Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mencari Aksara yang Hilang

Sebagai filolog, mengkaji naskah yang berasal dari tiga-empat abad yang lalu menjadi keasyikan tersendiri bagi Siti Maryam. Namun, sebagai orang Bima, ia masih terobsesi pada aksara Mbojo alias abjad asli Bima. Siti Maryam mengetahui adanya aksara Mbojo ketika pada 1987 ia menemukan selembar dokumen yang merupakan hasil dari laporan perjalanan Heinrich Zollinger ke Bima dan Sumbawa pada Mei-Desember 1847 di perpustakaan Museum Nasional di Jakarta. Dokumen tersebut berjudul Bahasa Bima yang Telah Hilang. Aksara Bima juga ditulis dalam buku Sir Thomas Stamford Raffles yang berjudul The History of Java (1878).

Siti Maryam semakin penasaran akan bahasa yang hilang itu setelah melihat relief yang terdapat pada situs Wadu Pa'a di Kampung Sowa, Soromandi, Kabupaten Bima. Ia mengĀ­amati relief Wadu Pa'a sebagian beraksara Palawa dan Sanskerta, tapi juga ada aksara lain. "Tahun 1989, saya menyurati Doktor Jacobus Noorduyn, peneliti dan dosen Universitas Leiden, Belanda, menanyakan soal naskah yang dituliskan dengan aksara Bima untuk diterjemahkan," ujar Siti Maryam. Ternyata, setahun kemudian, malah Noorduyn datang mengunjunginya dengan membawa fotokopi dokumen yang aslinya ditulis di atas lontar yang tersimpan di KITLV. Noorduyn yang ahli bahasa dan aksara Bugis itu tidak bisa membaca dokumen tersebut.

17 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai filolog, mengkaji naskah yang berasal dari tiga-empat abad yang lalu menjadi keasyikan tersendiri bagi Siti Maryam. Namun, sebagai orang Bima, ia masih terobsesi pada aksara Mbojo alias abjad asli Bima. Siti Maryam mengetahui adanya aksara Mbojo ketika pada 1987 ia menemukan selembar dokumen yang merupakan hasil dari laporan perjalanan Heinrich Zollinger ke Bima dan Sumbawa pada Mei-Desember 1847 di perpustakaan Museum Nasional di Jakarta. Dokumen tersebut berjudul Bahasa Bima yang Telah Hilang. Aksara Bima juga ditulis dalam buku Sir Thomas Stamford Raffles yang berjudul The History of Java (1878).

Siti Maryam semakin penasaran akan bahasa yang hilang itu setelah melihat relief yang terdapat pada situs Wadu Pa'a di Kampung Sowa, Soromandi, Kabupaten Bima. Ia mengĀ­amati relief Wadu Pa'a sebagian beraksara Palawa dan Sanskerta, tapi juga ada aksara lain. "Tahun 1989, saya menyurati Doktor Jacobus Noorduyn, peneliti dan dosen Universitas Leiden, Belanda, menanyakan soal naskah yang dituliskan dengan aksara Bima untuk diterjemahkan," ujar Siti Maryam. Ternyata, setahun kemudian, malah Noorduyn datang mengunjunginya dengan membawa fotokopi dokumen yang aslinya ditulis di atas lontar yang tersimpan di KITLV. Noorduyn yang ahli bahasa dan aksara Bugis itu tidak bisa membaca dokumen tersebut.

Setelah dilakukan penelitian, ternyata ada kecocokan antara aksara artefak Wadu Pa'a, dokumen yang dibawa NoorĀ­duyn, dan dokumen dari laporan Zollinger. Itulah aksara Mbojo yang hilang. Noorduyn membawa temuan itu kembali ke Belanda untuk dikaji lagi. Sayangnya, sebelum sempat membuat buku tentang aksara Mbojo, pada 20 April 1994 NoorĀ­duyn meninggal. Siti Maryam datang ke Belanda untuk menanyakan adakah hasil penelitian Noorduyn tentang aksara Bima yang bisa dia dapatkan. Ternyata nihil. Siti lantas melakukan penelitian sendiri. Akhirnya, ia berhasil mengurutkan huruf demi huruf aksara Mbojo. Dibanding 26 huruf dalam abjad Latin, aksara Mbojo tidak memiliki huruf q, v, x, dan z.

Perempuan kelahiran 13 Juni 1927 ini mengaku menemukan pengalaman unik selama menerjemahkan aksara Mbojo. "Beberapa huruf hampir sama, misalnya mi dan da atau pu dan ga, sehingga mungkin saya salah tulis. Ada tiga-empat huruf yang tidak dipakai dalam aksara Bima, sehingga saya tidak tahu ucapannya," ujar Siti Maryam.

Butuh waktu yang lama sampai aksara Mbojo siap dideklarasikan. Beruntung, Bima menjadi tuan rumah penyelenggaraan Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara XI pada 26-28 Juli 2007. Pada saat itulah Siti Maryam mengumumkan penemuan aksara Mbojo. Sejak saat itu, ia giat melakukan sosialisasi aksara Mbojo dan menerjemahkannya ke bahasa Indonesia. "Saya mengundang dosen, mahasiswa, dan masyarakat umum yang berminat mempelajari aksara Bima ke Museum Samparaja dan mendiskusikan aksara Bima dua-tiga kali seminggu," ujar doktor filologi Universitas Padjadjaran yang sempat menjadi lulusan doktor tertua di universitas itu pada 2010.

Meski tak banyak yang merespons upaya Siti menghidupkan aksara Mbojo, ternyata ada satu-dua orang yang mau menjadi muridnya. Adalah Munawar Sulaeman dan Syukri Abubakar yang membantu Siti Maryam memperkenalkan aksara Mbojo kepada masyarakat Bima. "Mengembalikan aksara Mbojo memerlukan waktu dan dana. Selain itu, masyarakat sudah tidak banyak yang ingin mengetahui sejarah, apalagi aksara. Saya kira aksara Bima ini tidak bisa dipakai untuk pesan pendek (SMS), pergaulan sehari-hari, atau untuk melamar pekerjaan," ujarnya.

Sepak terjang Siti Maryam ini mendapat apresiasi dari banyak kalangan. Sejarawan dan sastrawan Bima, N. Marewo, menyebut Siti Maryam sebagai sosok inspirator bagi generasi penerus di Bima. "Dia gigih dan telaten mempertahankan keberadaan peninggalan sejarah Kerajaan Bima. Banyak museum pemerintah yang memintanya menyerahkan koleksinya, tapi ia menolaknya mentah-mentah," kata Marewo. Menurut Marewo, itu karena Siti tahu bahwa banyak benda bernilai, begitu disimpan di museum pemerintah, justru hilang. "Bukan karena dicuri orang luar, melainkan dijual oleh pengurus museum tersebut," katanya.

Adapun Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bima Syafrudin menyebutkan jasa Siti Maryam dengan museum yang ia dirikan itu ialah banyak menyelamatkan benda sejarah yang ditemukan secara tidak sengaja oleh masyarakat. "WargaĀ­ yang menemukan itu telah melaporkanĀ­ teĀ­muĀ­Ā­annya ke instansi pemerintah. TaĀ­piĀ­, alih-alih mendapat kompensasi, dilihat saja tidak," ujar SyafĀ­Ā­rudin.

Akhyar H.M. Nur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus