Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anne de Gijff, perancang busana yang tinggal di Amsterdam, terkejut ketika saya mengatakan bahwa ini festival puisi terakhir di Maastricht. Menurut dia, puisi jauh lebih tua dibanding sastra, bagaimana festival puisi bisa berakhir? Berita ini saya peroleh dari Rouke van der Hoek (salah seorang kurator Maastricht International Poetry Night, Bas Belleman, sebagai direkturnya). Festival yang berlangsung sejak 1997 ini memang beberapa kali sempat terputus. Festival ini pernah menghadirkan pemenang Nobel, seperti Seamus Heaney dari Irlandia, Wilma Stockenstrom dari Afrika Selatan, dan Gerrit Kouwenaar dari Belanda.
Acara berlangsung di Theatre La BonbonniĆØre, di tengah pusat Kota Maastricht, 30 Oktober-1 November 2014. Menurut Van der Hoek, pemerintah kota akan lebih memberi ruang untuk perubahan puisi melalui media digital, animasi, dan sejenisnya. Mendorong penggunaan puisi melalui teknologi. Tapi, di sisi lain, pemerintah kota juga tidak mendukung perkembangan puisi slam. Genre puisi ini kian berkembang sebagai salah satu subkultur urban untuk generasi muda di kota-kota besar. Saya menduga tindakan ini terkait dengan usaha pemerintah kota memutus mata rantai jalur narkotik yang merembes melalui budaya pop. Kota tua di Belanda yang indah ini, yang masih menyisakan situs-situs Abad Pertengahan dan budaya Romawi, memang kian dikembangkan sebagai kota internasional untuk industri dan keuangan.
Apa yang terjadi dengan puisi ketika pemerintah mendorong suprastruktur kota ke arah perubahan puisi melalui teknologi? Bagaimana nasib bahasa tanpa puisi? Keberanian pemerintah kota membuat perubahan seperti ini penting untuk sebuah pertanyaan: apakah kita masih membutuhkan puisi? Penyair yang hadir dari beberapa negara dalam festival ini (Belanda, Jerman, Irlandia, Kanada, Brasil, Inggris, Indonesia, Belgia, dan Swedia) saya kira tidak berada dalam kapasitas untuk menjawabnya dalam arti: saya ragu ada penyair yang berpendapat "puisi memang sudah tidak penting". Oke.
Saya ingin memulainya dari penyair paling tua dalam festival ini: K. Schippers, lahir di Amsterdam pada 1936. Puisinya, Telforts droom, misalnya, hanya berisi dua baris: Harap tunggu. Kami akan berbicara kepada Anda sesegera mungkin, yang ditulis berulang-ulang, seperti soneta yang macet. Puisi yang menggambarkan badai komunikasi yang dialami generasi masa kini. Bandingkan dengan puisi Ulf Karl Olov Nilsson (Swedia, 1965). Puisinya, Levend begraven, berbicara tentang pekerjaan seorang-aku yang dilakukan setiap hari, tapi tetap seperti seorang yang telah dikubur hidup-hidup. Setiap akhir baris puisinya ditutup dengan pernyataan, tapi aku dikubur hidup-hidup: bahwa aku bukan mayat, tapi aku dikubur hidup-hidupā¦ di sini dan hidup.
Sementara puisi Schippers berbicara tentang badai komunikasi-aku, Olov Nilsson berbicara tentang badai mutasi-aku. Aku yang terus berpindah dari pekerjaan satu ke setting lain, tapi terkubur hidup-hidup dalam pekerjaan dan setting-setting-nya. Schippers membaca puisinya dengan gaya megalomania tua dan Olov Nilsson membacakannya sebagai seorang psikoanalisis yang gila. Nilsson memang juga bekerja sebagai psikolog dan psikoanalis. Energi kemarahan dan energi kebinatangan dibiarkan lepas dalam kontrol emosi yang kuat saat ia membacakan puisi.
Penyair berusia paling muda dalam festival ini adalah Caleb Klaces. Ia lahir di Birmingham, Inggris, pada 1983, berbeda 47 tahun dengan Schippers. Klaces bekerja sebagai editor puisi online, Starlings. Puisinya, Overgeschilderd: Aya Sofia, berbicara tentang lukisan, manusia sebagai kilatan cahaya dalam film, warna-warna yang dibawa oleh agama dan tubuh Kristus, hingga ke sandal jepitnya. Puisi yang tidak lagi memperlihatkan "badai aku" dalam proses eksistensi yang dialami. Puisi di mana aku hadir lebih sebagai aku-yang-melihat situs-situs representasi dari lukisan, cermin, potret, film, sampai Kristus yang disalib. Aku yang kini tidak lebih dari kilatan cahaya dalam film yang terus berlalu.
Aku yang kian menempuh ruang identitas baru juga terlihat pada puisi David O'Meara dari Kanada. Puisinya, Niks bijzonders, berbicara tentang ego yang telah pindah ruang ke dalam Internet. Ego yang digambarkan seperti tangan menggeliat dalam cahaya. O'Meara termasuk salah seĀorang juri untuk Griffin Poetry Prize di Kanada. Sebaliknya dengan Ricardo DomeĀneck (Brasil, 1977), yang menghadirkan penyair sebagai sosok pucat dalam puisinya, Lang leve de zuivere poĆ«zie; memilih akar pahit, menjaga kemurnian bahasa, seperti burung yang bernyanyi tanpa nama. Penyair ini juga hidup sebagai seniman dan kritikus. Kini ia tinggal di Berlin sebagai editor majalah online, Modo de Usar & Co. Ia melengkapi fenomena semakin banyaknya penyair yang bergerak dalam dunia Internet.
Apakah puisi kian menjadi sama dengan pertanyaan: siapakah menjadi apakah aku? Annemieke Gerrist (1980), penyair asal Belanda yang juga bekerja sebagai seniman desain visual, dalam puisinya, Een man ziet een vrouw en valt in slaap, aku-lirik dilihat tidak lagi berbeda dengan perabotan rumah tangga. Puisinya ini berbicara tentang dunia domestik kehidupan perempuan yang disamarkan antara kucing berjalan dan mesin cuci yang juga berjalan. Aku-lirik sebagai perabotan juga bisa dilihat pada puisi Hans Tentije (Beverwijk, 1944). Puisinya, Waar en bij wie, berbicara tentang kehidupan perabot dalam rumah dari membongkar, berkarat, bau yang diusir dan datang lagi, cermin yang pindah ke dalam aku, potĀret, kunci yang terjebak, dan ruang bawah tanah untuk membebaskan rahasia.
Atau pada puisi Marion Posch Mann (Essen, Jerman, 1969), Zelfportret als Innocentius (naar Bacon), yang berbicara tentang seorang-aku di antara tanaman, bahan baku, kamar, rak-rak pendingin supermarket dan apotek. Seorang-aku yang adalah tidak seperti aku, tapi mirip dengan mereka. Lalu berpikir tentang cahaya yang jatuh. Dan mungkin cahaya itu memang jatuh. Kata mungkin untuk tidak ada lagi yang bisa dipastikan.
Posch Mann mempelajari cukup banyak bidang: bahasa dan sastra Jerman, filsafat, segala hal tentang Slavia, juga menulis beberapa novel. Puisinya seperti memindahkan dunia eksternal ke ruang internal tempat cahaya dan warna mendapatkan kelembutan baru. Atau menjadi pengosongan atas suara dan ruang untuk mendapatkan bayangan gema pada puisi Anne Penders (penyair yang lahir di Belgia, 1968). Penders juga hidup sebagai seniman dan sejarawan seni, bekerja dengan media film dan radio. Penyair ini banyak melakukan perjalanan, termasuk ke Timor Leste. Puisinya banyak memainkan imaji sebagai gema hingga ruang mendapatkan vibrasinya. Puisinya, Suara dari Laut (Het geluid van de zee), misalnya, ditutup dengan membuka ruang baru sebagai gema: Mendengar suaramu, gema langkahmu, rongga dalam ronggaā¦. Inti dari cara-cara lama. Puisi Penders sebagian besar minimalis. Dalam salah satu puisinya, ia menyebutnya sebagai: Wilayahku adalah pidato tanpa suara.
Pieter Boskma (1956) satu-satunya penyair dari Belanda yang masih punya hubungan kenangan dengan Indonesia. Beberapa kali ia mengunjungi Sumatera dan Jawa pada 1980-an, karena istrinya keturunan Indonesia. Puisinya, Tijding (2002), berbicara tentang perang, banjir, ikan-ikan yang berlibur dari sungai dan menangisi laut, serta air yang menghilang di antara rasa haus yang bertahan lebih lama. Kumpulan puisinya, Doodsbloei en Mensenhand, mendapatkan Gerhardt Poƫzieprijs.
Kehadiran Pieter Boskma dalam festival ini membawa suasana Indonesia-Belanda yang khas. Lebih lagi festival dibuka dengan makan malam di sebuah restoran Indonesia, Gadjah Mas. Dalam beberapa perjalanan singkat di kota ini, saya sempat melihat Toko Senang Hati, Toko Bandung, dan De Klapperboom dari Indonesia. Atau beberapa komunitas Indonesia di sekitar Kruisstraat dan Haspengouw. Sebagian dari mereka adalah generasi yang lahir di sana. Di Hotel van der Valk, tempat semua peserta menginap, sebagian pekerjanya berasal dari Indonesia: Parepare dan Maluku. Salah satu di antara mereka, sambil menghentikan sepedanya di Kruisstraat, sempat mengatakan kepada saya: "Saya ingin mati di Indonesia. Jangan di sini. Jangan di sini." Kami pun berpisah dan ia mengayuh sepedanya pergi.
Ucapan lelaki bersepeda yang tidak sempat memperkenalkan namanya itu saya rasakan mampu menerjemahkan jarak sejarah yang jauh antara saya dan dirinya. Penerjemahan yang berbeda jauh dari migrasi sejarah dengan migrasi online yang dialami generasi kini (seperti dialami sebagian penyair dalam festival ini). Atau dibandingkan dengan migrasi bahasa yang melibatkan banyak penerjemah, seperti Bart Vonck, Peter Boreas, Liesbeth Huyer, Kiki Coumans, Erik de Smedt, Siti Wahyuningsih, dan Albert Hagenaars: Mereka bekerja memindahkan sema puisi dalam festival ke bahasa Belanda. Dan Ineke Holzhaus, penulis teater dan penyair, membacakannya dalam bahasa Belanda.
Penyair lain yang hadir adalah Nick Laird (County Tyrone, Irlandia, 1975), Peer Wittenbols (Bergen op Zoom, 1965), Daan Cartens (Delft, 1958), Esther de Koning, Paul van Loon (1955), dan Benno Barnard (Amsterdam, 1954) membacakan esai "Tentang Puisi" dalam acara pembukaan festival.
Beberapa penyair menggunakan kematian untuk menerjemahkan kehidupan. Hans van de Waarsenburg (Helmond, 1943), dalam puisinya, Steenbij (Goede Willem II), berbicara tentang suara orang-orang mati yang menjadi kuil dalam ketidakhadirannya. Bertahan sebagai residu masa lalu, lalu bermetamorfosis menjadi apa pun, dan membangunkan yang masih hidup. Waarsenburg adalah penyair yang ikut mendirikan Maastricht International Poetry Night. Tapi apakah artinya puisi di masa kini? Oke. Dia masih menerjemahkan kematian dengan cara yang berbeda dari agama.
Afrizal Malna, penyair (Maastricht)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo