MINGGU lalu di surat-surat kabar terbetik berita tentang sebuah perusahaan yang pura-pura pailit. Lucu. Kalau ada kolonel gadungan, itu bisa dimengerti karena kolonel cukup gagah. Tetapi, pailit yang memalukan kok ada juga yang ternyata mau "menggadungkan" diri? Alasannya tentulah cukup jelas. Pernyataan palsu tentang kepailitan yang dibuat dengan biaya Rp 25 juta itu ternyata memang merupakan alat untuk membebaskan diri dari utang Rp 800 juta yang dipergunakan untuk kepentingan sendiri. Kepailitan atau bangkrutnya sebuah perusahaan memanglah merupakan beban yang berat bagi masyarakat. Bank yang ikut hangus jarinya di situ akan menjadi kurang kemampuannya untuk memberikan kredit bagi mereka yang membutuhkan. Pemerintah sendiri akan menderita kekurangan pemasukan pajaknya karena perusahaan-perusahaan lain yang mempunyai piutang pada perusahaan yang bangkrut itu tentu akan memasukkan kenyataan piutang tak tertagih itu sebagai biaya. Belum lagi tenaga kerja yang kemudian harus menerima PHK karena ditutupnya perusahaan itu. Ternyata pula bahwa cukup banyak taruhan (stakes) atas kelangsungan hidup sebuah perusahaan. Pada titik ini kita mulai menjadi sadar bahwa pada sebuah perusahaan sebetulnya terdapat banyak petaruh (stakeholders) yang nasibnya ditentukan oleh keberhasilan perusahaan itu. Lalu, pertanyaan yang hakiki menjadi: untuk apa, dan untuk siapa, bisnis itu? Pertengahan 1985, IPPM (lnstitut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen, waktu itu masih memakai nama LPPM) menyelenggarakan sebuah diskusi tentang stakeholders dan masa depan dunia usaha di Indonesia. Konsep stakeholders ini akan merupakan titik balik yang menyadarkan masyarakat bahwa semuanya terlibat dan berkepentingan dengan bisnis. Semua anggota masyarakat mempunyai bagian taruhannya masing-masing atas sehatnya dunia usaha. Pendeknya, bisnis bukan hanya merupakan kepedulian para eksekutif dan insan bisnis belaka. Biasanya, masyarakat baru sadar akan eksekutif dan insan bisnis belaka. Biasanya masyarakat baru sadar akan hal ini ketika mereka terkena PHK. Barulah mereka sadar bahwa bisnis yang bobrok berdampak pada nasib mereka secara langsung. Ada beberapa orang yang kurang sependapat ketika sekitar dua tahun yang lalu saya menulis Kiat tentang adanya semacam sikap antibisnis di kalangan masyarakat. Bahkan masyarakat pers pun tampaknya lebih senang melaporkan perusahaan yang rusak daripada perusahaan yang berhasil. Sikap itu timbul bukan tanpa sebab. Tidak dapat dipungkiri, dalam tradisi berusaha di Indonesia pada masa lalu kental sekali tampak gambaran, satu-satunya yang berkepentingan dalam kelangsungan hidup perusahaan adalah pemiliknya. Ini antara lain juga karena bentuk-bentuk perusahaan keluarga yang lebih banyak terbentuk pada masa itu. Gambaran yang kuat juga menunjukkan seolah-olah para pemegang saham sajalah yang menentukan nasib dan berkepentingan atas nasib itu. Sekalipun sekarang perusahaan-perusahaan keluarga sudah mulai "kemasukan" manajer profesional, pola hubungan antara pemilik dan pekerja masih belum sepenuhnya dapat dilunturkan. Tak jarang terasa bahwa nasib para pekerja itu sepenuhnya bergantung pada kebaikan hati para pemiliknya. Para pemilik pun tidak menunjukkan sikap bahwa keberhasilan usahanya itu sebenarnya justru bergantung pada produktivitas karyawannya. Konsep stakeholding ini karenanya memang menjadi sangat berbeda dengan konsep shareholding. Dalam konsep shareholding perusahaan bertujuan menciptakan laba. Sedangkan pada konsep stakeholding justru diperlukan pengakuan bahwa laba bukanlah tujuan satu-satunya menjalankan usaha. Konsep stakeholding juga memberi pengakuan bahwa bukan hanya para pemilik yang dilayani kebutuhannya, tetapi diperhitungkan juga pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap perusahaan. Drs. Abdulgani, Direktur Utama Bank Duta, bahkan menegaskan bahwa setiap perusahaan perlu sejak awal pendiriannya menentukan pihak-pihak mana saja yang akan ikut serta menentukan keberhasilannya. Identifikasi dini terhadap para stakeholders ini sangat diperlukan dalam perencanaan kegiatan perusahaan. Pemerintah, menurut Tanri Abeng, M.B.A., Presiden Direktur PT Multi Bintang Indonesia, adalah salah satu stakeholders terpenting dalam kegiatan bisnis. Dalam diskusi yang diselenggarakan IPPM itu, Tanri juga mengungkap bahwa dalam penerimaan pajak bahkan pemerintah menerima jauh lebih banyak daripada para pemegang saham. Bila pemerintah sudah menyadari sebagai stakeholders terpenting -- termasuk juga yang akan kejatuhan kepusingan masalah PHK karena gagalnya bisnis -- maka pemerintah tentu akan lebih positif bersikap terhadap bisnis. Antara lain, ya itu, tidak membiarkan aparatnya ikut serta membuat pernyataan pailit bagi petualang-petualang bisnis. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini