Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Lapangan Sera Suba, Bima, Sumbawa,Ā Nusa Tenggara Barat, Festival Keraton Nusantara IX dibuka. Pada Ahad pertama September lalu itu, di sisi utara lapangan tersebut dibangun panggung yang cantik dan penuh warna. Di atasnya duduk dengan anggun 47 sultan dan raja se-Nusantara yang menjadi tamu kehormatan. Satu-satunya anggota Forum Komunikasi dan Informasi Keraton Nusantara (FKIKN) yang tak hadir justru pemimpin Kesultanan Bima sendiri. Singgasana Sultan Dana Mbojoāberarti Tanah Bimaāitu lowong sejak Ferry Zulkarnaen bin Abdul Kahir II, sultan ke-16, wafat pada 26 Desember 2013.
Bertindak sebagai pengganti sementara Sultan adalah Ketua Majelis Hadat Sara Dana Mbojo, Siti Maryam Rahmat binti Muhammad Salahuddin, 87 tahun. Siti MarĀyam, yang bergelar Ina Ka'u Mari, adalah anak nomor dua Sultan Muhammad Salahuddin (sultan ke-14, memerintah pada 1915-1951) dari istri keduanya, Siti Aisyah binti Sultan Muhammad Sirajuddin.
Di panggung kehormatan itu, Siti MarĀyam yang mengenakan baju hitam duduk diapit oleh Ketua FKIKN Gusti Raden Ayu Koes Murtiyah dan Sekretaris Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat M. Nuh. Siti dikenal sebagai filolog yang meneliti aksara Bima yang hilang. Dia memiliki lembaran-lembaran naskah kuno asli Bima bernama Bo Sangaji Kai (buku catatan Raja-raja Bima).
Naskah sebanyak dua peti itu disimpannya di rumahnya yang sederhana di Jalan Gajah Mada 29, Lingkungan Karara, Kelurahan Monggonao, Bima. Rumah ini bersebelahan dengan Museum Kebudayaan Samparaja. Tatkala Tempo berkunjung ke sana dua bulan lalu, di halaman rumah Siti MarĀyam terlihat peralatan pertukangan yang berserakan. Di dalam, di ruang tamu yang berukuran 10 meter persegi, empat tukang kayu sibuk memperbaiki aneka tempat penyimpanan: rak, lemari, dan bingkai-bingkai kayu. Di atas meja besar berukuran 2 x 2 meter tergeletak bermacam naskah tua dari abad ke-17, baik yang berupa lembaran maupun yang telah dijilid.
Rumah yang dihuni Siti Maryam itu mirip dengan gedung arsip. Di situlah pendiri dan pengelola Museum Kebudayaan Samparaja ini menyimpan dan merawat 121 kitab dan lebih dari 2.000 lembar manuskrip dari abad ke-17 hingga ke-18 sebagai koleksi pribadinya.
Bima adalah salah satu daerah di Indonesia yang dulu memiliki kerajaan. Secara de jure, Kesultanan Bima sudah berakhir sejak terbit Undang-Undang Negara Indonesia Timur (UU Nomor 44 Tahun 1950) sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar, dengan terbentuknya Daerah Tingkat II Bima.
Henri Chambert-Loir, 69 tahun, peneliti Prancis dari Sekolah Prancis untuk Timur Jauh (Ecole Francaise d'Extreme Orient/EFEO), menyebutkan umur Kerajaan Bima sangat tua. "Paling tidak keberadaannya sudah ada pada abad ke-10. Lalu disebutkan dalam daerah-daerah yang 'ditaklukkan' oleh Majapahit pada akhir abad ke-14, kemudian diislamkan oleh Makassar pada awal abad ke-17 dan menjadi kesultanan," ujar Chambert-Loir, yang banyak meneliti tentang sejarah Bima dengan menulis beberapa buku, di antaranya Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah (2004) serta Iman dan Diplomasi: Serpihan Sejarah Bima (2010).
Menurut Chambert-Loir, nama Bima tidak diketahui asalnya dalam sejarah. Namun, dia melanjutkan, orang Bima selalu mengaitkan asal-usul kata itu dengan tokoh Bima dalam cerita Mahabharata. "Ada cerita yang judulnya Hikayat Sang Bima yang konon berupa saduran dari sebuah lakon wayang Jawa yang menceritakan bagaimana tokoh Sang Bima pergi dari Pulau Jawa ke Sumbawa dan mendirikan Kerajaan Bima," tulis Chambert-Loir dalam surat elektronik menjawab Tempo. Chambert-Loir menulis tentang Hikayat Sang Bima itu dalam bukunya, Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah (2004).
Hikayat Sang Bima merupakan karya sastra yang dihasilkan seorang dalang Melayu yang tinggal di Bima bernama Wisamarta. Diperkirakan dia menulis hikayat itu pada masa Raja Bima Hasanuddin (memerintah pada 1696-1731). Menurut Chambert-Loir, dalam pengantar buku itu, Hikayat Sang Bima merupakan perpaduan antara cerita para Pandawa dan tradisi Bima tentang asal-usul kerajaan. Meskipun tidak lengkap, hikayat ini cukup penting dalam penyebaran tradisi pewayangan dan karya sastra Melayu yang bersifat sejarah.
Dalam buku Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah itu juga terdapat naskah lain yang dialihbahasakan Chambert-Loir dari empat naskah kuno berbahasa Melayu dan berhuruf Jawi, yakni Cerita Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-dewa. Isi Cerita Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-dewa berupa mitos asal wangsa raja Bima. Chambert-Loir mengutip pendapat Heinrich Zollinger, ahli botani asal Swiss yang berkunjung ke Bima pada 1847, yang mengatakan bahwa cerita itu merupakan campuran kacau dari berbagai dongeng dan legenda yang ditimba dari aneka ragam sumber.
Cerita asal-usul keturunan Raja Bima juga terekam dalam naskah kuno Bo Sangaji Kai. Chambert-Loir memanfaatkan naskah-naskah Bo Sangaji Kai milik Siti MarĀyam. Mengetahui Siti memiliki dua peti naskah Bo Sangaji Kai, Chambert-Loir begitu bersemangat untuk menelitinya. Selama lima tahun kemudian Chambert-Loir dan Siti Maryam mengalihbahasakan naskah itu. Hasilnya sebuah buku Bo Sangaji Kai (Catatan Kerajaan Bima) selesai dibuat dan terbit pada 1999.
Dalam bab pendahuluan buku itu disebutkan Bo Sangaji Kai sebagai dokumen arsip Kerajaan Bima yang terpenting di antara berbagai jenis bo yang lain, seperti Bo Bicara Kai, Bo Bumi Luma Rasana'e, dan Bo Kadi. Bo, konon, berasal dari kata Belanda boek (buku). Tradisi menulis buku ada kemungkinan diwarisi orang Bima dari Bugis dan Makassar karena telah berkembang tradisi histografi yang khas berupa lontara bilang, yakni buku catatan yang sangat rinci yang ditulis di istana raja atau di rumah para pembesar. Dalam ingatan orang Bima sekarang, tradisi menulis bo dimulai oleh Perdana Menteri Rumata Makapiri Solo setelah mempelajari sistem pemerintahan dari Kerajaan Gowa dan Luwu.
Menurut Siti Maryam, Bo Sangaji Kai semula ditulis dalam aksara Mbojo alias abjad Bima di atas daun lontar. Namun, ketika Kerajaan Bima bersalin menjadi kesultanan, sultan kedua, Abil Khair Sirajuddin, pada 15 Muharam 1055 (13 Maret 1645) memerintahkan agar bo ditulis di atas kertas dengan memakai bahasa Melayu dengan rupa tulisan yang diridai Allah taala. Peristiwa yang dicatat dalam Bo Sangaji Kai ini terjadi pada 1606-1860, tapi kebanyakan selama periode relatif yang singkat, yaitu antara 1756 dan 1824, yang berarti selama pemerintahan tiga sultan berturut-turut, dari Sultan Abdul Kadim (sultan ketujuh, memerintah pada 1751-1773), Sultan Abdul Hamid (1773-1817), hingga Sultan Ismail (1817-1854).
"Sebulan terakhir kami sibuk melakukan perbaikan dan pemeliharaan naskah kuno yang berasal dari tahun 1640 hingga 1642. Kebanyakan naskah itu berasal dari dokumen kerajaan dari sultan kedua Kesultanan Bima, Sultan Abil Khair Sirajuddin," kata Siti Maryam.
Siti Maryam bangga dengan koleksi manuskripnya itu, yang ia kumpulkan dari banyak tempat. Naskah kuno itu ada yang berasal dari Mesir, Arab, dan Eropa. Selain itu, banyak koleksi yang ia dapatkan dari masyarakat Bima, yang sebagian menyerahkannya secara sukarela untuk dirawat oleh Siti. Menurut pengakuan Siti, sejak 1986, sering dijumpai masyarakat yang menjual naskah kuno, terutama kepada pihak asing. Sebagian besar pemilik manuskrip ini adalah masyarakat ekonomi lemah. Selain itu, mereka tidak tahu dan menganggap naskah lama tersebut hanya tumpukan kertas yang tak berguna.
Banyak cara yang dipakai Siti Maryam untuk mendapatkan naskah-naskah kuno dari masyarakat Bima. "Kadang saya menukar naskah kuno itu dengan Al-Quran cetakan masa kini. Suatu ketika juga saya barter dengan beras atau padi. Tak sedikit pula uang yang saya keluarkan untuk membeli," ujar Siti Maryam, yang mengaku lupa berapa jumlah uang untuk membeli naskah kuno itu.
Naskah-naskah kuno itu memuat berbagai ilmu pengetahuan dan sejarah Bima; hukum adat dan hukum Islam yang diterapkan di Bima; ilmu tasawuf, pertanian, kelautan, perbintangan, pengobatan, psikologi, hubungan dengan pihak lain dan pedagang dengan negeri asing; serta hikayat. Salah satu koleksi yang terbilang menjadi andalan adalah Kitab La Nonto Gama, yakni kitab-kitab Al-Quran yang ditulis tangan, yang merupakan peninggalan langsung Kesultanan Bima. Dari pengujian terhadap kertas yang dipakai, diketahui naskah-naskah kuno itu berasal dari abad ke-16 hingga ke-18.
"Saya akan terus berusaha mengumpulkan naskah untuk bisa diwariskan dan dipelajari oleh generasi selanjutnya. Bukan untuk membanggakan kejayaan masa lalu, melainkan untuk ilmu pengetahuan," Siti Maryam menuturkan.
Kepedulian dan kecintaan Siti Maryam terhadap naskah kuno Bima bermula pada 1984. Ketika itu pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat sedang menyiapkan penyambutan Pangeran Bernhard dari Belanda. Sebagai satu-satunya keturunan langsung Sultan Bima, Siti diminta menyiapkan benda pusaka kesultanan untuk dipamerkan kepada suami Ratu Juliana itu. Siti pun mengeluarkan beragam benda pusaka, seperti senjata, perhiasan emas, dan permata. Namun ia merasa tidak puas, seperti ada yang kurang.
Lalu Siti Maryam membongkar lemari-lemari penyimpanan yang ada di Asi Mbojo, Istana Sultan Bima, dan menemukan banyak naskah lama. Ternyata naskah-naskah kuno itu merupakan buku catatan Sultan Bima yang dinamai Bo Sangaji Kai. Ada banyak lembaran tulisan tangan dalam bahasa Melayu dan beraksara Jawi (Arab) yang bercecer di banyak tempat penyimpanan dan halaman-halaman yang tak tersusun secara berurutan. Jumlah naskah yang dikumpulkan Siti Maryam mencapai 2.000-an lembar. Bo Sangaji Kai akhirnya ikut dipamerkan bersama benda pusaka kesultanan lain dan ternyata lebih mendapat perhatian Pangeran Bernhard.
Pertanyaan sang pangeran tentang upaya antisipasi apa yang telah dilakukan terhadap naskah kuno yang sangat berharga itu membuat Siti Maryam terkejut. Ternyata dia belum melakukan apa-apa untuk konservasi Bo Sangaji Kai. Justru kepedulian terhadap pelestarian budaya Bima datang dari orang asing. Sejak saat itu, muncul gagasan Siti untuk membangun museum, tempat penyimpanan dan pemeliharaan naskah kuno dan benda-benda pusaka Kerajaan Bima. Langkah pertama adalah membentuk Yayasan Museum Kebudayaan Samparaja Bima pada 1985. Siti ĀMarĀyam pun menjadi ketua yayasan tersebut.
Upaya konservasi terhadap naskah kuno menjadi prioritas kerja yayasan. Dengan bantuan Arsip Nasional Republik Indonesia, pada 1987 mulai dilakukan pengĀawetan dengan cara laminasi secara bertahap semua koleksi naskah kuno. Sekitar 2.500 lembar naskah telah dapat dilaminasi sehingga bisa bertahan selama 50-100 tahun. Langkah selanjutnya adalah menyediakan tempat penyimpanan. Semula hendak dibangun museum khusus untuk menyimpan naskah kuno. Tapi, setelah berkonsultasi dengan Direktorat Permuseuman, disarankan untuk membangun museum etnografi.
Pembangunan gedung dimulai pada 1990 dan dibuka secara resmi lima tahun kemudian pada 10 Agustus 1995. Pada 1990, Siti Maryam, dengan bantuan sahabatnya, filolog dan dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia, mendiang Rujiati S. Wulan Mulyadi, berhasil menerbitkan katalog naskah kuno Bima berjudul Katalogus Naskah Kuno Bima jilid pertama. Dua tahun kemudian, jilid kedua pun terbit.
Akhyar H.m. Nur (Bima), Ratnaning Asih, Dody Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo