Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Lapis-lapis Mimpi Gandari

Gandari, opera tari yang bertolak dari komposisi Tony Prabowo dan libreto Goenawan Mohamad, disajikan di Frankfurt. Berbeda seratus persen dengan Gandari yang dipentaskan di Jakarta tahun lalu. Lebih puitis dan canggih.

26 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua penari itu seolah-olah bergerak di atas arus lava. Kaki mereka menapak pada aliran lahar yang terus-menerus mengalir menuju sebuahujung: satu titik semacam gua sempit atau retakan ceruk yang bisa menyerap dan memuntahkan mereka kembali.

Penonton Jerman malam itu dapat melihat sebuah panggung penuh permainan ilusi. Penata artistik Jay Subiyakto mendesain panggung dengan bentuk segi tiga asimetris. Bidang kiri dan kanannya berdinding "tirai" transparan. Dinding kiri tampak lebih besar daripada kanan. Dalam tirai kiri itu, samar-samar kita lihat konduktor Bas Wieger memimpin Internationale Ensemble Modern Akademie—sebuah ensemble papan atas Eropa—memainkan komposisi Tony Prabowo. Tampak juga solois Katrien Baerst. Dalam dinding kanan, kita lihat paduan suara Batavia Madrigal Singer dan Landung Simatupang yang menarasikan libreto Goenawan Mohamad.

Sepanjang pertunjukan, dengan bantuan sorotan video mapping, tirai mampu menampilkan imaji berubah-ubah: dari tebing berbatu sampai bukit bergeronjal. Dan lantai yang diapitnya terus-menerus juga bermetamorfosis. Dari semburat genangan lava sampai gulungan awan. Kaki penari Luluk Ari Prasetyo dan Danang Pamungkas seakan-akan menapak lahar, juga seolah-olah bergerak di atas awan berarak atau di sela-sela kabut.

Gandari yang disajikan pada 16 dan 17 Oktober lalu di Frankfurt Lab—tempat pertunjukan alternatif di Frankfurt—berbeda sama sekali dengan Gandari yang disajikan di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Desember tahun lalu. Tahun lalu, untuk menggarap komposisi Tony Prabowo dan libreto Goenawan ini, Gandari ditangani oleh kolaborasi sutradara teater Yudhi Tajuddin; koreografer Jepang, Akiko Kitamura; dan skenografer Teguh Ostenrik. Sekarang trio tersebut diganti oleh trio koreografer Cina, Su Wen-Chi; penata artistik Jay Subiyakto; dan video designer Taba Sanchabakhtiar.

Berbeda tim, berbeda pula visi estetiknya. Dulu Kitamura menggunakan enam penari, tiga dari Jepang dan tiga dari Indonesia (Luluk, Danang, dan Riyanto), tapi kini Wen-Chi hanya menggunakan dua penari. Gandari versi pertama menggunakan dua narator—Landung Simatupang dan Sita Nursanti— sedangkan kini hanya Landung seorang. Sebelumnya, Teguh Ostenrik membuat set serupa lambung perahu untuk tempat orkestra, tapi kini Jay ingin menyajikan para penari dengan bantuan video mapping, terseret dalam lapis-lapis kesuraman.

Ada yang hilang, ada yang muncul. Pada garapan Yudhi, di akhir pertunjukan kita dihidangkan klimaks tak terduga dengan munculnya Maria Katarina Sumarsih, ibu seorang aktivis 1998 yang tewas tertembak. Di panggung, ia menceritakan hal-ihwal terbunuhnya anaknya. Pada garapan Yudhi terasa ada keinginan mengkontekstualkan Gandari pada situasi kekinian. Kini hal-hal itu sama sekali dibuang. Pada Gandari versi kedua ini dunia dalam Gandari yang hendak ditonjolkan.

Sajak Goenawan sendiri adalah sebuah teks yang multitafsir. Goenawan memulai libretonya dengan larik Gandari, ibu para Kurawa yang tak mau melihat lagi dunia. Di sebuah senja, ia memandang ke luar jendela untuk terakhir kalinya. Dan kemudian terjadi percakapan dalam hati. Solilokui tentang kematian. Tentang tarian Dewi Kali. Tentang Destarata, suaminya yang buta dan memimpikan merpati-merpati. Tentang sebuah kota yang tak pernah ada. Di akhir, seorang pembawa pesan memberitakan kematian putra sulungnya, Dursasana, dan Drupadi membasuh rambutnya dengan darah sang anak. Goenawan punya sudut pandang yang muram.

Tony mengaku untuk menerjemahkan sajak Goenawan ke dalam sebuah komposisi orkestra dan paduan suara butuh waktu satu tahun lebih. "Saya bikin selama satu setengah tahun. Satu hari saya hanya bisa menyelesaikan enam bar. Satu hari enam ketukan," kata komposer asal Malang itu. Musik Tony jarang sekali berketukan genap seperti 4/4, tapi selalu ganjil 1/4. Ia membagi sajak Goenawan menjadi 32 adegan.

* * * *

"Saya lihat teks GM seperti alegori mimpi. Saya ingat film Akira Kurosawa: Dream," kata Wen-Chi. Wen-Chi ingin yang disajikan di panggung bukan tarian yang menampilkan sosok atau figur Gandari, melainkan tarian yang mengilustrasikan mimpi-mimpi Gandari. "Libreto Goenawan, bagi saya, penuh sub-teks tentang sensibilitas perempuan yang menahan duka dalam sunyi," tutur Wen-Chi.

Ia melihat musik Tony adalah jenis musik yang membawakan energi yang halus. "Kalau kita lihat di metronom, musik Tony bergerak antara 50-60, itu termasuk musik yang jalannya lambat, menghaturkan energi bawah sadar," ujar koreografer yang kini tinggal di London ini. Ia membagi struktur koreografinya menjadi lima mimpi. "Mimpi tentang Minotaur, Lava, Merpati, Virus, dan Perang Jenderal," katanya. Bersama Danang dan Luluk, ia kemudian mencari kemungkinan geraknya.

Gagasan Wen-Chi itu cocok dengan konsep panggung yang dibayangkan Jay Subiyakto. Jay menginginkan panggung merepresentasikan suasana emosi batin aftermath. Sebuah inner space. "Saya lihat Gandari versi pertama di TIM tahun lalu. Pendekatan skenografi saya harus lain. Saya tidak bisa membawa properti panggung yang besar-besar, seperti Teguh (Karya) ke Jerman," kata Jay.

Ia ingin setnya menggunakan properti yang mudah dibawa-bawa tapi efektif. Ia ingin panggungnya mengesankan suasana berlapis-lapis. "Saya suka dengan layer. Saya ingin orkestra dan paduan suara berada di balik tirai, tapi bukan tirai biasa. Sebab, kalau tirai biasa, disorot lampu akan jelek," ujarnya. Jay lalu menyurvei berbagai macam layar di Jakarta. "Akhirnya saya memakai kawat kasa nyamuk. Saya beli gulungan kasa nyamuk di Jalan Panglima Polim. Kawat kasa ini kalau diremet-remet bisa menghasilkan efek jika disorot cahaya." Ia memilih jenis kawat kasa nyamuk yang paling lembek. Ia lalu membawa lebih dari 25 meter ke Jerman. "Di bandara Frankfurt, saya sampai ditanya imigrasi untuk apa."

Sesampai di gedung Frankfurt Lab, dibantu rekan-rekannya—termasuk Tony—ia meremas-remas kasa tersebut. Dan terbukti, di panggung, hasil sorotan temaram dari remasan kasa itu melahirkan imaji bukit-bukit berlubang. Sederhana tapi kuat. Sebagai desainer artistik, Jay mampu mengkombinasikan penata cahaya Joonas Tikkanen asal Finlandia dan video mapping Taba Sanchabakhtiar. Lampu mampu menghasilkan imaji yang dia inginkan. "Saya hindari cahaya dari depan menyorot wajah pemain."

Memang kolaborasi lampu dan video mapping menjadi penunjang yang luar biasa malam itu. Lampu tidak sekadar menjadi dekorasi, tapi menjadi aktor kedua. Di lantai dan dinding muncul permainan garis-garis putus lurus yang menyusut dan memanjang. Garis menyerupai cabikan sarang atau gelombang amplitudo. Juga genangan dan bercak-bercak lava merah yang memutar-mutar. Kita melihat cahaya bisa menjadi sap-sap mengejutkan. Cahaya bahkan di sebuah adegan menjadi bidang yang bergerak menyapu dan membelah penonton.

"Saya memasang lima proyektor. Jay meminta memadukan proyektor dan cahaya yang selalu backlight ini cukup eksperimental," kata Taba. Dalam membuat videonya, Taba mengikuti unsur pembabakan adegan mimpi yang diberikan Wen-Chi. Tatkala para penari bergerak di lava, ia menayangkan video di lantai, membuat lantai seperti mangkuk lava. "Saya ingin mereka seperti menari di atas panas," ujarnya.

* * * *

Dan kita melihat di Frankfurt, Gandari menjadi suatu tontonan utuh, tidak terfragmentasi. Tampak bagaimana antara musik Tony, tarian Wen-Chi, panggung Jay, dan video Taba mampu menciptakan balans. Panggung bukan tempat serobot-menyerobot atau keinginan unjuk gigi dari setiap unsur. Tari bisa mengekang untuk tampil dan sering menyediakan panggung sendiri untuk musik dan cahaya. Video juga tidak senantiasa ingin keluar penuh. Gandari menjadi tontonan yang sangat puitis, mampu menjaga timing atau tempo. "Meski tidak ada sutradara, anehnya kita saling melengkapi," kata Jay.

Para penari sendiri mengaku lebih bebas. "Saya merasa memiliki setiap adegan. Tahun lalu, saat koreografi Gandari digarap Akiko Kitamura, ia sudah menyediakan gerak. Kami tinggal mencontoh. Sekarang kami bukan robot," kata Luluk Ari Prasetyo. Latihan-latihan bersama Wen-Chi menurut dia unik.

"Ia pernah menyetel musik tapi mengharuskan kita memakai ear plug hingga sama sekali tak bisa mendengar tapi kita disuruh bergerak meresponsnya. Gerakan itu direkam video. Setelah itu ia analisis," kata Luluk. Danang juga ingat bagaimana oleh Wen-Chi ia disuruh bergerak laksana orang tua yang merindukan merpati. "Ada lelaki tua yang melihat anak bermain merpati. Lalu orang tua tersebut ingin sekali kembali ke masa kanak-kanak," kata Danang. Menurut Wen-Chi, dalam dunia psikoanalisis, merpati adalah lambang arketip paling dasar manusia. "Itu dari teori Carl Gustav Jung," ujarnya.

Tony dan Jay merasa kru Frankfurt Lab juga sangat membantu. "Sound engineer-nya bahkan membaca skor saya," kata Tony. Yang menarik adalah tatkala Taba meminta para kru Frankfurt Lab menggantung lima proyektornya dengan posisi yang tidak normal, dengan ketinggian dan kemiringan yang tidak standar, untuk menimbulkan efek pada ruang asimetri yang dibuat Jay. "Tingginya sampai tiga setengah meter. Mereka awalnya sampai bilang this is nightmare, ha-ha-ha...."

Tony juga terlihat puas terhadap tafsir Ensemble Modern Akademie. "Mereka lebih energetik," katanya. Juga dengan Batavia Madrigal Singer. Memang kita dengar paduan suara ini mampu menyajikan teks Goenawan dengan berbagai intonasi. "Bisma gugur-Bisma gugur...," tatkala sampai pada bagian sajak ini, mereka melakukan dengan cara mendesis. Di bagian akhir, Katrien Baerts, soprano, maju. Ia terlihat hamil. "Sebenarnya saya ingin memanfaatkan kehamilan Katrien dengan membuat semacam siluet bahwa Gandari hamil lagi dan mengeluarkan seratus anak lagi," kata Jay.

Selama pertunjukan, yang menjadi pertanyaan: terjemahan teks libreto Goenawan ke bahasa Jerman sama sekali tidak disorotkan ke sisi panggung. Ini bisa jadi menyulitkan penonton Jerman yang ingin mengerti konteks pertunjukan. "Tapi memang sedari awal kami tidak berpikir ingin menayangkan terjemahan sajak Goenawan. Kami ingin penonton merasakan sajak yang saya bacakan itu sebagai bagian dari bunyi," kata Landung Simatupang. Apalagi teks libreto itu dimuat dalam buku program yang dibagikan kepada penonton. "Justru, saat pulang, mereka akan baca-baca lagi dan mengenang peristiwa di panggung," ujar Landung.

Seno Joko Suyono (Frankfurt)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus