Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AGAMA bukanlah partai politik. Dalam politik, partai yang pemilihnya terlalu sedikit bisa dilarang ikut pemilihan umum berikutnya. Partai itu pun akan mati suri dan bubar sendiri. Dalam berkeyakinan, agama atau aliran yang penganutnya sedikit tidak dapat dilarang, apalagi dibubarkan.
Membubarkan aliran keagamaan-seperti yang akan dilakukan Menteri Agama Suryadharma Ali terhadap Ahmadiyah-adalah tindakan sia-sia, tak pantas, dan berbahaya. Sebagai seorang menteri, dia harus tahu negara bukanlah alat yang hanya bisa dimanfaatkan oleh mayoritas, tapi juga payung untuk melindungi minoritas.
Suryadharma beralasan, pembubaran akan dilakukan karena Ahmadiyah tidak mengakui Al-Quran sebagai kitab terakhir yang diturunkan Tuhan kepada manusia. Juga karena gerakan dan jemaah ini berprinsip bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi terakhir. Pandangan ini, di mata Suryadharma, sangat bertentangan dengan agama Islam-ia sebut sebagai "penafsiran yang kebablasan".
Alasan ini agak aneh. Soal perbedaan pendapat di dalam sebuah agama seharusnya diserahkan kepada pemeluknya. Biar mereka mendiskusikan hal itu dengan dewasa. Dialog-yang bisa dimediasi oleh pemerintah-itu bukan untuk mencari yang menang, agar yang kalah bisa disuruh mengekor, melainkan untuk menjembatani perbedaan di antara mereka. Pemerintah tidak bisa berperan sebagai Tuhan, menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Intervensi pemerintah dalam menentukan kebenaran ini hanya akan memenangkan kelompok mayoritas.
Yang lebih aneh adalah saat Suryadharma mengatakan keyakinan Ahmadiyah itu melanggar hak asasi mayoritas umat Islam yang meyakini Muhammad sebagai nabi terakhir. "Siapa yang melindungi hak asasi mereka (umat Islam)? Dalam kebebasan itu harus ada prinsip menghormati kebebasan orang lain. Hak ini yang harus dilindungi ketika ada sekelompok orang mengatakan Nabi Muhammad bukan nabi terakhir," ujarnya.
Pernyataan itu jelas salah alamat dan tak jelas juntrungannya. Sebab, selama ini Ahmadiyah tidak pernah melarang umat Islam meyakini Muhammad sebagai nabi terakhir. Bahkan yang selama ini haknya untuk berkeyakinan dibatasi justru kelompok Ahmadiyah. Masjid yang dibakar adalah masjid mereka, rumah yang dihancurkan adalah rumah mereka. Pak Menteri seharusnya tak menutup mata terhadap kekejaman yang mereka alami selama ini.
Pemerintah mungkin saja berhasil membubarkan Ahmadiyah di Indonesia. Tapi ini bukan berarti sang penguasa berhasil menghapus keyakinan itu dari diri mereka yang mempercayainya. Pengalaman di banyak negara menunjukkan pelarangan pemerintah terhadap suatu aliran keagamaan tidak pernah berhasil. Hal itu hanya akan memindahkan konsentrasi pergerakan mereka, dari yang awalnya di permukaan menjadi di bawah tanah saat dilarang. Larangan pemerintah pun akhirnya mubazir.
Keyakinan sesungguhnya tak bisa diadili. Selain itu, pelarangan dan tekanan terhadap keyakinan justru akan memicu ledakan di masa depan. Militansi dan terorisme modern-seperti Al-Qaidah-muncul untuk pertama kalinya di penjara sejumlah negara Timur Tengah. Mereka sebelumnya adalah anggota partai politik moderat yang mendapat tekanan penguasa tanpa alasan yang jelas.
Kita tentu saja tak ingin hal itu terjadi di Indonesia. Bukan hanya kekerasan sebagai reaksi dari kelompok minoritas yang ditindas, melainkan juga kekerasan dari kelompok mayoritas dengan bantuan negara. Pejabat negara sudah seharusnya bersikap lebih bijak dan paham bahwa kita tidak lagi hidup di zaman inkuisisi. Tidak ada lagi perburuan orang sesat atas nama apa pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo