Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saban pukul dua hingga lima petang, Rusli bisa ditemui di salah satu sudut Toko Obat Bintang Selatan, Glodok, Jakarta Barat. Sudah lebih dari tiga dekade pria 84 tahun ini meĀnemĀĀpati ruangan seluas lima meter persegi terĀsebut. Di bilik periksa itulah pemilik nama asli Lie Tjhioe Min ini menerima pasien. Dia adalah sinse. "Kata itu dari bahasa Hokian, aslinya chong-i," ujar Rusli pada Selasa, 4 November lalu. Chong untuk TiongĀĀhoa dan i bermakna pengobatan. Artinya tabib Tionghoa. Ahli medis ini pantang memakai peralatan kedokteran dan harus menggunakan bahan alami.
Meski bahan obat alami yang ia resepkan itu dijual di toko obat tempatnya berpraktek, ia membebaskan pasiennya membeli di mana pun. "Saya tidak berkongsi dengan pemilik toko," katanya. Bentuk kerja sama ini lazim ditemukan di klinik pengobatan tradisional Cina mana pun. Seorang sinse membuka praktek berdampingan dengan toko obat, laiknya dokter dengan apotek.
Siang itu, sekitar pukul tiga, pasien pertama Rusli datang. Tidak ada resepsionis yang mencatat data ataupun asisten yang mendampingi ayah dua anak ini. Seorang pegawai toko mengetuk pintu kamar praktek dan memberi tahu kedatangan sang pasien. Masuklah pria paruh baya dengan membawa selembar kertas resep yang dulu pernah ditulis oleh Rusli. "Saya mau beli obat ini lagi, karena setelah meminumnya saya merasa lebih fit," kata Yohanes Lim Tjeng Kiak, menunjuk kertas bertulisan huruf hanzi Mandarin.
Huruf Tionghoa adalah ciri khas resep sinse yang memakai herbal asliābukan racikan yang dibubuhi bahan kimia. Meski saat ini sudah banyak obat ekstrak tumbuhan buatan pabrik, Rusli masih percaya pada keampuhan bahan asli. Bahan-bahan itu biasanya punya nama yang susah dilafalkan dalam bahasa Indonesia ataupun dituliskan dalam aksara Latin. Di antaranya Ti Chung dan Fhu Sie Ci dari akar-karan.
Berbekal resep lama Rusli, Yohanes bisa saja langsung ke toko dan menebus obat yang sama. Tapi ia merasa perlu mengetahui kondisi kesehatannya terakhir. Maka mampirlah ia ke pojok belakang toko. Pria 59 tahun itu bercerita bahwa nyeri pinggang yang dulu sering bertengger kini sudah reda. Gairah seksualnya juga kembali normal. Dua keluhan utama yang membuatnya dulu bertemu dengan Rusli.
Berbekal pemeriksaan dan resep oleh Rusli, Yohanes pulang dengan lima buntalan kertas. Satu bungkus berharga Rp 70 ribu, yang berisi lebih dari lima jenis daun dan biji-bijian. Tiap ramuan diminum satu kali periode, pagi dan petang. Aturan pakainya: lima gelas air direbus hingga tinggal segelas. Meski sudah diberi tahu caranya, ia tak patuh. Air lima gelas tetap ia jadikan lima gelas jamu. Hasilnya, obat itu seperti teh yang encer. "Jujur saya tidak taat, tapi ternyata tetap berkhasiat," ujarnya.
Gembira dengan efek tersebut, ia pun kembali. "Sebenarnya, kalau ditotal, biaya ke sinse lebih mahal daripada dokter. Tapi, karena bagus, saya teruskan," ujar Yohanes. Rusli tidak menentukan tarif, tapi biasanya pasien memberinya Rp 50 ribu, jauh lebih murah daripada biaya konsultasi ke dokter. Tapi obat untuk fit Rp 350 ribu itu memang jauh lebih mahal ketimbang harga vitamin.
Setelah pemeriksaan, Rusli menyatakan bahwa tubuh pasiennya itu memang membaik. Tapi, dari rabaan di pergelangan tangan kanan Yohanes, Rusli tahu pasiennya masih lemas. Rabaan adalah tahap terakhir dari pemeriksaan yang dilakukan Rusli. Mula-mula ia akan memandang kornea pasien, mengamati warna dan pembuluh darahnya. Dari mata, turun ke mulut. Pria asal Medan ini mengendus aroma mulut pasien. "Kalau ada bau tak sedap, bisa jadi ada masalah pencernaan," ujarnya. Supaya lebih pasti, ia melanjutkan dengan tanya-jawab dan mengakhiri dengan rabaan denyut jantung. Setelah selesai, pasien akan pulang dengan membawa ramuan tanaman dari negeri di Asia Timur itu.
Setidaknya ada 500 ramuan yang wajib dikuasai seorang penyembuh yang berpraktek dengan teknik pengobatan Cina.
Butuh 20 tahun bagi Rusli untuk bisa membuka klinik sendiri. Sejak memasuki kepala dua, ia sudah didapuk sebagai penerus sinse dalam keluarganya.
Dua dasawarsa ia digembleng kakeknya, Lie Sie Hian. "Bukan saya yang mau jadi sinse. Tapi, karena kakek melihat saya memiliki kepintaran dan kemauan, dia menarik saya," ujar kakek enam cucu ini. Dari dua bersaudara, hanya Rusli yang menunjukkan minat di dunia pengobatan. Ayah dan kakaknya memilih jadi pedagang. Melihat ada penerus, Engkong Lie pun berupaya mewariskan ilmu pengobatannya kepada Rusli. Namun, selama kakeknya masih hidup, Rusli tidak boleh menyentuh pasien ataupun menulis resep. Saban hari Rusli hanya mengamati dan mencatat keluhan pasien. Setelah umur mencecah 40 tahun, baru ia menangani pasien. "Itu karena Engkong sudah meninggal," kata pria tamatan Sutomo School Medan ini.
Ia merasa, meski 20 tahun berguru, ilmu belum cukup. Sembari berpraktek, pengetahuan tentang obat-obatan herbal diperdalam kepada salah satu sinse tertua di Medan, Hiu Kung Ngo. Setelah lima tahun menyerap materi dari Suhu Hiu, Rusli memberanikan diri merantau ke Jakarta.
Pada 1973, ia menyewa sepetak rumah di daerah Karang Anyar, Jakarta Pusat. Rupanya, ketika itu sudah ada 125 sinse di Jakarta. Atas inisiatif dinas kesehatan, para penyembuh ini diminta membuat organisasi profesi. Akhirnya, pada 1975, berdiri Ikatan Naturopatis Indonesia (Ikni), yang kini sudah memiliki cabang di sembilan provinsi.
Lewat wadah tersebut, hak-hak para sinse bisa diperjuangkan. Ini karena surat izin praktek yang dikeluarkan dinas kesehatan harus ada rekomendasi Ikni. Bahkan, pada 1980-an, sudah ada lembaga pelatihan sinse yang kurikulumnya diakui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ada syarat kompetisi dasar yang harus mereka miliki untuk menjadi sinse herbalis atau sinse tuina (pijat).
Di antara angkatan pertama pendiri Ikni, Rusli adalah sesepuh yang masih hidup. Matanya masih awas, kacamata baca digeletakkan di meja kerjanya sepanjang pemeriksaan dan percakapan. Jalan pun masih kukuh, tanpa alat bantu, meski tidak setegak anak muda. Tidak terlihat ada gangguan pendengaran, komunikasi berjalan dua arah tanpa jeda. Ingatannya masih bagus. Di rumah, Rusli hanya tinggal berdua dengan istrinya yang berusia 78 tahun. Mereka memasak, mencuci, dan membersihkan rumah sendiri. Anak dan cucu tinggal terpisah.
"Tidak ada rahasia, saya hanya berdisiplin dalam menjaga kesehatan," ucapnya. Saban pagi ia berjalan cepat hampir satu jam di sekitar perumahannya di daerah Jakarta Barat. "Saya masih bisa makan apa saja, asal tidak banyak," kata pria yang giginya masih utuh itu. Menjelang pukul 10 malam, bisa dipastikan ia sudah terlelap dan akan bangun pada pukul lima pagi. "Saya lakukan ini bertahun-tahun," ujar lelaki yang rambutnya sudah putih semua ini.
Rusli pernah menjadi Ketua Ikni pusat selama tiga periode. Ia sempat pula mengajar di lembaga pendidikan sinse pada awal pendiriannya. Itulah yang kini membuatnya mendapat gelar Ketua Kehormatan Seumur Hidup Ikatan Naturopatis Indonesia.
Inisiasi Rusli dan ratusan sinse tersebut sudah berhasil melipatgandakan jumlah penyembuh tradisional Cina. "Di Jabodetabek saja yang terdaftar hingga tahun ini ada 1.200-an," ujar Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Ikni Jakarta, David Sungahandra. Sebagai organisasi profesi, kelengkapan organisasi sudah setara dengan ikatan dokter. Sudah ada dewan etik, tapi belum ada kologium atau badan pengampu keilmuan.
Supaya tidak tertipu, David yang juga seorang sinse herbal ini menganjurkan pasien memastikan adanya izin praktek dan catatan keanggotaan Ikni. Pasien juga harus melihat bahwa sinse yang dikunjunginya memiliki surat yang dikeluarkan dari dinas kesehatan. Indikator selanjutnya adalah mampu berbahasa Indonesia dengan baik. Syarat berbahasa ini dimaksudkan agar sinse bisa mendengarkan keluhan pasien lokal tanpa salah pemahaman. Terakhir dan yang terpenting, kata David, "Harus masuk akal." Obat seharga puluhan juta rupiah yang menjanjikan kesembuhan dalam waktu singkat adalah hal yang mustahil.
Dianing Sari
Mempercayai Sinse
1. Izin Praktek
Memastikan adanya izin praktek dan catatan keanggotaan Ikatan Naturopatis Indonesia. Pasien juga harus melihat bahwa sinse yang dikunjunginya memiliki surat yang dikeluarkan dari dinas kesehatan.
2. Bahasa Indonesia
Sinse mampu berbahasa Indonesia dengan baik. Syarat berbahasa ini dimaksudkan agar sinse bisa mendengarkan keluhan pasien lokal tanpa salah pemahaman.
3. Masuk Akal
"Harus masuk akal". Obat seharga puluhan juta rupiah yang menjanjikan kesembuhan dalam waktu singkat adalah hal yang mustahil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo