Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sayur Asam di Ithaca
Universitas Cornell menggelar konferensi akbar tahun ini. Menghidupkan kembali kajian Indonesia yang sempat mati suri.
Menu makan siang di ruang pertemuan George McT. Kahin Center di kompleks Universitas Cornell, Ithaca, New York, Amerika Serikat, hari itu agak berbeda. Di meja tersedia nasi putih, sayur asam, tahu bacem, ayam goreng lengkuas, telur dadar, dan sambal.
Menu Indonesia yang dimasak Jolanda Pandin, doktor linguistik dari Toraja yang jadi pengajar tetap kelas bahasa Indonesia di Cornell, itu cepat tandas. Puluhan orang asing yang menghadiri konferensi tentang Indonesia yang diprakarsai Cornell dan Yale University pada akhir Agustus lalu itu menyapu semua hidangan.
Inilah konferensi tentang Indonesia terbesar kedua tahun ini di Amerika Serikat. April lalu, di kampus yang sama, konferensi The State of Indonesian Studies digelar Cornell Modern Indonesia Project.
Bukan kebetulan apabila konferensi itu diselenggarakan di George McT. Kahin Center. Kahin dikenal sebagai peletak dasar studi Indonesia modern. Sebelumnya, penelitian Indonesia lebih banyak didominasi Leiden School, yang menekankan studi filologi dan indologi.
Kahin datang ke Indonesia berbekal selembar "visa" yang diberikan Sjahrir. Ia bertemu dengan Bung Kecil itu ketika berpidato di Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York pada 1948. Berbekal surat itu, Kahin leluasa memasuki teritori yang dikuasai Republik.
Di Indonesia, Kahin bergaul dengan banyak tokoh, di antaranya Agus Salim, Ali Sastroamidjojo, dan Hamid Algadri. Ia pernah bertemu dengan Bung Tomo, yang gondrong dan bersumpah tak akan memotong rambut sebelum Indonesia benar-benar merdeka. Di Yogyakarta, Kahin punya mobil jip yang mudah dikenali karena dua bendera terpancang di sana: di kiri bendera Amerika dan di kanan bendera Indonesia. Kahin adalah akademikus cum aktivis. Disertasinya, "Nationalism and Revolution in Indonesia" (1952), diakuinya memang berpihak pada Indonesia.
Pada 1954, Kahin mendirikan lembaga Cornell Modern Indonesia Project. Salah satu hal yang menarik dalam memoarnya, Southeast Asia: A Testament, adalah cerita tentang jenderal-jenderal Indonesia yang menemuinya untuk menanyakan perihal Cornell Paper.
Itulah analisis setebal 161 halaman berjudul "A Preliminary Analysis of the October 1,1965, Coup in Indonesia". Paper itu rampung disusun pada 10 Januari 1966 oleh Ben Anderson, Ruth McVey, serta Fred Bunnell, dan menyimpulkan bahwa peristiwa 1965 bukan kudeta PKI, melainkan konflik internal di Angkatan Darat. Ali Moertopo dan Benny Moerdani sempat datang ke Cornell untuk meminta Kahin mengubah kesimpulan tersebut.
Sebelumnya, pada 27 November 1965, tiga jenderal dan dua kolonel di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Datuk Mulia datang ke Cornell. Mereka membawa dokumen seberat 200 pon yang berisi kesaksian di pengadilan orang-orang yang ditengarai terlibat Gerakan 30 September. Kahin bergeming: ia tetap mendukung rekan-rekannya dan secara resmi menerbitkan Cornell Paper pada 1973.
Malang bagi Kahin. Ia dicekal masuk Indonesia hingga 1991. Di Amerika, oleh Senator McCarthy, ia dituding simpatisan komunis. Di negaranya, paspor Kahin dicabut—selama lima tahun.
Acara seminar di George McT. Kahin Center dibuka dengan penyampaian makalah oleh Kikue Hamayotsu, dosen ilmu politik di Universitas Northern Illinois, Chicago. Dia memaparkan adanya peningkatan intoleransi terhadap umat beragama di Indonesia. Sebagian bahan penelitian dipungut Kikue saat dia berkunjung ke Jakarta pada liburan musim panas Juli lalu. "Saya memanfaatkan liburan untuk mengumpulkan bahan penelitian," kata perempuan Jepang itu.
Konferensi ini menampilkan berbagai topik dari berbagai disiplin ilmu. Andre Rivier, perwira Angkatan Darat Amerika Serikat dan mahasiswa pascasarjana Yale, misalnya, meneliti hubungan kebijakan keamanan Amerika dengan reformasi militer di Indonesia sejak 1998.
Jacqueline Hicks, yang menulis disertasi tentang politik dan korupsi di Indonesia pada 2004 di Universitas Leeds, Inggris, menganalisis fasilitas kesehatan dan pendidikan yang disediakan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Berkurangnya fasilitas itu melemahkan organisasi sosial itu hingga keduanya gagal menjadi penyalur dukungan masyarakat kepada partai dan calon politik.
Pemakalah lain adalah para mahasiswa. Taylor Purvis, mahasiswa ilmu politik di Yale, misalnya, memaparkan soal pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, untuk bidang kesehatan. Purvis baru saja meraih Bates Junior Fellowship dan Tristan Perlroth Prize untuk perjalanan ke Yogyakarta selama empat pekan—kesempatan yang digunakannya untuk menggali bahan penelitian ini.
Kevin Fogg, calon doktor jurusan sejarah di Yale, membahas berkurangnya pengaruh bahasa Arab secara drastis terhadap bahasa Indonesia. Ini terjadi sejak standardisasi bahasa Indonesia dilakukan oleh Lembaga Bahasa dan Budaya yang berpusat di Universitas Indonesia pada 1950-an. Sejak saat itu, sistem penulisan bahasa Indonesia dalam naskah Arab Jawi atau Arab Melayu tak ada lagi.
Konferensi di Cornell merupakan titik balik perhatian akademikus internasional terhadap Indonesia—setelah Perang Dingin berakhir dan Indonesia memasuki periode reformasi.
Sebelumnya, menurut Direktur Center for Southeast Asian Studies-Indonesia Yosef Djakababa, minat orang Amerika mempelajari Indonesia menurun. Jumlah mahasiswa yang mengikuti Kursus Musim Panas di Wisconsin Madison—tempat dia mengajarkan bahasa Indonesia—terus berkurang.
Pada dekade 1980 dan 1990, bahasa Indonesia jadi primadona pilihan mahasiswa. Pada 2000, jumlah mahasiswanya anjlok karena mereka lebih memilih negara lain di kawasan Asia, seperti Cina, Jepang, dan Korea.
Cornell Modern Indonesia Project juga mati suri. Perubahan-perubahan di dalam lingkungan kampus mempengaruhi perkembangan kajian Indonesia, termasuk menurunnya jumlah dana penelitian.
Patsy Spyer, guru besar antropologi di New York University, menggambarkan, dulu peneliti leluasa berkeliaran di lapangan hingga 18 bulan. "Sekarang mahasiswa sudah beruntung bila mendapat dana meneliti setahun saja," ujarnya kepada jurnal Cornell Chronicle.
Pada 1960-an dan 1970-an, dana penelitian berlimpah ruah. Washington saat itu menggelontorkan banyak dana untuk meneliti Indonesia karena pengaruh Partai Komunis Indonesia menguat. "Para peneliti Amerika ingin tahu apakah Indonesia akan berubah menjadi negara komunis atau tidak," kata Vincent Houben, Kepala Program Studi Asia di Universitas Humboldt, Berlin, Jerman. Para peneliti itu, kata Houben, memberikan nasihat dan saran kepada Washington mengenai kebijakan yang perlu ditempuh terhadap Indonesia.
Analisis lain diberikan Paige Johnson Tan, guru besar madya Departemen Masalah Masyarakat dan Internasional Universitas North Carolina Wilmington. Menurut dia, setelah peristiwa 11 September 2001, orang lebih banyak memberikan perhatian pada terorisme dan keamanan Timur Tengah. Seharusnya itu tak terjadi, "Karena saat ini Asia justru mengalami kemajuan ekonomi yang baik," katanya.
Gairah meneliti Indonesia sebetulnya tidaklah sepenuhnya punah. Cornell Modern Indonesia Project kini mencoba berbenah diri dan bangkit. Empat dana hibah diberikan kepada sarjana-sarjana Indonesia tahun ini—sesuatu yang tidak terjadi tahun lalu.
Mungkin ini tanda-tanda baik bagi kebangkitan penelitian Indonesia. "Kajian Indonesia memang pernah kuat di masa lalu, kemudian vakum. Tapi saat ini saya melihat orang berminat lagi," kata Eric Tagliacozzo, Direktur Cornell Modern Indonesia Project.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo