Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara ketukan palu para pekerja yang sedang memperbaiki tempat penyimpanan naskah kuno tak mengganggu pertemuan rutin mingguan itu. Siti Maryam, Syukri Abubakar, dan Munawar Sulaeman duduk berdiskusi di ruang tamu rumahnya. Mereka membicarakan topik yang sangat penting, yakni bagaimana memasyarakatkan aksara Mbojo.
Siti Maryam sejak 2007 getol mengajak siapa saja yang berminat mempelajari dan lebih mengenal aksara Mbojo. Ia mengundang mahasiswa, dosen, dan pegawai negeri untuk berdiskusi di rumahnya. Memang, aksara asli Bima itu sempat menghilang, terutama setelah Kerajaan Bima bersalin menjadi Kesultanan Bima, dengan sultannya memeluk agama Islam. Adalah sultan kedua Bima, Sultan Abil Khair Sirajuddin, yang menggalakkan penulisan buku catatan kesultanan dalam bentuk (huruf) yang dipercaya diridai Allah, yakni aksara Arab.
Syukri dan Munawar adalah mitra diskusi Siti Maryam yang paling setia. Syukri, 41 tahun, Dosen Kepala Pendidikan Agama Islam Institut Agama Islam Negeri Mataram, yang mengaku belajar aksara Mbojo dari nol, kini telah menjadi penerjemah atau penafsir aksara Mbojo yang bagus. Tak mengherankan kalau banyak peneliti dari perguruan tinggi dalam dan luar negeri yang mendatangi dan belajar aksara Mbojo kepada Syukri dan Munawar. Sayangnya, mereka belum berhasil melakukan kaderisasi untuk meneruskan keahlian tersebut.
"Orang Bima yang bisa membaca naskah aksara Mbojo itu banyak. Tapi sulit menemukan penafsir aksara Bima," kata Siti Maryam. Di rumahnya yang berfungsi sebagai ruang arsip itu, Siti menyimpan banyak naskah kuno Bima. Ada 121 kitab dan lebih dari 2.000 lembar naskah terpisah. Naskah kuno Bima umumnya ditulis menggunakan huruf Arab (Jawi) dan dalam tiga bahasa: Arab, Melayu, dan Mbojo. Dia berharap pemerintah ikut memperhatikan upaya mengalihbahasakan naskah kuno itu karena tidak semua orang paham membaca huruf Arab. Siti Maryam sendiri secara swadaya melakukan pengalihbahasaan terhadap naskah-naskah kuno itu sejak 2012.
"Kalau tidak, perlahan khazanah budaya dan naskah kuno akan hilang," kata Munawar, 40 tahun, juga dosen di IAIN Mataram. Bukan hanya transliterasi yang harus dilakukan terhadap naskah-naskah kuno berbahasa Arab itu, aksara Bima sendiri perlu dimasyarakatkan, setidaknya bagi orang-orang Bima. Memang, diakui SyukĀri, pengetahuan orang Bima terhadap aksara Bima sangat minim. Syukri mengatakan, sejak aksara Mbojo dideklarasikan penemuannya, banyak orang yang bertanya-tanya. Pertanyaan yang sering terlontar adalah mengapa baru sekarang aksara Mbojo ini diungkapkan dan seperti apa bentuknya. Untuk memberikan penjelasan yang menyeluruh tentang aksara Mbojo itu, Siti Maryam meminta Syukri dan Munawar membuat buku.
"Kami berdua sebenarnya sangat awam dengan aksara Bima ini, tapi Bunda MarĀyam mendorong kami untuk belajar sedikit demi sedikit," kata Syukri. Walhasil, buku tersebut baru dapat terselesaikan setelah dilakukan penyusunan selama lima tahun. Buku setebal 151 halaman berjudul Aksara Bima: Peradaban Lokal yang Sempat Hilang itu dicetak pada awal 2013. "Buku ini secara umum menginformasikan sejarah Kerajaan Bima, sejarah penemuan aksara Bima, dan bentuk aksara Bima beserta contoh penulisannya," ujar Syukri.
Buku tersebut diperuntukkan bagi pelajar sekolah menengah umum dan mahasiswa. Namun Syukri berharap aksara Bima dapat dikenal oleh masyarakat lebih luas. "Caranya bisa dengan memasukkan pelajaran aksara Bima sebagai muatan lokal di sekolah dasar. Syukri juga menginginkan papan nama jalan dan nama kantor pemerintah, sekolah, dan fasilitas umum menggunakan aksara Bima. Tapi semua itu masih belum terwujud karena, menurut dia, pemerintah belum menaruh perhatian benar.
Akhyar H.M. Nur (Bima)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo