Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Blambangan yang Disingkirkan

Kerajaan Blambangan tak pernah mendapat tempat dalam sejarah nasional Indonesia. Sebuah disertasi dari Universitas Leiden berjudul Java’s Last Frontier: The Struggle for Hegemony of Blambangan memaparkan perspektif sejarah di luar mainstream, yang mengagetkan. Blambangan adalah kerajaan Hindu yang sezaman dengan Majapahit dan tetap eksis ketika Majapahit runtuh. Wilayahnya terbentang dari Situbondo,Lumajang, Banyuwangi hingga Bali.

Blambangan adalah kerajaan Hindu terakhir di Jawa yang bahkan bertahan sampai abad ke-18 dan memberikan perlawanan habis-habisan terhadap VOC.

13 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Reruntuhan bangunan setinggi satu meter itu terlihat jelas begitu tanah di area persawahan digali. Terbuat dari batu bata, dengan struktur rapat tanpa spasi. Satu batu bata memiliki ukuran tiga kali lebih besar dari batu bata yang dipakai orang sekarang.

Reruntuhan bangunan itu salah satu temuan dalam survei awal Situs Macan Putih yang dipelopori arkeolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Profesor Inajati, sejarawan Sri Margana, dan Forum Masyarakat Penyelamat Sejarah Macan Putih, awal Juli lalu. Forum Masyarakat mempercayai bekas bangunan itu merupakan benteng timur ketika pusat Kerajaan Blambangan dibangun di Desa Macan Putih, Kecamatan Kabat, Banyuwangi, Jawa Timur.

Seperti dilihat Tempo, bekas bangunan itu kian rusak karena aktivitas oknum warga. Di sekitar area sawah, Tempo menemukan banyak batu bata yang pecah. Tim survei juga mendapati ratusan benda bersejarah di sebuah area kebun kelapa seluas lima hektare. Nasibnya sama. Gerabah serta keramik asal Cina dan Eropa tak lagi utuh. Bahkan Gunawan (bukan nama sebenarnya), warga setempat, mengaku telah menjual ratusan keramik, patung, dan perhiasan kuno kepada seseorang asal Bali.

Situs Macan Putih itu dipercaya para peneliti sebagai cikal-bakal Kabupaten Banyuwangi. Di sinilah Kerajaan Blambangan mencapai puncak kejayaan dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Bali, Situbondo, Jember, Bondowoso, dan Lumajang.

Kerajaan Blambangan merupakan kerajaan Hindu terakhir di Jawa. Kerajaan ini lahir pada 1295, dua tahun setelah Majapahit berdiri. Raja Majapahit Raden Wijaya memberikan ”Istana Timur” ini kepada Arya Wiraraja (Adipati Sumenep) dengan ibu kota di Lumajang karena ia telah membantu perjuangan mendirikan Majapahit. Setelah keruntuhan Majapahit pada abad ke-15, Kerajaan Blambangan mampu bertahan hingga abad ke-18.

Namun riwayat Kerajaan Blambangan tak pernah disebut dalam sejarah nasional Indonesia. Selama ini, masih sedikit sejarawan yang meneliti Blambangan. Peninggalannya pun bisa dihitung dengan jari. Riwayat kerajaan ini mayoritas berupa cerita rakyat yang kental dengan legenda atau mitos, seperti kisah Damarwulan-Menakjingga, yang kerap dibawakan dalam seni pertunjukan.

Menurut peneliti dan dosen Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Jember, Jawa Timur, Edi Burhan Arifin, eksistensi Kerajaan Blambangan memang sering terlupakan dalam catatan sejarah nasional. Bahkan kesan Kerajaan Blambangan sebagai dongeng, legenda, atau mitos lebih kuat ketimbang sejarah. Apalagi bukti-bukti seperti prasasti boleh dibilang minim, sehingga silsilah atau keturunan para pemangku kekuasaan di kerajaan itu nyaris tak terdeteksi atau diketahui secara runtut dan pasti.

Padahal, tutur Edi, dalam catatan sejarah, terutama catatan ahli-ahli Belanda, Kerajaan Blambangan berumur lebih panjang dua abad dari usia Kerajaan Majapahit. ”Kerajaan Blambangan adalah kerajaan terakhir yang ditaklukkan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) Belanda dengan perlawanan paling gigih,” kata Ketua Laboratorium Sejarah Fakultas Sastra Universitas Jember ini.

Secara historis, Edi menambahkan, eksistensi Kerajaan Blambangan berawal dari sebutan ”Balumbungan” yang berarti lumbung. Jadi Blambangan merupakan pusat logistik yang kaya akan sumber daya alam. Wilayahnya terbentang dari Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Jember, hingga Lumajang.

Karena potensi kekayaan itu, Kerajaan Blambangan kemudian menjadi rebutan. Menurut Edi, hal itu bisa dilihat dari upaya penaklukan atau pencaplokan Blambangan oleh banyak pihak, dari Kerajaan Majapahit, Mataram Islam, hingga VOC.

l l l

Sejarah Kerajaan Blambangan kian terang ketika sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, melakukan penelitian. Pada 2007, Margana menuangkan hasil penelitiannya dalam disertasi doktoral di Universitas Leiden, Belanda, berjudul Java’s Last Frontier: The Struggle for Hegemony of Blambangan, c 1763-1813.

Saat ini Margana, 40 tahun, berada di Belanda untuk menyelesaikan penelitiannya tentang sejarah kebudayaan Banyuwangi dari masa Hindu hingga kontemporer. Dalam disertasinya, Margana mengungkapkan, selama tiga abad setelah keruntuhan Majapahit, Blambangan kerap diliputi peperangan karena diperebutkan kerajaan-kerajaan yang memiliki dua faksi politik berbeda. Di barat ada Kerajaan Demak dan Mataram Islam, sedangkan di timur ada kerajaan-kerajaan Hindu di Bali (Gelgel, Buleleng, dan Mengwi). Bali sangat berkepentingan terhadap Blambangan sebagai benteng terakhir untuk menghambat ekspansi Islam di Jawa yang digencarkan Mataram.

Pelbagai peperangan itu membuat pusat Kerajaan Blambangan berpindah hingga enam kali. Dimulai pada masa Arya Wiraraja di Lumajang, kemudian ke Panarukan (sekarang masuk Situbondo) dan Kedawung (sekitar Jember). Berikutnya, pusat kerajaan semakin terdesak ke pedalaman Banyuwangi, yakni di Macan Putih (Kecamatan Kabat), Lateng (Kecamatan Rogojampi), Ulupampang (Muncar), dan terakhir di Kota Banyuwangi.

Blambangan masuk masa damai tanpa peperangan ketika beribu kota Macan Putih, yang dipimpin Raja Tawang Alun II (1655-1692). Raja inilah yang membawa Blambangan ke puncak kejayaan, lepas dari kekuasaan Mataram dan Bali. Menurut Margana, salah satu kebesaran Tawang Alun ditunjukkan dengan jumlah istrinya yang mencapai 400 orang. Saat Tawang Alun II dikremasi, sebanyak 270 istrinya ikut membakar diri (sati). ”Inilah peristiwa sati yang terbesar dalam sejarah Indonesia,” katanya.

Untuk menghormati Raja Tawang Alun II, masyarakat setempat membangun sebuah sanggar pamujan atau tempat semadi. Menurut juru kunci Nuruddin, tempat itu dibangun pada 1968. Bangunannya berupa pendapa kecil berkeramik dan bertirai putih. Di tengahnya tertanam sebuah batu, dengan dua buah payung. Tempat seluas hampir satu hektare itu dikelilingi tembok setinggi dua meter. ”Banyak yang bersemadi di sini,” ujar Nuruddin.

Menurut Margana, tempat itu mungkin sisa dari ”de kuil van Matjan Poetih”, seperti yang ada dalam lithograph Engelhard tahun 1802 dan lukisan Assistant Resident Banyuwangi tahun 1850.

Setelah kematian Tawang Alun II, Blambangan kembali dikuasai Bali, yakni Kerajaan Buleleng dan Mengwi. Selama satu abad pendudukan Mengwi, ribuan orang Bali menyeberang dan menetap di Blambangan. Sedangkan wilayah Blambangan bagian barat, seperti Lumajang, dicaplok Surapati, yang telah menjadikan Pasuruan sebagai daerah kekuasaannya. ”Inilah yang membuat budaya masyarakat Banyuwangi saat ini lebih dekat dengan pengaruh Bali ketimbang Jawa pada umumnya,” kata Margana.

Pada 1743, Raja Mataram Pakubuwana II menyerahkan Blambangan kepada VOC sebagai imbalan telah merebut Ibu Kota Kartasura dari tangan pemberontak. Namun VOC tak segera melakukan pendudukan karena terseret ke konflik Mataram yang tak kunjung selesai hingga 1757.

VOC baru melakukan ekspedisi militer ke Blambangan pada Februari 1767. VOC menyertakan sekutunya dari Kerajaan Mataram, Pasuruan, Banger, Surabaya, dan Madura. Kedatangan pasukan koalisi VOC ini disambut gembira oleh rakyat Blambangan yang ingin melepaskan diri dari Bali. Mereka berharap VOC membuat masa depan Blambangan lebih baik. Kemudian terjadilah pembunuhan besar-besaran terhadap orang Bali, terutama oleh orang-orang Bugis di Blambangan yang membantu VOC. Hanya dalam satu bulan, VOC dengan mudahnya menduduki Blambangan.

Namun euforia terhadap kehadiran VOC itu hanya berlangsung singkat. Empat bulan setelah VOC menjalankan pemerintahannya di Blambangan, muncul pemberontakan yang dipimpin Wong Agung Wilis—saudara tiri dan mantan patih raja terakhir Blambangan, Pangeran Adipati Danuningrat (1736-1764). Pemberontakan Wilis itu berlangsung setahun, yang berakhir dengan penangkapan Wilis pada 1768. Wilis dan pengikutnya dibuang ke Pulau Banda.

Pemberontakan terbesar meletus di bawah pimpinan Susuhunan Jagapati, yang membangun benteng di Bayu (kini masuk Kecamatan Songgon, Banyuwangi). Ribuan warga Blambangan berbondong-bondong meninggalkan desanya bergabung dengan pasukan Jagapati. Kerajaan Mengwi juga mengirimkan bantuan pasukan. Pertempuran pecah pada Desember 1771, yang berakhir dengan kemenangan pasukan Jagapati. Pemimpin VOC, Vaandrig Schaar dan Cornet Tinne, tewas. Ratusan prajurit Madura yang dibawa VOC juga nyaris tanpa sisa.

Kemenangan Blambangan itu dibalas setahun kemudian. VOC mendatangkan ribuan prajurit tambahan dari Madura, Surabaya, dan Besuki. Untuk mengontrol pasukan Jagapati, VOC mendirikan benteng di dekat Bayu. Lumbung-lumbung padi milik pasukan Jagapati dibakar, sehingga kelaparan menyerang rakyat Blambangan, disusul kematian dan merebaknya wabah penyakit. Pasukan Jagapati terus berkurang. Pada Oktober 1772, pasukan Jagapati dipatahkan.

Jagapati tewas dalam pertempuran itu. Tubuh dan kepala para prajurit Blambangan yang tewas digelantungkan di pepohonan sekitar benteng. Menurut Margana, ini adalah peperangan tersadis dalam sejarah Indonesia. Masyarakat Banyuwangi menyebut peperangan ini sebagai Puputan Bayu. Meminjam istilah dari Bali, puputan berarti perang habis-habisan. Populasi rakyat Blambangan menyusut drastis akibat perang ini, dari 80 ribu jiwa menjadi hanya 8.000 jiwa.

Untuk mengenang peperangan ini, pada 2004, pemerintah Banyuwangi membangun monumen Puputan Bay, di pintu masuk Desa Bayu, Kecamatan Songgon. Adapun tempat peperangannya sendiri berada 5 kilometer dari monumen, berupa sebuah rawa di kaki Gunung Raung yang dikelilingi hutan pinus seluas sekitar delapan hektare. Kini daerah yang bernama Rowo Bayu itu menjadi tujuan wisata alam. Masyarakat Hindu di Banyuwangi dan Bali juga menjadikan Rowo Bayu sebagai tempat bersuci atau bersemadi.

l l l

PascA pemberontakan Jagapati, Blambangan memulai periode baru. Ibu kota Blambangan dipindahkan ke Ulupampang (kini Muncar) karena wabah penyakit dan faktor keamanan. Tak ingin mengulang kesalahan, VOC kemudian memilih bupati Islam keturunan Blambangan, Mas Alit, yang bergelar Raden Tumenggung Wiraguna. Kehadiran Mas Alit diterima luas oleh rakyat Blambangan karena ia berasal dari keluarga yang dihormati. Ayahnya adalah bekas kepala menteri Pangeran Danuningrat, raja terakhir Blambangan. Yang paling penting bagi VOC, Mas Alit belum pernah menjalin aliansi dengan orang Bali. Saat berusia 6 tahun, Mas Alit telah dibawa ke Madura oleh Panembahan Madura, Cakradiningrat.

Kabupaten Blambangan kemudian dipecah dua dengan Gunung Raung sebagai batas. Bagian barat terdiri atas empat kabupaten baru, yakni Jember, Prajekan, Sentong (sekarang Kabupaten Bondowoso), dan Sabrang atau Renes, yang dipimpin mantan patih Bupati Surabaya, Sumadirana. Sedangkan Blambangan timur, yang dipimpin Mas Alit, meliputi tiga kabupaten baru: Ketapang, Ulupampang, dan Grajagan (saat ini ketiganya masuk Kabupaten Banyuwangi).

Sisa-sisa Keraton Blambangan di Ulupampang masih bisa disaksikan di Desa Tembokrejo, Muncar. Ada dua situs di sana: Situs Umpak Songo dan Situs Sitihinggil. Situs Umpak Songo, yang berarti sembilan penyangga, berupa reruntuhan yang menyisakan 49 batu besar dengan sembilan batu di antaranya berlubang di bagian tengah. Batu yang berlubang itu diduga kuat berfungsi sebagai umpak atau penyangga. Situs itu diduga bekas balai pertemuan. Sedangkan Situs Sitihinggil dulu dipakai VOC untuk memata-matai musuh dari Bali yang menyeberang melalui Selat Bali.

Juru kunci Situs Umpak Songo, Soimin, mengklaim, situs ini ditemukan oleh kakeknya, Nadi Gede, saat membabat hutan pada 1916. Kakeknya datang ke Muncar sebagai perantau dari Bantul, Jawa Tengah. Awalnya, Nadi Gede tak pernah tahu fungsi batu-batu itu. Namun ia mendapat jawaban ketika pada 1928 Pakubuwana datang ke Umpak Songo. ”Dari Pakubuwana, kami tahu bahwa ini bekas ibu kota Blambangan,” ujarnya.

Kondisi situs itu sangat memprihatinkan. Dari luas sekitar dua hektare, kini hanya tersisa seperdelapannya akibat terdesak oleh rumah-rumah yang dibangun keturunan Nadi Gede. Menurut Soimin, ada sekitar 20 kepala keluarga kerabatnya yang mendirikan rumah di sekitar situs.

Akan halnya Pelabuhan Ulupampang sampai kini tetap ramai sebagai pelabuhan ikan. Ada 18.039 nelayan yang bergantung pada pelabuhan ini. Pada 2009, nelayan di pelabuhan ini menghasilkan 32 ribu ton ikan, yang menjadikan Muncar sebagai pelabuhan ikan terbesar di Indonesia.

Karena wabah penyakit pula, akhirnya ibu kota Blambangan dipindahkan ke Banyuwangi. Bupati Wiraguna atau Mas Alit bersama rombongan pindah ke Banyuwangi pada 20 November 1774 tengah malam. Keesokan harinya, mereka tiba sekaligus menempati ibu kota kabupaten yang baru. ”Mas Alit menjadi Bupati Blambangan terakhir sekaligus Bupati Banyuwangi pertama,” kata sejarawan Margana. Keraton Mas Alit kini menjadi pendapa kabupaten. Sejak itu, Blambangan menjalani kehidupan baru sebagai daerah Islam bernama Banyuwangi.

Ika Ningtyas, Mahbub Djunaidi, Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus