Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyatakan segera menyediakan waktu untuk bertemu dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) guna membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP. Sejak Januari lalu, pimpinan KPK melayangkan surat untuk bertemu dengan Presiden karena RKUHP dianggap berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kamis pekan lalu, Jokowi memastikan pertemuan dengan pimpinan KPK bakal segera digelar di Istana Negara. “Kalau tidak minggu ini, minggu depan awal,” ujar Jokowi, Kamis, 22 Juni 2018. Sampai Jumat, pertemuan itu belum terlaksana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagaimana laporan majalah Tempo edisi 25 Juni 2018, tertulis perihal yang hendak disampaikan KPK kepada Jokowi, yakni delegitimasi korupsi sebagai extraordinary crime dalam perumusan tindak pidana pokok dalam Rancangan KUHP. Intisari delapan lembar surat yang diteken Ketua KPK Agus Rahardjo itu mengulas penolakan KPK atas proyek kodifikasi yang memasukkan delik korupsi ke Rancangan KUHP. “Ini akan melemahkan tindak pidana korupsi,” kata Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif.
Dalam surat itu, KPK menguraikan sepuluh alasan menolak keras rancangan undang-undang tersebut. Selain bakal melemahkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, alasan lainnya adalah RKUHP mencantumkan delik korupsi yang dianggap akan memandulkan KPK. “Ini langkah mundur pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat),” demikian salah satu pernyataan sikap KPK dalam surat itu.
Laode mengatakan, dalam Undang-Undang KPK disebutkan bahwa kewenangan KPK adalah menyelidiki, menyidik, dan menuntut tindak pidana korupsi, seperti diatur Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Dengan banyak delik korupsi pindah ke KUHP, apakah kami bisa melakukan kewenangan tersebut? Ini bisa menjadi persoalan dan bahan gugatan di pengadilan. Ini juga bisa menyulitkan pemberantasan korupsi," ujar Laode.
Penolakan atas rancangan ini juga disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil. Koalisi yang terdiri atas sejumlah lembaga pegiat antikorupsi ini menjaring dukungan publik di media sosial dengan membuat petisi berjudul "KPK dalam Bahaya. Tarik Semua Aturan Korupsi dari RKUHP”. Hingga pekan lalu, ribuan orang meneken petisi tersebut sebagai bentuk dukungan atas penolakan tersebut.
Menurut hasil kajian Indonesia Corruption Watch, salah satu anggota koalisi, ada 12 poin delik korupsi dalam Rancangan KUHP yang bisa melemahkan KPK. Termasuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi karena ada pengurangan hukuman badan dan denda bagi pelaku kejahatan ini.
KPK juga bakal tidak lagi bisa menindak kasus korupsi yang diatur dalam Rancangan KUHP karena kewenangannya hanya terbatas pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Ini ancaman serius,” ujar peneliti hukum ICW, Lalola Ester.
Ketua tim perumus pemerintah, Muladi, membantah bahwa rancangan itu dianggap bakal mengebiri upaya pemberantasan korupsi. Menurut dia, ada ketentuan Pasal 729 mengenai aturan peralihan yang menyebutkan, saat undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan bab tindak pidana khusus tetap dilaksanakan berdasarkan kewenangan lembaga seperti KPK. "Tidak ada maksud KUHP nantinya mengganggu kewenangan KPK," ucapnya. "Saya sendiri turut merancang Undang-Undang KPK, tidak mungkin mau menghancurkannya."
Anggota tim perumus pemerintah, yang juga guru besar hukum Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo, mengatakan ancaman pidana tindak pidana korupsi dalam Rancangan KUHP tidak bertujuan menguntungkan koruptor. Tim berpandangan ancaman pidana perlu pertimbangan yang rasional karena selama ini ketentuan pidana di Indonesia belum memiliki standar.
Anggota panitia kerja Rancangan KUHP DPR, Arsul Sani, mengatakan pembahasan Rancangan KUHP sudah 95 persen. Hanya ada 11 item yang tertunda pembahasannya, termasuk tindak pidana korupsi. "Tertundanya soal reformulasi saja,” tuturnya politikus Partai Persatuan Pembangunan itu.
Mengenai kekhawatiran rancangan itu bisa melemahkan pemberantasan korupsi, Arsul meminta KPK dan pihak lain menyampaikan secara resmi protes tersebut agar bisa difasilitasi. “Ini belum kami ketok. Pemerintah kan baru mengusulkan,” katanya.
LINDA TRIANITA | ANTON A. | REZKI A. | AHMAD FAIZ