Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Light rail transit atau LRT Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi (LRT Jabodebek) meluncur mulus pada soft launching dan uji coba operasional terbatas pada Rabu, 12 Juli 2023. Uji coba tersebut dilakukan dari Stasiun LRT Harjamukti, Depok menuju ke Stasiun LRT Dukuh Atas, Jakarta Selatan. Kereta layang itu ditumpang oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan M. Risal Wasal, Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia Didiek Hartantyo, dan pejabat lainnya, juga para wartawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Namun, di balik suksesnya uji coba operasional terbatas itu, ada modal investasi yang dikeluarkan. Di mana nilai investasi proyek senilai Rp 29,9 triliun kemudian biayanya membengkak Rp 2,6 triliun menjadi Rp 32,5 triliun karena operasionalnya sempat diundur. Kepala Divisi LRT Jabodebek PT KAI, Mochamad Purnomosidi, yang juga ikut dalam uji coba tersebut mengatakan pihaknya sudah menghitung berapa lama proyek itu akan balik modal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“LRT Jabodebek diperkirakan bisa balik modal setelah 13 tahun. Sehingga setelah itu tidak memerlukan lagi subsidi,” ujar saat dihubungi pada Selasa, 11 Juli 2023.
Perkiraan tersebut, kata dia, sudah dihitung dengan asumsi tarif dasar Rp 5.000 hingga tertinggi Rp 25 ribu yang sudah diusulkan oleh LRT Jabodebek. Dengan target 200 ribu penumpang per hari sejak dimulainya operasional komersial pada 18 Agustus 2023 nanti. Target juga akan meningkat menjadi 500 ribu penumpang per hari setelah 5-10 tahun.
Direktur PT KAI Didiek Hartantyo pun menambahkan LRT Jabodebek direncanakan akan beroperasi dengan 560 kali perjalanan setelah semua uji coba sukses dilakukan. “Setiap hari pada hari kerja dengan headway rata-rata antara 3-6 menit,” tutur Didiek.
Soal pengembalian modal proyek LRT Jabodebek Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Ki Darmaningtyas tidak bisa banyak komentar. Menurut dia, hal itu harus benar benar dihitung. “Saya tidak bisa jawab common sense,” kata dia.
Komentar serupa juga disampaikan oleh Ketua Bidang Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Aditya Dwi Laksana. “Saya belum ngitung. Itu biasanya perhitungan ada di konsultannya,” ujarnya.
Namun, Aditya menjelaskan, sudah pasti dengan adanya delay operasional itu, pasti ada opportunity loss. Karena semakin operasionalnya tertunda pasti akan ada tax cost yang dikeluarkan oleh PT KAI. Termasuk juga opportunity loss dari keuntungan yang tidak bisa segera di realisasinya.
Sementara, pakar transportasi dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI) Sutanto Soehodho, berpandangan bahwa pengembalian modal investasi moda kereta sebagai pelayanan publik tidak bisa hanya diukur dalam konteks finansial saja (corporate level). Melainkan harus lebih luas dalam konteks nilai keekonomiannya.
Karena, Sutanto berujar, investasi yang besar membutuhkan dukungan pemerintah dan waktunya cukup panjang. “Untuk perhitungan pengembalian modalnya bahkan bisa 40 tahun atau lebih,” ucap dia. Namun ada nilai keekonomian yang perlu diperhatikan. Dengan pelayanan kereta yang dapat menurunkan kemacetan akibat transportasi berbasis jalan, sehingga ada penghematan dalam konteks nilai waktu. Demikian juga efisiensi energi.
Sehingga ada peluang pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar, penekanan polusi udara, dan berbagai dampak positif lainnya. Nilai yang bersifat tidak langsung ini perlu diperhitungkan sebagai bagian dari pengembalian modal. Dengan demikian investasi kereta dapat diperhitungkan sebagai sunk cost. “Yaitu dana investasi yang pengembaliannya tidak langsung pada pelayanan kereta itu sendiri. Melainkan melalui biaya sektor lain, seperti energi, lingkungan, kesehatan, dan lain-lain,” tutur Sutanto.
Potensi Pendapatan Selain Tiket
Sutanto menjelaskan, LRT Jabodebek dibangun pada koridor yang sudah cukup berkembang, bahkan sudah melalui berbagai area komersial. Sehingga, seharusnya ada peluang kereta layang itu untuk meraup keuntungan horizontal revenue atau pendapatan non tiket (non-farebox). Horizontal revenue dapat direbut melalui pengembangan transit oriented development (TOD), iklan, dan bentuk komersial lainnya.
Dengan cara seperti itu, PT KAI diharapkan dapat mengurangi beban pemerintah dalam bentuk subsidi operasional dengan tarif, yang juga tetap terjangkau masyarakat. Keuntungan lain dari pembangunan moda kereta sebagai sistem angkutan kota adalah membangun budaya modern di lingkup masyarakat.
Sehingga, kata Sutanto, masyarakat lebih rasional dalam melakukan perjalanan kolektif yang saling menguntungkan. Serta lebih berorientasi pada efisiensi biaya dan ketepatan waktu. “Sehingga lambat laun meninggalkan gengsi penggunaan kendaraan pribadi yang menimbulkan kemacetan yang tidak efisien atas biaya dan waktu,” ucap dia.
Sutanto mengakui masalah kemacetan memang sangat sulit diatasi. Karena sudah terlalu lama masyarakat bergantung pada kendaraan pribadi. “Masyarakat dengan perubahan gaya hidup perkotaan yang cerdas mengedepankan ketepatan waktu, terjangkau, dan nyaman,” kata dia.
Senada dengan Sutanto, Ketua Instran Ki Darmaningtyas mengatakan hal yang sama. “Bisa komersialisasi prasarana dan sarana,” kata dia. Untuk prasarana, bisa memanfaatkan stasiunnya. Sedangkan sarana bisa melalui iklan.
Namun, Darmaningtyas masih belum mengetahui soal naming right stasiun dan tiang-tiang menyangga lintasan LRT Jabodebek. “Kalau itu stasiun miliknya KAI ya bisa dioptimalkan sebagai sumber pendapatan. Tapi iklan akan sangat tergantung pada jumlah penumpang, makin banyak penumpang iklannya akan makin banyak,” tutur Darmaningtyas.
Soal potensi pendapatan selain tarif itu juga diamini oleh Kepala Divisi LRT Jabodebek PT KAI Mochamad Purnomosidi. Dia menyebutkan soal perkiraan sumber pendapatan lain proyek tersebut. “Dapat berupa iklan di stasiun, naming right, tenant, ATM center, atau bahasa sekarang adalah pendapatan non-farebox,” kata dia.
Hilang Potensi karena Tertunda Beroperasi
Namun, PT KAI harus merelakan potensi pendapatan dari calon penumpang pertama LRT Jabodebek yang batal beroperasi secara komersial pada Agustus tahun lalu. Dalam laporan Koran Tempo edisi 16 September 2023, Kepala Divisi LRT Jabodebek PT KAI Mochamad Purnomosidi membenarkan adanya peluang pendapatan dari tiket yang seharusnya sudah didapat jika sepur berteknologi tanpa masinis itu mulai meluncur tahun lalu.
“Potensi pendapatan LRT Jabodebek pada Agustus – Desember 2022 sekitar Rp 212,7 miliar,” kata dia dalam laporan Koran Tempo.
Dengan molornya target pengoperasian perdana LRT Jabodebek hingga Juni 2023, terdapat potensi Rp 375 miliar lainnya yang hilang—terhitung dari akumulasi potensi pendapatan selama satu semester. “Beban PT KAI timbul dari penambahan bunga pinjaman dan biaya pra-operasi,” ucap Purnomosidi.
Jadwal pengoperasian komersial (commercial operation date atau COD) proyek strategis nasional itu sempat tertunda beberapa kali. Bila berbasis Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 118 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Kereta Api Ringan Terintegrasi di Wilayah Jabodebek, tarif dasar penumpang pada jadwal COD pertama—Juli 2019—ditetapkan sebesar Rp 12 ribu. Rencana COD pun mundur, dan dijadwalkan ulang pada Agustus 2022.
Saat itu perkiraan tarif dasar LRT Jabodebek diubah karena harus disesuaikan dengan proyeksi pengembalian investasi. “Asumsi tarif flat naik dari Rp 12 ribu menjadi Rp 15 ribu,” kata Purnomosidi. Hitungan ini dipakai manajemen PT KAI untuk memperkirakan potensi pendapatan yang hilang akibat penundaan proyek tersebut saat itu.
Tarif dasar Rp 15 ribu itu dipatok untuk perjalanan di dua rute bolak balik, yaitu Stasiun LRT Harjamukti-Dukuh Atas dan Stasiun LRT Bekasi Timur-Dukuh Atas. Bila dirinci, tarif komersial itu dihitung sebesar Rp 3.000-4.000 untuk jarak tempuh per 5 kilometer. Dengan 31 rangkaian kereta, sepur ringan ditargetkan mengangkut 115 ribu penumpang per hari selama 2 tahun pertama. Setiap rangkaian kereta modern itu bisa menampung total 740 penumpang sekali jalan.
Direktur Utama PT KAI Didiek Hartantyo saat itu juga mengeluhkan beban yang harus ditanggung entitasnya karena penundaan tersebut. Beban itu muncul dari beban bunga pinjaman dan biaya praoperasi. Saat target peluncuran pertamanya molor, biaya investasi proyek ini tercatat melar hingga Rp 2,6 triliun, dari hitungan awal Rp 29,9 triliun menjadi Rp 32,5 triliun.
"Kami berutang itu Rp 20 triliun. Jadi, bagaimana kami mengembalikan utang kalau tidak ditopang oleh PSO (public service obligation) untuk pengambilan infrastruktur (LRT). Ini desainnya sudah tidak benar dari awal," ucap Didiek.
Bila dirinci, sebanyak Rp 22,3 triliun dari ongkos proyek PT KAI melalui fasilitas sindikasi sementara Rp 10,2 triliun sisanya dari penyertaan modal negara (PMN). Beban KAI membengkak lantaran menjadi penyelenggara pengoperasian, perawatan, sekaligus operator pengusahaan proyek infrastruktur dan sarana.
Sumber Tempo yang mengetahui pasti soal perkembangan LRT Jabodebek membenarkan pembengkakan biaya atau cost overrun proyek bisa membesar karena faktor interest during construction (IDC). Artinya, timbul biaya baru karena perpanjangan pekerjaan hingga pertengahan 2023. “Tapi karena sudah tahap final, cost overrun ini tidak sebesar sebelumnya. Tidak akan lebih dari Rp 1 triliun,” katanya, kemarin.
Kepastian Tarif LRT Jabodebek
Belakang, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memastikan pemerintah akan memberikan subsidi tarif LRT Jabodebek. Dia menjelaskan pemerintah mempertimbang kondisi masyarakat agar lebih mudah menumpang LRT Jabodebek. “Kalau dengar bocorannya, Rp 20-25 ribu. Kira-kira. Nanti kami akan menghitung, itu tidak asal menghitung,” ucap Menhub Budi Karya di Stasiun LRT Dukuh Atas, Rabu, 12 Juli 2023.
Direktur Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan M. Risal Wasal mengungkap tarif yang akan ditetapkan oleh Kemenhub. Dia memastikan tarif dasar LRT Jabodebek Rp 5.000 dan tarif tertinggi Rp 25 ribu. “Iya, Rp 5.000 dan per kilometernya bertambah Rp 700,” kata dia.
Dia mencontohkan, soal tarif terjauh Rp 25 ribu itu adalah rute dari Cibubur menuju ke Bekasi. Sementara Jakarta ke Bekasi atau Jakarta ke Cibubur, tarifnya sekitar Rp 20 ribu. “Karena hitungan tarifnya adalah Rp 5.000 per kilometer pertama selanjutnya Rp 700 per kilometer selanjutnya. Jadi kalau ditotal sekitar Rp 20 ribu Bekasi sampai Dukuh Atas atau Cibubur sampai Dukuh Atas,” kata Risal. “Nanti ada peraturan menterinya.”
Sebelumnya, Manager Public Relations LRT Jabodebek Kuswardojo mengatakan pemerintah masih belum memutuskan tarif LRT. Pihaknya sudah mengusulkan tarif dasar antara Rp 5.000-Rp 7.000. “Kemudian akan ada penambahan biaya per kilometernya Rp 850 dan Rp 1.200. Makanya kita sama-sama tunggu dari kementerian seperti apa," ujar dia.
Kuswardojo menyebut besaran tarif LRT nanti tentu tergantung dari pemerintah. Artinya, seberapa besar pemerintah memberikan subsidi kepada warga masyarakat pengguna jasa LRT. Pasalnya, menurut dia, semakin besar subsidi yang diberikan, maka pasti tarifnya semakin murah.
Ketua Instran Ki Darmaningtyas menyatakan setuju dengan usulan tarif LRT Jabodebek itu. “Saya sepakat kalau misalnya mereka mematok tarif terendah Rp 5.000,” ujar dia.
Darmaningtyas mengatakan keunggulan LRT Jabodebek adalah ketepatan waktunya. Namun, masih ada masalah di akses menuju dan keluar stasiun. Karena, menurut dia, jika akses ditingkatkan maka masyarakat diyakini akan bersedia berpindah dari penggunaan moda transportasi lain, terutama kendaraan pribadi, ke kereta layang itu. “Daripada macet-macet, waktunya gak pasti, lebih baik naik LRT saja,” tutur Darmaningtyas.
MOH KHORY ALFARIZI | YOHANES PASKALIS
Pilihan Editor: Penumpang Berulah, Pesawat Batik Air Kembali ke Bandara Soekarno-Hatta setelah 30 Menit Terbang