INI dilukis oleh Michelangelo yang menitis " kata Liberace.
Pianis tersohor ini berkomentar tentang lukisan dinding yang
mirip punya Kapel Sistine di Vatikan itu. Adanya di kamar utama
rumah besar milik Liberace, yang disebutnya Versailles House. Di
sebelah, ada ruangan lebar yang juga serba pualam Di sini
mural-nya malah lebih aneh. Di langit-langit beterbangan
sekelompok putri, bidadari-bidadari kecil bersayap, dan makhluk
surga lainnya. Mereka menari-nari di atas piano. Lalu sepasang
angsa emas, gamang terapung-apung. Dan di bawah Liberace menatap
bangga, tak bosan-bosan.
Suasana kesurga-surgaan itu (surga model Katolik) konon memang
cocok untuk seniman berusia 63 tahun itu. Setidak-tidaknya
demikianlah menurut Michael Segell dalam majalah Rolling Stone.
Pianis itu sendiri "nyaris patung suci bagi jutaan pemuja yang
tergila-gila." Dan ini telah memberikan kepada putra imigran itu
lebih banyak kemakmuran yang seakan-akan belum pernah diraih
tukang hibur lain.
Wladziu Valentino Liberace benar-benar menyerupai dewa, konon.
Dan meraih sukses segudang. Ia telah menyebarkan sejenis syiar
dalam hal sentimentalitas, kegemerlapan dan kebanggaan diri. Dan
diujungnya: duit. Sejak 1950, ia meraih tidak kurang US$ 1 juta
setahun dan memakukan gaya hidupnya yang hanya dapat dilukiskan
sebagai campuran antara keanggunan dan penghamburan. Yang ingin
dicapainya memang kekayaan dan sanjungan. J ika tidak, "saya
tidak ingin lagi berada dalam bisnis pertunjukan," ujarnya
sendiri.
Itulah Liberace, 'si dukun'. Yang mampu membuat si
tua-bangka-encokan bangkit berdansa dengannya. Lagu-lagu
cintanya yang sendu merayu-rayu, merambat-rambat dengan amoroso,
konon mampu menyentakkan si tuli. Sementara yang buta, dengan
mata batinnya," akan menangkap tehnik panggungnya yang tak
tertiru: tangan yang berputar-putar di sekitar kepalanya, jedah
yang mendadak, untuk kemudian--secara dramatis--mendaki ke alam
khayalan.
DI masa mudanya, seniman berbakat ini menyertai berbagai acara
kebaktian. Pada 1950-an, saat televisi banyak digunakan sebagai
sarana dakwah, beberapa kota menyajikan The Liberace Show
sepuluh kali dalam seminggu. Syiar yang disampaikan: cintailah
keluargamu, berilah amal kepada yang kurang beruntung. Pada
gilirannya, acara itu sering menampilkan ibu Liberace, Frances,
dan saudaranya, George. Settingnya senantiasa yang membangkitkan
rasa haru: di tempat tidur, misalnya, terbaring seorang wanita
dengan paru-paru buatan.
Terbukti acara semacam itu konon mampu mendorong ibu-ibu
membangunkan suaminya masing-masing hanya sekedar untuk
menyaksikan seorang tukang hibur muda tampil di layar TV: dalam
balutan jas bulu putih yang mewah, sedang menyanyikan Ave Maria.
Di latar belakang: seorang nona sedang berlutut dengan mulut
komat-kamit.
Ada sebuah "tempat suci" di Cloisters, Liberoce's Palm Spring
Estte, Dalam sebuah kamar kecil ada sejumlah artifak yang telah
diberkahi seorang pastor. Lee, nama Liberace di lidah
eman-temannya, melakukan misa di sana. Tapi gedung gereja yang
benar bagi Liberace, tulis Segell, adalah Liberace Museum di Las
Vegas. Kebetulan tidak terletak di tempat yang bisa dianggap
bersuasana anggun di Liberce Shopping Plaza.
Sejak dibuka pada 1979 museum itu sudah dikunjungi sekita 200
ribu orang yang membayar US$ 3 per kepala. Isinya: enam mobil
sang seniman yang dibuat menurut pesanan, berlusin-lusin busana
dan baju bulu yang dihiasi permata, sejumlah kandelabra (tempat
lilin antik), piano-piano, beribu-ribu gambar diri Liberace semu
ka penuh. Tampaknya foto-foto itu dibuat kronologis saban hari
dalam karir US$ 100 juta Mr. Showmanship itu.
Perolehan dari museum tersebut mengalir keluar sebagai bea siswa
musik pada sejumlah perguruan tinggi. Tidak satu pun yang masuk
ke kantung Liberace. "Selalu menjadi amal kepada orang orang
yang membutuhkan," katanya sendiri. "Apakah dari kalangan
keagamaan, para penghibur atau bintang film pensiunan. Saya
selalu merasa dekat dengan hal-hal religius--karena itu
merupakan bentuk bisnis pertunjwkan."
* * *
Jarang ada seorang bintang yang muncul begitu cepatnya, tapi
mampu cemerlang begitu lamanya, menurut Segell pula. Di mulai
pada 1951 melalui penampilan di televisi. Itu segera membikinnya
menjadi rebutan para pemasang iklan -- dari bank, pabrik pensil
alis, perusahaan biskuit, sampai-sampai perusahaan pemakaman.
Sekitar 180 sponsornya mengandalkannya untuk meraih US$ 50 juta
lebih keuntungan baru untuk satu tahun saja.
TENTU ada yang kontra. Namun ketika waktu berlalu, dan pemujaan
terhadapnya semakin melangit, kritik pers pun menyurut. Yang
biasanya dikritik adalah caranya memotong bagian yang dianggap
'tidak sesuai' dari lagu-lagu klasik. Dan bukan penampilannya
dengan busana yang meriah, ketampariannya . . . dan rambutnya
itu: yang "berombak bagai lembah dan bukil Pegunungan Alpen,
memahkotai dengan sempurna tampangnya yang tampan." Keterlaluan,
memang. Orang bertanya: adakah warna kelabu rambutnya itu hasil
sepuhan, untuk penyesuaian dengan suasana di panggung? Ataukah
asli?
Dan "kontroversi" itu dimanfaatkan Liberace sebagai bagian dari
penampilan panggungnya. Misalnya dengan mengundang para wanita
tampil ke panggung, untuk membiarkan mereka mengusap-usap ikal
rambutnya. Pada 1954, sempat beredar isu bahwa ada seorang
spesialis rambut yang memeriksa bulu-bulu kepala sang pianis:
apakah ikalnya bukan karena bikinan. "Keriting asli," sang
spesialis mengumumkan. Dan para hadirin yang tadinya waswas
bersorak dengan girangnya.
"Duduk di sebuah meja kecil didalam Versailles House, Liberace
tampak seperti, well, seperti Liberace," tulis Segell, yang tak
sungkansungkan menunjukkan kekagumannya. Berbusana serba putih
dari ujung sepatu sampai ke ujung giginya, ia tersenyum ke sana
ke mari.
Rambut kelabunya yang ikal seperti papan penggilasan, berombak
dari pelipis kiri ke pelipis kanan dengan lengkungan S yang
panjang. Ujung matanya kini bertanda garis-garis berbentuk kaki
burung gagak, dan bola matanya tampak berat-bahkan tanpa celak
tebal yang biasa dipakainya jika sedang di panggung. Ia
kelihatan cukup fit, meski agaknya harus sering mengontrol berat
badannya.
Di sebelah kamar tidur inti terdapat kamar duduk--penuh dengan
cermin yang saling berkaca sama sendiri. Dinding-dinding kaca
di-sketsa dengan gambar-gambar Aubrey Birdsley. Ada meja-meja
bercermin, lampu-lampu kaca gantung, jambangan-jambangan kaca,
piano besar--yang juga bagian atasnya dilapisi cermin atau kaca.
Di samping kamar ini ada kamar mainan. Antaranya berisi jackpot.
Ke kiri, barisan tiang marmar menjolok atap. Ada patung-patung
gaya Yunani. Ikut menapak turun dari ruangan itu--adalah Baby
Jacques, satu dari anjing pudel Liberace yang sedang mengikuti
tuannya.
"Kontroversi," ujar Liberace, sementara menatap sayang Baby
Jackques. "Saya pertama kali menyadarinya ketika tahun 1952
mengenakan tuxedo putih di Hollywood Bowl Dianggap sangat berani
memang, tapi kupakai agar penonton d, barisan belakang dengan
jelas dapat melihat tampangku, di tengah lautan tuxedo hitam."
Itulah alasan pakaian panggungnya yang serba putih.
Dan itu dimanfaatkannya benar-benar sebagai ciri personalitas
panggungnya. "Ketika saya melangkah di panggung, kutatap muka
setiap orang, khususnya yang laki-laki. Mereka shock.
'Berolok-olokkah ia,' begitu tentu kata hati mereka. Hanya itu
yang kulakukan."
Bagi para wanita yang mabuk oleh daya virtuoso-nya, mungkin
cukup mengecewakan untuk mengetahui bahwa sasaran karir panjang
Liberace sebenarnya keangkuhan pria. "Kukira secara naluriah
laki-laki ingin lebih cemerlang dari wanita," katanya. "Seorang
tukang hibur bertengger di satu singgasana, membuat orang-orang
berkata: 'Lihat, betapa gagahnya ia'. Tapi di dalam, semangatnya
bisa terbang."
Di antara kritik tajam yang menyasar ke arah Liberace, di
hari-hari awal karirnya, antara lain: ia "terpungging dalam
lemari pakaian wanita." Atau, ia pacaran dengan abangnya
sendiri. Di pihak lain Liberace sendiri benci membicarakan
kehidupan romantiknya. "Saya tidak menganggap para tukang hibur
pantas membeberkan selera seksual dari politiknya di depan
khalayak," katanya. Ia pernah main roman dengan Sonja Henie,
bintang skate Norwegia yang pernah muncul dalam acara-acara
musik terbuka di Hollywood. "Apa yang dilakukan penghibur di
dalam kerahasiaan rumah dan tempat tidurnya sendiri, bukan
urusan seorang lain pun."
Namun dengan girangnya ia mengungkapkan kesenangannya yang baru
dengan film porno. "Dua Natal yang lalu, saya membeli sebuah
pesawat televisi yang dapat merekam dan mempertunjukkan gambar,"
ungkap Liberace dengan mata berbinar-binar "Lalu saya pergi ke
tukang dagang video tape dan pulang dengan True Grit, Nasty
Hbits dan Inside Jennifer Welles. Seorang wanita nakal berkoar
bahwa ia mampu melayani 22 laki-laki dalam satu malam. Dan ia
benar-benar melakukannya! Sesudah selesai, cewek itu mengadakan
santap malam model Cina untuk semua laki-laki itu. Sementara
yang lain melahap makanan, sundal itu mengajak lagi seorang
pelayan Cina, sebagai tambuo."
"Pada hari libur, saya mengajak sejumlah teman," katanya
melanjutkan. "Mereka tahu saya punya sejumlah film porno.
Kubilang: 'Oh, anda tentu tak ingin melihatnya. Benar-benar
menjijikkan, benar-benar kotor, tak tahu kalian?' Tapi kuputar
juga film itu, dan orang-orang terhormat tersebut ambruk di
tempat duduk masing-masing sambil berceloteh". Lalu menirukan
celoteh mereka yang kegirangan. "Sikap manusia benar-benar
berubah sekarang," katanya. "Sekitar 20 tahun yang lalu, mereka
akan menelepon polisi."
Toh ada jenis kritik yang menggoresnya sangat dalam. Seperti
yang diakuinya kini, sebagai seniman yang pernah 'membunuh'
lagu-lagu klasik pada masa awal karirnya, kenangan akan sikap
ayahnya sangat menghantam perasaannya. Dalam sebagian besar
usianya yang 93 tahun, sang ayah menolak memaafkan anaknya
karena dianggap "mengecerkan, mencerca dan mempermalukan"
lagu-lagu klasik.
***
ALVADORE Liberace, imigran Italia kelahiran Napoli pinggiran,
adalah pemain terompet Prancis hasil didikan sendiri. Ia bermain
di drum band John Philip Sousa dan Milwaukee Philharmonic
Orchestra. Dari istrinya, Frances Zuchowski, putri petani
imigran Polandia, ia memperleh empat anak yang dibesarkan di
rumah papan tripleks di barat Milwaukee, AS. Pada usia empat
tahun, setiap anaknya diajar dasar-dasar harmoni dan musik oleh
ayah mereka.
Sang ayah sangat tidak menyenangi azz, "si musik liar", yang
populer pada masa remaja anak-anak itu Tapi si anak ketiga,
Walter--demikian nama baptis Liverace--merasakan suatu beban.
Belum lagi usianya lima tahun, ia duduk di depan piano keluarga,
dan, seperti yang tertulis dalam sebuah program konser Liberace,
"mendorong terbukanya jiwa seorang anak yang maha sensitif
ketika ia memainkan me lodi-melodi sederhana dengan kendali yang
aneh dan tak tampak."
Tapi Walter muda tampaknya ingin praktis, khususnya setelah
Ignace Jan Paderewski berkunjung ke rumah Libe race. Negarawan
dan pianis konser Polandia ini memuji permainan Walter muda, dan
belakangan mendorongnya agar hanya memakai nama sepotong,
Liberace. Latihan musik kemudian menjadi tugas pertama. Baru
kemudian: sekolah, teman-teman, undangan santap malam.
Dalam rnasa depresi, yang membuat musikus seperti Salvatore
kehilangan pekerjaan, Walter bekerja sebagai tukang antar barang
di warung sayur ibunya dan main untuk kelas-kelas dansa dan
pertunjukan hiburan. Anak bandel ini berhasil memperoleh bea
siswa pada Sekolah Musik Winconsin, dalam usia 15 tahun. Acap ia
memainkan resital di siang hari, dan malamnya main di
kedai-kedai es krim dengan sebuah band dansa. Ketika dalam usia
16 tahun diminta main sebagai solois dengan Chicago Symphony
Orchestra, ia menerima cita rasa pertama yang menjadi dasar
'permusuhan' para musisi klasik terhadap musik pop.
"Saya dinasihati, jika saya tetap menggunakan nama Liberace
dalam band dansa, berarti saya merusakkan kehormatan yang
diberikan Chicago Symphony," ia mengenang. "J adi saya katakan
kepada pimpinan band agar memanggil saya dengan nama lain. Dan
nama yang dipilihnya: Walter Busterkeys."Tahun 1939, Liberace
main dengan repertoar klasik. Dalam resital di LaCrosse,
Winconsin, ia memainkan Three Little Fishes sebagai lagu ulangan
(bis)--sambil mengedip, tersenyum dan menggelinjang. Tepukan
yang menggebu-gebu memberinya gagasan bagaimana menciptakan uang
melalui permainan piano.
Dan ia membawa kedipan dan senyumannya ke New York tahun
berikutnya. Kemudian tercatat sebagai pemain piano selingan pada
Persian Room, Plaza Hotel. Tahun 1947, ketika kembali lagi
kePersian Room, ia menggunakan piano besarnya sendiri, merk
Bluthner, dengan bayaran US$ 150 ribu. Saat itu ia memakai
hiasan yang serba Louis XIV --motif yang dipinjam dari A Song To
Remember, film tentang kehidupan Frederic Chopin. Setelah
perang, ketika abangnya George Liberace men jadi manajer bisnis,
pemimpin band dan violisnya, mereka bermain di klub malam
seluruh negeri--tanpa sebuah komentar, apalagi ucapan selamat,
dari Salvatore, sang ayah.
"Jenis kesenian musik yang ia (Salvatore) apresiasikan begitu
murninya, hingga tak seorang pun ingin membelinya," kata
Liberace dengan murung. "Saya ikut dalam konser dan resital,
tapi itu hanya untuk kemegahan. Untuk hidup, saya harus
melacurkan seni saya".
"Di dalam musik klasik," katanya lagi, "ada potongan-potongan
yang menjemukan sebelum sampai ke bagian yang bagus. Kemampuanku
lebih banyak di dalam mengadaptasi--menyisihkan yang menjemukan
dari karya-karya klasik, dan membuatnya enak di lidah dan di
telinga orang awam. Saya lebih tertarik pada khalayak umum
ketimbang para munafik yang lancung, yang datang ke konser
karena itu adalah hal berbudaya."
Liberace mencari dukungan di tempat lain. Almarhum-ibunya, yang
menerima semua jenis musik kecuali rock 'n ' roll (yang
disebutnya "jingkrakan kotor"), memberi persetujuan dan dukungan
pada masa-masa awal suksesnya. Ia menemaninya dalam acara-acara
TV dan konser, memakai pakaian bulu serta permata. Dan dukungan
lain datang dari sang kakak, Angie, dan George. Hanya dalam
usianya yang sudah lanjut, Salvatore baru mengetahui sukses
putranya.
***
DI tahun 1954, empat yang pertama dari 200 album rekamannya laku
sekitar 100 ribu tiap kopinya. Mengalahkan Eddie Fisher, idola
pop saat itu. Konser yang diadakannya di Madison Square Garden,
Carnegie Hall dan Hollywood Bowl diserbu pengunjung.
Pertunjukannya di Chicago's Soldiers Field dihadiri sekitar 120
ribu orang. Hollywood memanfaatkan pula ketampanan dan
popularitasnya, sebagai pemeran pianis buta yang beralih menjadi
dermawan dalam film Sincerely Yours. Kemudian sebagai penjaja
(salesman) peti mayat dalam The Loved One.
Di tahun 1963 ia telah mengukubkan dirinya sebagai salah
seorang tukang hibur yang paling tinggi bayarannya. Di saat itu
pula ia bcrhasil selamat dari penyakit yang nyaris merenggut
nyawanya: tak sengaja menghirup uap cairan dry-cleaning yang
hampir saja menghancurkan ginjalnya. Peristiwa itu, katanya,
"secara filosofis sangat mempengaruhi diriku. Hidupku telah
menjadi lebih baik, membikirl sejumlah orang lain bahagia. Tentu
tak ada yang perlu disesalkan."
Untuk urusan menyenangkan hati orang lain itu, ia menghabiskan
US$ 750 ribu untuk biaya pengiriman surat dan hadiah kepada
kerabat, teman dan para pembantu. J uga menyelenggarakan pesta
untuk para perawat rumah sakit yang mcngurusnya. Untuk Rumah
Sakit St. Francis ia menyeponsori malam amal, yang hasilnya
digunakan untuk membeli seperangkat peralatan perawatan
intensif. "Setelah sembuh, yang ingin saya lakukan adalah
bekerja separuh dari biasa, tapi memperoleh hasil dua kali
lipat," katanya lalu.
"Perubahan nilai-nilai" memungkinkan Liberace melakukan
kegemaran yang tampak agak ekstrim, termasuk mendisain kostum.
"Tarikannya indah," kata Frank Acuna, bekas tukang jahit
Hollywood. "Disainnya bagus. "
Liberace mengaku, Elvis Presley terbilang yang pertama memakai
gaya gemerlapan di panggung. Jika hendak dirangkaikan
urut-urutannxa sejak Gcorge Liberace, Seymour Heller dan
Liberace sendiri, kisahnya jadinya begini. Tahun 1957, Elvis
mendapat order pertama di Las Vegas--di Last Frontier, bersama
Freddie Martin Orchestra. Waktu itu ia sudah populer di
televisi, tapi harus tampil di khalayak langsung sebelum diserbu
uang. Booking-nya sendiri jelek, dan jadinya Elvis gagal.
Setelah pertunjukan pertama itu, pejabat Humas Elvis mengundang
Liberace yang lagi main di Riviera: maukah anda mampir dan
mengipasi idola si belasan tahun ini? Ketika Liberace tiba,
seseorang mengusulkan mereka berfoto bersama. Lalu Liberace
meminta Elvis memakai jaket emasnya, sementara ia sendiri
memakai blazer (sejenis jaket) Elvis. Wajah Elvis bagai mendapat
darah baru. Itulah awal seluruh citra baru tentang Elvis.
Citra dan penampilan Liberacesendiri tetap tak berubah, kecuali
pada satu tahun. Tahun 1969, Liberace mencoret pakaian sutra,
kandelabra serta pengaturan set yang cermat dari tata
panggungnya. Akibatnya, pendapatannya melorot US$ 800 ribu.
Kesenangan Liberace yang lain adalah memperbaiki rumahnya dan
mengisinya. Lojinya penuh dengan kristal dan kaca, perabotan
mewah, pianopiano barok, peralatan santap malam yang antik,
piano miniatur dan sejumlah kandelabra. Tiap kamar didisain dan
didekorasinya sendiri, antaranya dengan patung-patung cabul, dan
tetek-bengek yang ganjil.
Seleranya dapat disebut 'murni'-baik 'autentik murni' maupun
'tidak autentik murni'. Di rumahnya yang besar di Hollywood,
yang telah dijualnya dua tahun lalu, misalnya, apa yang
tampaknya seperti emas memang benar-benar emas. Tapi yang
nampaknya seperti rumput di halaman luar, itu tak lain karpet
hijau. "Saya senang pada pengelabuan," katanya.
Untuk membebaskan diri dari sejumlah mebel yang kurang
disenangi, ia membuka sebuah 'salon antik' di Hollywood yang
disebut Liberoce Interiors and Object d 'Art. Tapi usaha itu
gagal. Tak lain karena ia, biasanya, menolak menjual barang
koleksinya. Setelah lima tahun beroperasi dengan terus merugi,
salon ditutup.
Kegilaannya kepada kemewahan juga tercerna dalam cita rasa
bisnis yang baik. Di luar jumlah jutaan yang ia tanamkan di
dalam pakaian, permata, piano-piano aneka ukuran dan merk,
sejumlah kanelabra dan mobil-mobil antik (semuanya kena pajak),
saham-sahamnya di real estate cukup banyak untuk tetap
menjadikannya seorang usahawan perumahan. Di Las Vegas saja ia
memiliki Versailles House, tiga kondominium (wilayah yang
dikuasai dua atau tiga orang), empat rumah model, pusat belanja
berlantai 20, dan, tentu saja, Liberace Museum.
Di loji Palm Spring ada beranda panjang yang merupakan sebuah
kebun beratap. Isinya melulu bunga-dari plastik. Ini merupakan
salah satu kediaman utamanya. Ia juga memiliki sebuah rumah
Tudor Inggris di Tahoe, yang disewakannya kepada Sahara Hotel,
dan bangunan kantor berlantai Iima di Los Angeles.
Menurut orang-orang di sekelilingnya, Liberace sama mewah dan
borosnya terhadap dirinya dan orang lain. Kenyataan ini dengan
sendirinya menjadi inceran para pencari derma dan pengemis
intelek. Mereka menyuratinya saban minggu: mohon bantuan karena
ada kerabat yang sakit atau karena anaknya minta piano. "Ia
menabung 12 bulan dalam setahun untuk belanjaan Natal-nya," kata
Seymor Heller, manajer bisnisnya.
"Begitu banyak orang yang ingin mcmbagikan sesuaty kepada yang
lain setelah matinya," kata Libcrace. "Mengapa tidak anda
lakukan semasih anda nidup, agar anda juga ikut menikmatinya?"
Benar, apa saja yang disentuh Liberace akan menjadi
emas--setidaknya piring keemasan. Tiap satu dari buku-bukunya
--autobiografi yang dijudulinya sendiri, The Things I Love dan
Liberoce Cooks--terjual habis 100 ribu kopi. Pada 1981 Liberace
bekerja 26 minggu, sekitar separuh di antaranya di Elvis Presley
Room Hotel Hilton, Las Vegas, dan itu menghasilkan sekitar US$6
juta.
Dalam pertunjukannya di Las Vegas, ia tampil bersama Domenick
Allen, temuan Seymour Heller. Melihat sejumlah pertunjukan pada
saat makan malam belakangan ini, mayoritas pengunjungnya
ternyata kaum pensiunan--pada berkacamata, berusia di atas
40-an. Ini sebabnya menunjukkan bahwa sang pianis adalah
fenomena 1950-an--dari kelompok yang sopan, yang jauh dari
demonstratif. "Jenisoudience-ku," kata Liberace, "kuingin main
begitu pianissimo, hingga kau dapat mendengarkan desah napas
mereka." Dan itulah "tarikan napas yang berubah menjadi
butir-butir airmata, tawa kecil ymg tertahan, seperti sebuah
dehem atau desah," begitu si penulis melukiskan.
Ambang panggungnya, berbentuk Rolls-Royce Phontom V, melahirkan
tepukan lembut dan sepatah dua uh dan oh. Keluar dari pintu
Rolls, wajahnya dilukis bagaikan kanvas lukisan, Liberace
membukakan tangannya ke hadapan penonton yang terpana. Ia
memperkenalkan sopirnya, Scott, anak muda tampan berambut jagung
yang berdiri sopan kcndai tak kehilangan harga diri. Bibirnya
tersenyum dan matanya yang biru nampak berkilau.
"Bukankah ia wunnerful?" tanya Liberace--dan yang dimaksudkannya
wonderful, tentu--dengan nada memancing tepukan. Scott
menghilang, dan Liberace berbicara sengau dengan mikrofon tanpa
kawat. Kepada penonton ia mengoceh. Katanya, topi kulit serigala
putih yang dipakainya sengaja didisain untuk salah satu
pertunjukan perdananya. "Kuharap anda sekalian menyenanginya,
karena andalah yang membayar harganya."
Ia berjalan ke depan pentas agar para penggemarnya dapat
meneliti deretan intan di bajunya. Beberapa pasang tangan
terjulur mengusapi jaket bulunya. Kemudian dikembangkannya
jari-jarinya, membelai lekuk-lekukkan delabra dan pianonya, yang
juga bertatahkan untaian-untaian intan. Seorang pelayan pria
tampil, dan Liberace memperkenalkannya ke hadapan para hadirin.
Setelah membuka mantelnya yang tanpa lengan, Liberace kini
tampil dalam tuxedo putih gemeriapan, dan duduk di kursi piano
untuk kemudian mengintro beberapa nada Chopininus yang
"menyebalkan" itu. Ketika kemudian bangkit, ia berujar: "Mcngapa
saya tidak menghilang dulu, kemudian memakai yang lebih
spektakuler?"
IA menghilang betulan. Lantas kembali dalam busana beledu
abu-abu model Raja George, lengkap bintang-bintang di pundak.
Duduk di depan piano yang keemasan -- di atasnya bertengger
kandelabra Louis IV--Liberace, seperti yang dikatakan abangnya
George, memainkan 'versi kuku jempol' Johann Strauss. Saat sang
virtuoso menarikan jari-jemarinya pada keyboord 'dengan kendali
aneh tak terlihat', di latar belakang air mancur mulai
menggeliat. Pancuran buatan berwarna itu menyemprot dan meliuk
berirama, menyuguhkan apa yang bisa kita lihat dalam
Fontosio-nya Walt Disney.
Setelah bermain-main sebentar dengan Strauss, tak lebih delapan
menit, ia berganti pakaian lagi: merah, putih dan hitam yang
kemerlap-kemerlip. "Terus terang, Tuan dan Nyonya, anda sekalian
wunnerful," katanya. "Ketahuilah, jika pakaian ini membuat anda
berbahagia dan senang, saya juga senang memakainya."
Ia terbang ke kamar ganti pakaian, dan kini tampil dalam jubah
mempelai warna hitam, dengan deretan permata tiruan Austria.
Beratnya semua 136 pon. Gemerlap, dan mengambai bagai kapstok
yang dobrak, Liberace malam itu mencoba melemparkan lelucon
buruk ke hadapan penonton: "Jika, saya bagini, Burt Reynolds
bisa cemburu. Kalau saya dapat intan, ia hanya dapat batunya."
Dilepasnya mantelnya, lalu memainkan Chopsticks Gershwin dengan
seenaknya, kemudian meramunya dengan musik disko. Setelah
memainkan sebuah polka, ia mengundang seorang fan ke panggung
untuk berdansa dengannya. Janet, dari Kansas City, memakai pant
double-knit dan blus polka-dot. Setelah berdansa wals sebentar
dengan Janet, yang diberinya selembar saputangan miliknya (ada
gambar Liberace di sana, berikut tanda tangan) dan dua karcis
masuk museum Liberace, ia membantu si cewek turun panggung.
Liberace memainkan It's Impossible dan As Time Goes By untuk
sepasang tua bangka 70-an yang baru saja kawin. Ia bawakan
sejemput irama Amerika, seperti boogie-woogie- bukan dengan
delapan, tapi dengan 16 bar. Dan mengunci pertunjuan dengan The
Beer Borrel Polko.
Lantas membungkuk dalam-dalam untuk tepukan riuh penonton.
"Terus terang, Tuan dan Nyonya," katanya, "anda benar-benar
wunnerful. Terima kasih banyak. Anda sekalian membuat saya
bahagia."
Kemudian pianis itu melangkah ke sayap panggung, dan mempelanai
dirinya dengan sepotong kawat. Kemudian tampil kembali
melayang-layang seperti malaikat yang berpakaian gemerlapan,
kedua tangan dan jaketnya mengembang, senyumnya mekar ceria.
Kawat itu melayang-layangkannya dari gerbang besar ke satu sisi
dan sisi panggung yang lain - begitu berulang kali. Ketika layar
turun, kawat mendorongnya naik turun--lalu hinggap di atas
piano. Tepuk tangan, tepuk tangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini