Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RESTORAN yang didirikan pada 1927 itu sampai kini masih menyajikan hidangan yang menggoyang lidah. Namanya Restoran Trio. Letaknya di Jalan Gondangdia Lama Nomor 29-A, Jakarta Pusat—sisi depannya berdinding kayu berwarna hijau. Rumah makan ini terkenal dengan sajian Cantonese cuisine. Ada 200 masakan Canton yang dimasak dengan resep turun-temurun.
Tiga sekawan peneliti dari Prancis, Denys Lombard (almarhum), Christian Pelras, dan Pierre Labrousse, pada dekade 1970 sering makan di restoran tersebut. Sembari menyantap, di situ mereka berdiskusi soal Indonesia. Dari restoran itu pula mereka berangan-angan membuat majalah yang mampu menampung penelitian-penelitian mendalam tentang Nusantara. Hasilnya: Archipel, jurnal berwibawa yang bertahan sampai kini.
Kita tahu dari tangan tiga cendekiawan itu lahir karya-karya babon mengenai Indonesia. Dari Lombard lahir tiga jilid Nusa Jawa Silang Budaya (Le Carrefour Javanais). Dari Pelras terbit Manusia Bugis. Akan halnya Labrousse menyusun Kamus Umum Indonesia-Prancis yang sangat tebal.
Kesetiaan mereka terhadap kajian Indonesia mengagumkan. Denys Lombard meninggal di Paris, 1998, pada usia 60 tahun. Sebelum wafat, ia sempat menyunting kisah perjalanan saudagar Prancis, Augustin de Beaulieu, ke Sumatera. Umur Pelras kini sudah di atas 70 tahun. Pada 2004, Pelras aktif terlibat dalam diskusi untuk mempersiapkan pementasan kontemporer kisah La Galigo oleh sutradara avant-garde Amerika, Robert Wilson, di Esplanade, Singapura. Sedangkan Labrousse sehat walafiat di Paris dan tetap mengikuti berita-berita tentang Indonesia. Pekan lalu, Claudine Salmon, istri Lombard, datang ke Jakarta. Claudine adalah peneliti kawakan sastra Melayu Tionghoa. Usianya sudah 73 tahun. Tapi, dalam sebuah diskusi di Universitas Tarumanagara, ia masih bersemangat membahas cerita silat dari Cina yang beredar di Indonesia pada abad ke-19.
Pembaca, bila majalah Tempo kali ini menurunkan edisi khusus tentang para Indonesianis, itu karena kami ingin membaca ulang peran penting para pemerhati Indonesia ini. Merekalah sarjana luar negeri yang sangat mencintai Indonesia. Mereka menyelami dunia kuliner, religi, dan politik kita serta mampu menyajikan data dan analisis yang mengagetkan. Kita, misalnya, tak akan pernah tahu memiliki kerajaan berpengaruh Sriwijaya bila sejarawan G. Coedes tak menerbitkan artikel Le Royaume de Crivijaya pada 1918.
Tahun 1970-an adalah masa gemilang studi Indonesia. Penelitian tentang Indonesia berdatangan dari Prancis, Amerika, Australia, Belanda, Jerman, dan Rusia. Studi-studi itu mencakup spektrum yang luas: dari arkeologi sampai militer. Banyak buku karya Indonesianis dilarang Orde Baru. Studi Ruth McVey tentang komunisme atau laporan Ben Anderson tentang pembunuhan jenderal-jenderal 1965 pada Cornell Paper adalah beberapa di antaranya.
Ada pula studi Takashi Shiraishi tentang Mas Marco Kartodikromo atau Haji Misbach. Selain itu, ada studi terhadap bapak Republik kita—Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka—dari Audrey Kahin hingga Rudolf Mrazek. Semuanya memberi kita ilmu tentang demokrasi dan pluralisme.
Karya-karya mereka tak luput dari kritik. Beberapa buku disebut bias atau tak lagi cocok jika diteropong dari kacamata masa kini. Pengelompokan Clifford Geertz terhadap masyarakat Jawa—priayi, santri, dan abangan—sudah banyak ditolak. Tapi uraiannya mengenai Bali dalam Negara: The Theatre State in 19th Century Bali dianggap masih relevan. Teori tentang masyarakat yang dibayangkan Ben Anderson dalam Imagined Communities hingga kini masih dipakai untuk meneropong sejarah kawasan lain di Asia Tenggara.
PEMBACA, edisi khusus para Indonesianis ini juga dibuat karena turunnya minat terhadap studi Indonesia di mancanegara. Di Amerika, kuliah bahasa Indonesia pada musim panas sudah sepi peminat. Di Australia idem ditto. Di Belanda, kita mendengar Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Leiden yang didirikan Profesor Teeuw ditutup. Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV)—Mekah bagi para peneliti Indonesia di Belanda karena di sana tersimpan ratusan ribu buku dan berbagai dokumen mengenai Indonesia dari awal abad ke-20 sampai kini—terancam bangkrut. Anggaran lembaga itu dipotong besar-besaran.
Di Rusia, hal serupa terjadi. Di St Petersburg, ada museum antropologi dan etnografi Kunstkammer—museum dengan dinding hijau di pinggir Sungai Volga, yang pada musim dingin airnya beku seperti balok es. Museum yang didirikan Peter Agung dan dibuka pada 1714 itu menyimpan banyak barang koleksi asal Indonesia. Di sana bekerja ahli Batak bernama Dr Elena Revunenkova. Elena mampu membaca aksara Batak kuno. Ia menulis disertasi tentang ritual kapal roh-roh Batak. Menurut Elena, dulu koleksi barang etnis asal Indonesia menjadi primadona. Di ruang utama Kunstkammer yang bentuknya bundar dulu penuh dipajang barang-barang etnis dari 27 provinsi Indonesia. Untuk melengkapi koleksi Indonesia, pengelola museum bahkan pernah menukar koleksi barang etnis Siberia yang dimilikinya dengan barang Indonesia yang dimiliki museum Eropa. Tapi kini sudah berbeda. Di ruang utama sekarang disuguhkan barang Asia lain, sementara barang-barang Indonesia, kecuali Batak, digudangkan.
Tak semua bernuansa suram, memang. Pada Agustus, Universitas Cornell dan Universitas Yale, Amerika Serikat, mengadakan Cornell-Yale Seventh Northeastern Conference on Indonesia. Dilaksanakan di George McT. Kahin Center, Universitas Cornell, inilah ketujuh kalinya perhelatan itu diadakan. Di Jerman, Universitas FreiÂburg baru saja menyelenggarakan sebuah seminar Asia Tenggara yang menitikberatkan evaluasi 10 tahun desentralisasi dan otonomi di Indonesia. Sebanyak 160 pakar terlibat dan 60 kertas kerja didiskusikan.
Untuk membahas masalah Indonesianis ini, kami mengundang Dr Roger Tol, Direktur KITLV Jakarta. Roger Tol adalah pakar studi Bugis dan Melayu. Darinya kami mendapat kisah hidup beberapa Indonesianis di Belanda. Kami juga mengundang para Indonesianis muda yang tengah melakukan penelitian di Indonesia. Di antaranya Michael Buehler dan Kikue Hamayotsu—keduanya asisten profesor di Departemen Ilmu Politik Universitas Northern Illinois. Buehler meneliti kota-kota dan kabupaten-kabupaten yang mempraktekkan syariat Islam dan Hamayotsu meneliti partai-partai di Indonesia.
Bersamaan dengan itu, kami menugasi koresponden Tempo melakukan reportase ke sarang-sarang Indonesianis di Universitas Monash, Australia; Universitas Cornell, Amerika; dan Universitas Leiden, Belanda. Kami juga mereportase universitas di Rusia, Cina, dan Korea.
Kami mewawancarai berbagai Indonesianis. Ada yang sudah sepuh tapi demikian bersemangat ketika kenangannya digali kembali. Kami juga menulis kesaksian-kesaksian tentang Indonesianis besar, seperti Daniel S. Lev dan Herbert Feith, yang telah meninggal. Feith adalah Indonesianis yang kerap berkaus singlet putih dan bersarung saat naik becak atau mengayuh sepeda ontel di Yogyakarta. Lev dikenal sebagai peneliti yang kuat ngobrol sembari ngopi sampai subuh dengan kolega-koleganya. Kami juga mengundang beberapa kolumnis, baik dari luar maupun dari dalam negeri, untuk secara kritis melihat peran para Indonesianis.
Pembaca, edisi khusus ini diharapkan bisa memberikan informasi tentang para Indonesianis—dulu dan sekarang. Para peneliti yang mencintai Indonesia dengan segenap jiwa dan raganya.
TIM INDONESIANIS Penanggung Jawab: Seno Joko Suyono Kepala Proyek: Kurniawan Koordinator: Kurniawan, Nurdin Kalim Penyunting: Arif Zulkifli, Idrus F. Shahab, Purwanto Setiadi, Seno Joko Suyono, Nugroho Dewanto, L.R. Baskoro, Budi Setyarso, Bina Bektiati Penulis: Kurniawan, Nurdin Kalim, Seno Joko Suyono, Dian Yuliastuti, Nunuy Nurhayati, Purwani Diyah Prabandari, Yophiandi Kurniawan, Anton Septian, Cheta Nilawaty, Stefanus Teguh Pramono, Philipus Parera, Bagja Hidayat Penyumbang bahan: Victoria Sidjabat (Washington, DC), Ging Ginanjar (Berlin), Sri Pudyastuti Baumeister (Dresden), Asmayani Kusrini (Leiden), Khoirul Rosyadi, Marten Hanura (Moskow), Adek Media Roza (Sydney), Dewi Anggraeni, Bela Kusumah (Melbourne), Pito Agustin Rudiana, Bernada Rurit Periset Foto: Bismo Agung, Donang Wahyu Desain: Ehwan Kurniawan, Eko Punto Pambudi, Kiagus Aulianshah, Aji Yuliarto, Agus Darmawan, Tri W. Widodo Redaktur Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Habib Rifai Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 24 Maret 2014 PODCAST REKOMENDASI TEMPO arsip Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |