Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Merapi dari Dua Versi

Petugas pos pengawas khawatir Merapi bakal meletus setiap saat. Tapi juru kunci yakin gunung berapi ini masih sehat.

17 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menjaga gunung berapi se-per-ti merawat bayi. Saat sang bayi pulas tertidur, si perawat bisa tenang beristirahat. Tapi ketika bayi rewel, dia pun tidak bisa tidur tenang. Begitu pula penjaga gunung berapi. Dia akan selalu gelisah jika gunung yang diawasinya mulai merengek.

Itulah yang dialami Ismail, petugas pos pengawas Gunung Merapi. Kegiatan gunung berapi paling aktif di dunia ini makin menjadi-jadi dalam sebulan terakhir. Statusnya terus meningkat dari waspada menjadi siaga sejak Rabu sore pekan lalu. Akibatnya, lelaki 48 tahun ini hanya bisa tidur satu atau dua jam se-tiap hari. Dia juga tak berani meninggal-kan posnya di Babadan, Kecamatan Dukun, Magelang, Jawa Tengah. Ber-sama- yuniornya, Triyono, 37 tahun, dia meng-habiskan hari-harinya di pos yang ber-jarak empat kilometer sebelah barat puncak Merapi.

Babadan merupakan satu dari lima pos pengamatan Merapi. Empat lainnya adalah Pos Kaliurang di Yog-yakarta, Pos Srumbung di Magelang, Pos Jrakah dan Pos Selo di Kabupaten Boyola-li.

Dalam keadaan biasa, status Gunung Merapi disebut aktif normal. Statusnya- akan disebut waspada jika terjadi pe-ning-katan gempa vulkanik dan gugur-an lava. Status siaga seperti saat ini di-tetapkan karena gempa dan guguran lava terus- meningkat disertai penggembungan ku-bah magma yang terus menuju puncak. Nah, jika aktivitas itu terus meningkat, statusnya menjadi awas Merapi.

Menurut Ismail, peralatan di Pos Ba-badan cukup memadai. Di sana ada te-ropong, alat pengukur curah hujan, peng-ukur getaran bumi atau seismograf, electro-optical distance measurement, alat komunikasi radio, dan lampu sorot. Seluruh peralatan itu sangat bergantung pada tenaga listrik dari PLN. Sial-nya, PLN sering melakukan pemadam-an listrik. ”Kalau listrik mati, otoma-tis pencatat gempa akan mati. Hanya alat komunikasi yang bisa dipakai dengan tenaga aki,” kata ayah tiga anak ini.

Toh, Ismail tak selalu bergantung -pada- peranti modern untuk mengetahui- kondisi Merapi. Seperti yang terjadi di tengah wawancara Tempo, ketika tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari arah- lambung Merapi. Dengan cepat ia bisa me-nebaknya. ”Ah..., paling gempa. -Nggak apa-apa, tidak akan sampai sini,” kata Ismail tenang. Benar saja, saat me-nengok pencatat getaran, gemuruh itu muncul dari gempa kecil kekuatan 2,3 skala Richter.

Kepekaan itu dimiliki Ismail setelah 20 tahun menekuni pekerjaannya. Be-ker-ja sebagai penjaga gunung menjadi obse-si- hidupnya. Lahir dan besar di Desa Krinjing yang berjarak dua kilometer dari Pos Babadan, Ismail punya pengala-man yang terus membekas saat Merapi- mengalami batuk dan muntah pada 1960-an. Selamat dari peristiwa letusan itu, muncul keinginan Ismail menjadi penjaga Merapi.

Lulus Sekolah Teknik Menengah 30 tahun lalu, dia langsung melamar be-kerja ke Badan Geologi Bandung. Ja-ngankan diterima, dipanggil untuk se-leksi pun tidak. Dia tidak putus asa. Setiap ada pengumuman lowongan, dia se-lalu mengajukan lamaran. ”Hingga sa-ya- meni-kah dan punya anak, saya masih terus me-lamar,” kata Ismail. Cita-cita itu tak pernah surut meski dia telah meng-hi-dupi keluarganya dengan be-kerja- serabut-an. Terkadang ikut menambang pasir, jadi kernet truk, dan sesekali membuat jok kursi.

Seperti menyimpan cinta yang tiada pernah padam, Ismail terus meminang lowongan pekerjaan hingga tahun kese-puluh. Kali ini lamarannya diterima. Se-lama dua tahun dia harus menjalani pe-kerjaan itu sebagai tenaga honorer, hing-ga akhirnya diangkat sebagai pegawai negeri sipil golongan II A.

Pengalaman yang tidak pernah ia lupa-kan adalah saat Merapi menyemburkan awam panas, lima tahun lalu. Keti-ka itu semua anggota keluarganya harus me-ngungsi dari rumahnya yang berjarak dua kilometer dari tempat kerja-nya, se-men-tara Ismail harus tetap berada di pos pengamatan untuk me-laksa-nakan tugas-. ”Untung-nya, semua ke-luar-ga sela-mat. Sementara saya harus tetap berada di sini untuk melaporkan setiap perkembangan yang ada,” kata-nya.

Ismail terus mengisap rokok kretek di-temani secangkir kopi. ”Biar tetap bisa melek,” katanya. Memang ada tambahan sedikit dana operasional untuk membeli kopi dan gula. Tapi tak ada tambah-an uang lembur, meski tanggung jawab dan jam kerja-nya meningkat. Kata Isma-il- sudah cukup. Saat ini yang paling dinantinya bukanlah uang lembur melain-kan saat lava pijar muncul-. Lava pijar ini untuk memastikan arah letusannya. Jika lava pijar menuju barat, letusan Me-rapi juga akan ke barat. ”Tapi sampai sekarang yang terjadi baru gempa dan guguran lava terus,” ujarnya.

Bagi Ismail dan Triyono, yang paling aman bukanlah- kerja bergantian, tapi berusaha terus menjaga bersama-sama. Sebab, saat Merapi meletus, hawa panas- berkecepatan 60 kilometer per jam ha-nya- membutuhkan waktu lima menit untuk sampai ke pos pengawasan dan per-mukiman di sekitarnya. Dalam tempo singkat itu penduduk sudah harus bisa dievakuasi.

Sementara Ismail ber-debar-debar me-nanti la-va pijar, Mbah Maridjan masih- tenangtenang sa-ja. Kakek berusia 79 tahun ini dianggap se-bagai le-genda hidup oleh masya-rakat yang tinggal di Merapi. Sejak 23 ta-hun lalu Sri Sultan Ha-meng-ku Buwono IX mengangkatnya se-bagai juru kunci utama Merapi, menggan-tikan Kartoredjo, ayahnya. Sri Sultan meng-anugerahi Maridjan kedudukan ab-di dalem dengan nama Mas Nga-behi Suraksohargo.

Sebagai juru kunci, Maridjan mene-rima upah Rp 100 pada 1974. Angka itu terus bertambah seiring dengan kenaikan pangkatnya selevel bekel. Upah Maridjan dari keraton saat ini Rp 7.000 sebulan. Uang bulanan itu mesti ia ambil dengan turun gunung setiap bulannya ke keraton, yang berjarak sekitar 30 kilometer. Toh, ayah lima anak ini bisa men-cukupi kebutuhan keluarganya. Ten-tu saja, dengan sokongan hasil dari kebunnya seluas 0,5 hektare dan sejumlah- pendaki Merapi yang sering kali me-minta bantuannya sebagai pemandu.

Sebenarnya tugas utama- sebagai juru kunci memim-pin doa upacara sakral tahunan Labuhan Merapi, upa-cara pemberian sesaji kepada Gunung Merapi setiap 30 Rajab pada penanggalan Jawa. Tugas lain, dia memberi laporan kepada keraton setiap ada tanda aktivitas Merapi.

Laporan Maridjan ini sangat penting ka-rena sebagian besar masyarakat yang ting-gal di Merapi lebih mempercayai-nya. Namun, dia selalu merendah. ”Saya ini orang bodoh, sekolah pun tidak. Yang bisa melihat Merapi batuk itu jauh di sana (tangannya menunjuk ke arah ka-ki Merapi). Saya tidak bisa karena saya ting-gal di dusun paling atas. Masa, saya bisa melihat pung-gung saya ada tahi lalatnya? Yang bisa melihat saya punya tahi lalat pas-ti orang lain,” kata-nya.

Besarnya pe-ngaruh Mbah Maridjan tampak saat petugas pe-nang-gu-langan- bencana alam Ka-bupaten Sleman me-lakukan sosialisasi benca-na Merapi kepa-da warga Dusun Kinahrejo, Kamis pekan lalu. Dusun Ki-nahrejo adalah du-sun tertinggi sekaligus permukiman terakhir yang akan dijumpai pendaki sebelum naik ke Merapi. Saat itu Mbah Maridjan tetap tenang saat mendengar petugas menjelaskan aktivitas Merapi su-dah dinyatakan siaga dan kemungkinan mele-tus dan mengarah ke de-sa mereka. Ketenangan Mbah Maridjan ini juga diikuti seluruh warga. Tentu saja sikap ini membuat petugas dari Kabupaten Sleman geleng-geleng kepala.

Mbah Maridjan memang punya keya-kin-an sendiri. Baginya, Merapi punya 12 mangsa atau musim. Saat ini, Merapi baru berada pada mangsa ke-10. Pada mangsa ke-10, Merapi memang biasa be-r-ulah seperti saat ini. Perutnya akan mem-besar kemudian isinya akan dikelu-arkan se-dikit-sedikit. Kalau perutnya se-makin be-sar, asap yang muncul di puncak sema-kin tebal. ”Tapi asap baru akan keluar banyak pada mangsa ke-12,” katanya.

Kendati begitu, Maridjan menolak di-se-but meremehkan penjelasan penting da-ri- petugas. ”Saya percaya apa yang dika-takan petugas kabupaten dan petugas vul-ka-nologi. Mereka punya alat canggih- yang bisa melihat dari jarak jauh,” ujar-nya.

Agung Rulianto, Syaiful Amin (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus