Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Orang tua perlu menciptakan suasana gembira untuk menjaga semangat belajar anak.
Sebagian anak merasa stres saat kegiatan belajar secara daring karena cara penyampaian kurang tepat.
Perlu mengubah persepsi belajar dari rumah menjadi belajar di rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setahun lebih mendampingi anaknya belajar jarak jauh secara daring membuat Adam Ghazali merasakan pentingnya keberadaan guru dan sekolah dalam tumbuh kembang anaknya. Pria berusia 35 tahun asal Bogor yang bekerja sebagai karyawan swasta di Jakarta itu berharap sekolah tatap muka bisa kembali berjalan, agar putrinya yang tahun ini masuk sekolah dasar bisa mendapat materi pelajaran secara lebih lengkap dan sesuai dengan kebutuhannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Di masa pandemi ini, praktis semua materi pelajaran diberikan oleh orang tua, karena belajar jarak jauh secara online sangat tidak efektif,” ujar Adam. Kondisi yang tak kondusif, seperti banyaknya gangguan teknis atau suasana kelas daring yang gaduh, membuat anak sulit mengikuti pelajaran yang diberikan guru lewat layar.
Ia khawatir kemampuan akademis anaknya sulit berkembang jika metode belajar jarak jauh masih harus dilakukan. Hal lain yang menjadi perhatian Adam adalah soal kedisiplinan dan motivasi anak dalam belajar. Karena bersekolah secara daring, ia merasa putrinya kurang bersemangat mengikuti pelajaran. “Meskipun sebetulnya saya juga masih khawatir kalau melepas anak belajar ke sekolah.”
Kekhawatiran itu juga dirasakan banyak orang tua lain. Sejumlah riset pun menyebutkan, perubahan pola belajar dari tatap muka di kelas menjadi jarak jauh lewat aplikasi telekonferensi berdampak menurunnya minat, perhatian, dan kemampuan akademis para siswa. Hal ini terungkap dalam penelitian yang dilakukan para ahli di Guangzhou Medical University, Cina, pada 2020.
Penelitian tersebut menyebutkan, 76 persen responden dari total 2.010 orang yang disurvei menyatakan mereka sepakat dengan metode pembelajaran daring di masa pandemi. Namun dilaporkan bahwa 69 persen orang tua yang disurvei mengaku khawatir terhadap pola belajar anak-anak mereka. Sebab, pada masa pandemi ini, para anak jadi lebih banyak berkutat di depan layar ponsel dengan durasi lebih dari tiga jam. Sebanyak 82 persen responden mengatakan anak-anak mereka melakukan aktivitas fisik kurang dari dua jam setiap hari.
Penelitian itu juga melaporkan, sebanyak 17,6 persen siswa yang menjalani sekolah daring diduga mengalami gangguan emosional dan perilaku. Pada saat yang sama, para orang tua pun mengalami peningkatan gangguan kecemasan ketimbang biasanya. Para peneliti menyarankan agar para siswa memiliki jadwal belajar yang sama seperti jadwal sekolah pada waktu normal. Sebab, terlalu lama berkutat di depan layar dan berkurangnya waktu beraktivitas fisik akan berdampak pada kesehatan mental dan fisik mereka.
Peluang munculnya stres pada anak dan orang tua di masa pandemi memang semakin tinggi. Psikolog anak Seto Mulyadi, atau yang akrab dipanggil Kak Seto, mengatakan sebagian anak merasa stres saat harus melakukan kegiatan belajar secara daring lantaran penyampaian pelajaran yang kurang tepat. “Ada anak TK dari jam tujuh pagi sampai jam 12 siang menatap ke layar, akhirnya pusing tujuh keliling, akhirnya stres dan marah-marah, dan malah benci belajar," kata Kak Seto seperti dikutip dari Tempo.co, beberapa waktu lalu.
Kak Seto mengatakan pola pikir pertama yang harus diubah adalah mengganti istilah "belajar dari rumah" menjadi "belajar di rumah bersama keluarga". Hal ini sebisa mungkin diterapkan pada anak-anak usia dini atau tingkatan taman kanak-kanak. "Bukan belajar dari rumah, tapi belajar di rumah. Jadi, materi pelajaran dari guru disampaikan ke orang tua, dan orang tua yang menyampaikan kepada anak-anak dengan gaya masing-masing."
Jadi, ia menganjurkan agar tidak memakai istilah belajar jarak jauh, melainkan belajar jarak dekat bersama ayah dan ibu di rumah. Kak Seto menjelaskan, ada lima inti penting dari kurikulum, yaitu etika, estetika, ilmu pengetahuan, teknologi, nasionalisme, dan kesehatan. Kelima hal tersebut harus disampaikan dengan ramah, kreatif, dan penuh dengan rasa persahabatan kepada anak, sehingga bisa mencapai hasil yang optimal.
Menurut dia, kalau anak usia dini diajak "ayo belajar", dia malah akan menolak. “Tapi coba 'ayo kita bermain'. Jadi bermain gembira, karena dunia anak adalah bermain. Melalui bermain, ya, belajar, belajar etika soal sopan santun, menghormati orang lain, bekerja sama." Adapun ilmu pengetahuan dan teknologi diberikan secara bertahap sesuai dengan perkembangan usianya.
Namun orang tua jangan memaksa anak menguasai semua kurikulum pendidikan, terlebih pada anak TK. "Yang paling utama adalah suasananya gembira. Dunia anak adalah bermain dan gembira. Kalau semuanya atas nama kurikulum, semua serba harus bisa, nanti tidak sesuai dengan kejiwaannya." ***
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo