggarakan pesta untuk para perawat rumah sakit yang mcngurusnya. Untuk Rumah Sakit St. Francis ia menyeponsori malam amal, yang hasilnya digunakan untuk membeli seperangkat peralatan perawatan intensif. "Setelah sembuh, yang ingin saya lakukan adalah bekerja separuh dari biasa, tapi memperoleh hasil dua kali lipat," katanya lalu. "Perubahan nilai-nilai" memungkinkan Liberace melakukan kegemaran yang tampak agak ekstrim, termasuk mendisain kostum. "Tarikannya indah," kata Frank Acuna, bekas tukang jahit Hollywood. "Disainnya bagus. " Liberace mengaku, Elvis Presley terbilang yang pertama memakai gaya gemerlapan di panggung. Jika hendak dirangkaikan urut-urutannxa sejak Gcorge Liberace, Seymour Heller dan Liberace sendiri, kisahnya jadinya begini. Tahun 1957, Elvis mendapat order pertama di Las Vegas--di Last Frontier, bersama Freddie Martin Orchestra. Waktu itu ia sudah populer di televisi, tapi harus tampil di khalayak langsung sebelum diserbu uang. Booking-nya sendiri jelek, dan jadinya Elvis gagal. Setelah pertunjukan pertama itu, pejabat Humas Elvis mengundang Liberace yang lagi main di Riviera: maukah anda mampir dan mengipasi idola si belasan tahun ini? Ketika Liberace tiba, seseorang mengusulkan mereka berfoto bersama. Lalu Liberace meminta Elvis memakai jaket emasnya, sementara ia sendiri memakai blazer (sejenis jaket) Elvis. Wajah Elvis bagai mendapat darah baru. Itulah awal seluruh citra baru tentang Elvis. Citra dan penampilan Liberacesendiri tetap tak berubah, kecuali pada satu tahun. Tahun 1969, Liberace mencoret pakaian sutra, kandelabra serta pengaturan set yang cermat dari tata panggungnya. Akibatnya, pendapatannya melorot US$ 800 ribu. Kesenangan Liberace yang lain adalah memperbaiki rumahnya dan mengisinya. Lojinya penuh dengan kristal dan kaca, perabotan mewah, pianopiano barok, peralatan santap malam yang antik, piano miniatur dan sejumlah kandelabra. Tiap kamar didisain dan didekorasinya sendiri, antaranya dengan patung-patung cabul, dan tetek-bengek yang ganjil. Seleranya dapat disebut 'murni'-baik 'autentik murni' maupun 'tidak autentik murni'. Di rumahnya yang besar di Hollywood, yang telah dijualnya dua tahun lalu, misalnya, apa yang tampaknya seperti emas memang benar-benar emas. Tapi yang nampaknya seperti rumput di halaman luar, itu tak lain karpet hijau. "Saya senang pada pengelabuan," katanya. Untuk membebaskan diri dari sejumlah mebel yang kurang disenangi, ia membuka sebuah 'salon antik' di Hollywood yang disebut Liberoce Interiors and Object d 'Art. Tapi usaha itu gagal. Tak lain karena ia, biasanya, menolak menjual barang koleksinya. Setelah lima tahun beroperasi dengan terus merugi, salon ditutup. Kegilaannya kepada kemewahan juga tercerna dalam cita rasa bisnis yang baik. Di luar jumlah jutaan yang ia tanamkan di dalam pakaian, permata, piano-piano aneka ukuran dan merk, sejumlah kanelabra dan mobil-mobil antik (semuanya kena pajak), saham-sahamnya di real estate cukup banyak untuk tetap menjadikannya seorang usahawan perumahan. Di Las Vegas saja ia memiliki Versailles House, tiga kondominium (wilayah yang dikuasai dua atau tiga orang), empat rumah model, pusat belanja berlantai 20, dan, tentu saja, Liberace Museum. Di loji Palm Spring ada beranda panjang yang merupakan sebuah kebun beratap. Isinya melulu bunga-dari plastik. Ini merupakan salah satu kediaman utamanya. Ia juga memiliki sebuah rumah Tudor Inggris di Tahoe, yang disewakannya kepada Sahara Hotel, dan bangunan kantor berlantai Iima di Los Angeles. Menurut orang-orang di sekelilingnya, Liberace sama mewah dan borosnya terhadap dirinya dan orang lain. Kenyataan ini dengan sendirinya menjadi inceran para pencari derma dan pengemis intelek. Mereka menyuratinya saban minggu: mohon bantuan karena ada kerabat yang sakit atau karena anaknya minta piano. "Ia menabung 12 bulan dalam setahun untuk belanjaan Natal-nya," kata Seymor Heller, manajer bisnisnya. "Begitu banyak orang yang ingin mcmbagikan sesuaty kepada yang lain setelah matinya," kata Libcrace. "Mengapa tidak anda lakukan semasih anda nidup, agar anda juga ikut menikmatinya?" Benar, apa saja yang disentuh Liberace akan menjadi emas--setidaknya piring keemasan. Tiap satu dari buku-bukunya --autobiografi yang dijudulinya sendiri, The Things I Love dan Liberoce Cooks--terjual habis 100 ribu kopi. Pada 1981 Liberace bekerja 26 minggu, sekitar separuh di antaranya di Elvis Presley Room Hotel Hilton, Las Vegas, dan itu menghasilkan sekitar US$6 juta. Dalam pertunjukannya di Las Vegas, ia tampil bersama Domenick Allen, temuan Seymour Heller. Melihat sejumlah pertunjukan pada saat makan malam belakangan ini, mayoritas pengunjungnya ternyata kaum pensiunan--pada berkacamata, berusia di atas 40-an. Ini sebabnya menunjukkan bahwa sang pianis adalah fenomena 1950-an--dari kelompok yang sopan, yang jauh dari demonstratif. "Jenisoudience-ku," kata Liberace, "kuingin main begitu pianissimo, hingga kau dapat mendengarkan desah napas mereka." Dan itulah "tarikan napas yang berubah menjadi butir-butir airmata, tawa kecil ymg tertahan, seperti sebuah dehem atau desah," begitu si penulis melukiskan. Ambang panggungnya, berbentuk Rolls-Royce Phontom V, melahirkan tepukan lembut dan sepatah dua uh dan oh. Keluar dari pintu Rolls, wajahnya dilukis bagaikan kanvas lukisan, Liberace membukakan tangannya ke hadapan penonton yang terpana. Ia memperkenalkan sopirnya, Scott, anak muda tampan berambut jagung yang berdiri sopan kcndai tak kehilangan harga diri. Bibirnya tersenyum dan matanya yang biru nampak berkilau. "Bukankah ia wunnerful?" tanya Liberace--dan yang dimaksudkannya wonderful, tentu--dengan nada memancing tepukan. Scott menghilang, dan Liberace berbicara sengau dengan mikrofon tanpa kawat. Kepada penonton ia mengoceh. Katanya, topi kulit serigala putih yang dipakainya sengaja didisain untuk salah satu pertunjukan perdananya. "Kuharap anda sekalian menyenanginya, karena andalah yang membayar harganya." Ia berjalan ke depan pentas agar para penggemarnya dapat meneliti deretan intan di bajunya. Beberapa pasang tangan terjulur mengusapi jaket bulunya. Kemudian dikembangkannya jari-jarinya, membelai lekuk-lekukkan delabra dan pianonya, yang juga bertatahkan untaian-untaian intan. Seorang pelayan pria tampil, dan Liberace memperkenalkannya ke hadapan para hadirin. Setelah membuka mantelnya yang tanpa lengan, Liberace kini tampil dalam tuxedo putih gemeriapan, dan duduk di kursi piano untuk kemudian mengintro beberapa nada Chopininus yang "menyebalkan" itu. Ketika kemudian bangkit, ia berujar: "Mcngapa saya tidak menghilang dulu, kemudian memakai yang lebih spektakuler?" IA menghilang betulan. Lantas kembali dalam busana beledu abu-abu model Raja George, lengkap bintang-bintang di pundak. Duduk di depan piano yang keemasan -- di atasnya bertengger kandelabra Louis IV--Liberace, seperti yang dikatakan abangnya George, memainkan 'versi kuku jempol' Johann Strauss. Saat sang virtuoso menarikan jari-jemarinya pada keyboord 'dengan kendali aneh tak terlihat', di latar belakang air mancur mulai menggeliat. Pancuran buatan berwarna itu menyemprot dan meliuk berirama, menyuguhkan apa yang bisa kita lihat dalam Fontosio-nya Walt Disney. Setelah bermain-main sebentar dengan Strauss, tak lebih delapan menit, ia berganti pakaian lagi: merah, putih dan hitam yang kemerlap-kemerlip. "Terus terang, Tuan dan Nyonya, anda sekalian wunnerful," katanya. "Ketahuilah, jika pakaian ini membuat anda berbahagia dan senang, saya juga senang memakainya." Ia terbang ke kamar ganti pakaian, dan kini tampil dalam jubah mempelai warna hitam, dengan deretan permata tiruan Austria. Beratnya semua 136 pon. Gemerlap, dan mengambai bagai kapstok yang dobrak, Liberace malam itu mencoba melemparkan lelucon buruk ke hadapan penonton: "Jika, saya bagini, Burt Reynolds bisa cemburu. Kalau saya dapat intan, ia hanya dapat batunya." Dilepasnya mantelnya, lalu memainkan Chopsticks Gershwin dengan seenaknya, kemudian meramunya dengan musik disko. Setelah memainkan sebuah polka, ia mengundang seorang fan ke panggung untuk berdansa dengannya. Janet, dari Kansas City, memakai pant double-knit dan blus polka-dot. Setelah berdansa wals sebentar dengan Janet, yang diberinya selembar saputangan miliknya (ada gambar Liberace di sana, berikut tanda tangan) dan dua karcis masuk museum Liberace, ia membantu si cewek turun panggung. Liberace memainkan It's Impossible dan As Time Goes By untuk sepasang tua bangka 70-an yang baru saja kawin. Ia bawakan sejemput irama Amerika, seperti boogie-woogie- bukan dengan delapan, tapi dengan 16 bar. Dan mengunci pertunjuan dengan The Beer Borrel Polko. Lantas membungkuk dalam-dalam untuk tepukan riuh penonton. "Terus terang, Tuan dan Nyonya," katanya, "anda benar-benar wunnerful. Terima kasih banyak. Anda sekalian membuat saya bahagia." Kemudian pianis itu melangkah ke sayap panggung, dan mempelanai dirinya dengan sepotong kawat. Kemudian tampil kembali melayang-layang seperti malaikat yang berpakaian gemerlapan, kedua tangan dan jaketnya mengembang, senyumnya mekar ceria. Kawat itu melayang-layangkannya dari gerbang besar ke satu sisi dan sisi panggung yang lain - begitu berulang kali. Ketika layar turun, kawat mendorongnya naik turun--lalu hinggap di atas piano. Tepuk tangan, tepuk tangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus