Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dian sudah terbiasa dengan pipi anaknya, Rifki, yang merah-merah. Bukan lantaran merona, melainkan karena banyak benjolan kecil yang tumbuh di sana. "Penuh bruntus-bruntus kecil merah," kata Dian pada Selasa pekan lalu.
Benjolan-benjolan kecil itu menetap sejak usia Rifki masih hitungan bulan. Tapi, lantaran menurut orang tuanya hal itu lumrah pada bayi, Dian tak melakukan apa pun untuk mengobati anak pertamanya tersebut. Benjolan kemerahan itu mulai menghilang saat usia Rifki hampir satu tahun.
Tapi ini hanya sementara. Benjolan kecil itu kembali muncul ketika Rifki memasuki usia balita. Hanya, bentuknya sedikit berbeda. Benjolan kecil itu kini tak mengumpul di pipi, tapi muncul sedikit-sedikit di bagiantubuh lain. Jika digaruk, gampang sekali jadi koreng. Kalau parah, bisa keluar nanah.
Dokter mengatakan Rifki terkena dermatitis atopik, salah satu penyakit eksem kulit akibat alergi. Parahnya, kata Dian, dari hasil tes alergi, Rifki punya segudang penyebab yang bisa membuat kulitnya jadi memerah dan gatal. Dari cokelat, makanan laut, daging ayam, putih telur, bulu unggas, gigitan nyamuk, sampai debu. Kini Rifki, yang sudah berusia 9 tahun, tak pernah lepas dari koreng. "Selalu ada luka karena digaruk," ujar perempuan yang tinggal di Bogor, Jawa Barat, itu.
Dermatitis atopik adalah radang kulit berulang yang disertai gatal. Jenis eksem ini paling banyak ditemukan pada bayi dan anak. Penderita penyakit ini biasanya mengeluh kulitnya terasa gatal dan kering yang tak sembuh-sembuh atau sering kambuh meski sudah diobati.
Gangguan kulit ini terjadi di lapisan pelindung atau sawar berupa lapisan lemak tipis yang berfungsi menjaga kelembapan kulit. Pada penderita dermatitis atopik, lapisan lemak ini menipis sehingga kulit menjadi mudah kering. Kulit yang sering kering ini mengakibatkan ambang rangsang gatal menjadi relatif rendah sehingga menimbulkan sensasi untuk menggaruk.
Kalau terlalu sering digaruk, akan timbul iritasi dan merusak sawar kulit, sehingga zat alergen, zat iritatif, dan mikroorganisme mudah masuk ke lapisan kulit yang lebih dalam. Itulah mengapa penderita dermatitis atopik mudah menderita infeksi kulit yang lain.
Pada bayi dan anak, dermatitis atopik biasanya terjadi di pipi, lekuk siku, dan lekuk lutut. Karena letaknya yang biasa di pipi, masyarakat mengenalnya sebagai eksem susu. "Dibilang karena cipratan air susu ibu, padahal bukan," kata dokter spesialis anak konsultan alergi-imunologi, Zakiudin Munasir.
Karena menimbulkan gatal dan bisa terjadi infeksi, kelainan ini tentu membutuhkan perhatian ekstra. Orang tua biasanya mengeluarkan biaya tambahan untuk mengobati kulit anaknya agar tak bertambah parah. Mereka harus bolak-balik ke dokter serta membeli lotion kulit golongan emolien dan sabun yang mengandung pelembap tinggi.
Jika alerginya disebabkan oleh susu sapi, juga perlu susu yang terhidrolisis parsial. Penelitian Zaki dan kawan-kawan yang dipublikasikan beberapa waktu lalu menyimpulkan bahwa pada anak yang tak mendapatkan ASI, dengan menggunakan susu ini, dermatitis atopik bisa dicegah sehingga menghemat sekitar Rp 4,5 juta per tahun.
Selain butuh biaya ekstra, menurut dokter spesialis anak konsultan nutrisi dan penyakit metabolik, Conny Tanjung, dermatitis atopik sering menjadi awal perkembangan penyakit asma dan march allergic, yakni kumpulan alergi perkembangan dari dermatitis atopik. Anak yang mengalami dermatitis atopik 1,33 kali lebih sering menderita asma atau march allergic dibanding yang tidak menderita dermatitis. "Misalnya batuk, pilek, dan alergi makanan," katanya. Kelainan inilah yang dialami oleh Rifki.
Penyebab timbulnya alergi ini belum diketahui secara pasti. Tapi biasanya ada faktor alergi turunan dari keluarga. Kelainan kulit ini juga bisa disebabkan oleh alergi, misalnya terhadap makanan seperti susu sapi, telur ayam, ikan, dan kacang-kacangan atau terhadap debu, serbuk sari, dan bulu binatang.
Menurut Conny, makanan yang digoreng juga berefek pada munculnya dermatitis atopik. Makanan berminyak banyak mengandung omega 6, yang salah satu tipenya adalah asam arakidonat (AA), zat yang berperan dalam inflamasi. "Alergi sendiri terjadi karena proses inflamasi yang kronis," ujarnya.
Penangkalnya adalah omega 3, yang mengandung asam eikosapentaenoat (EPA) dan asam dokosaheksaenoat (DHA). Dua zat ini bisa menekan inflamasi. Maka salah satu pencegahan dermatitis atopik selama ini adalah dengan memberikan omega 3.
Namun, kata Conny, pengaruh AA dan DHA masih tak jelas. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa AA dan DHA memang berpengaruh pada proses inflamasi, tapi di beberapa penelitian lain menunjukkan sebaliknya, AA dan DHA dinyatakan tak berpengaruh. Conny berasumsi perbedaan hasil penelitian itu disebabkan oleh gen yang mengatur metabolisme omega 3 dan omega 6 dalam tubuh.
Untuk mengetahuinya, Conny meneliti gen yang paling berperan pada munculnya dermatitis atopik. Adalah gen Filaggrin yang mempengaruhi sawar kulit dan perubahan gen fatty acid desaturase (FADS), gen yang disebut berperan dalam mempengaruhi konsentrasi omega 3 dan omega 6 di dalam tubuh. Kesimpulan ini berdasarkan studi yang dilakukan di Eropa sebelumnya. Penelitian ini mengantarkan Conny meraih gelar doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bulan lalu.
Untuk mengetahui pengaruh gen tersebut, Conny meneliti 360 bayi yang lahir sehat di puskesmas Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat. Darah mereka diambil dari arteri umbilikalis, pembuluh darah yang membawa darah dari janin kembali ke plasenta. Sampel darah itu kemudian diperiksa di laboratorium.
Conny memeriksa mutasi gen Filaggrin dan perubahan gen FADS di laboratorium. Sedangkan para bayi diikuti perkembangannya selama setahun untuk melihat kejadian dermatitis atopik. Lama pemberian ASI mereka juga dicatat. Hasilnya, kejadian dermatitis atopik pada bayi cukup tinggi, yaitu 15,4 persen dari semua bayi yang diteliti.
Jumlah ini tak jauh berbeda dari hasil penelitian Zaki tiga tahun lalu di Jakarta, yaitu sebanyak 16,4 persen. Tapi temuan Conny terhadap gen-gen tersebut berbeda dengan penelitian di Eropa. Di Eropa, gen Filaggrin berpengaruh pada dermatitis atopik, tapi penelitian yang dilakukan Conny menunjukkan sebaliknya. "Dari lima titik yang diperiksa, tidak ditemukan mutasi tersebut pada populasi penelitian. Solusinya, untuk mengetahui ada-tidaknya mutasi gen tersebut perlu dilakukan pemeriksaan gen secara utuh," katanya.
Demikian pula dengan temuan gen FADS. Gen FADS hasil penelitian Conny tak mempengaruhi komposisi omega 6. Hasil ini 72,2 persen berbeda dengan Eropa dan lebih mirip 93,3 persen dengan orang Meksiko. Karena perbedaan ini, Indonesia tak bisa menggunakan data yang ada di Eropa. Pemberian suplemen omega 3 sebagai pencegahan dermatitis atopik juga perlu dikoreksi. "Jadi tak perlu tergila-gila dengan suplementasi. Sumber utamanya lebih baik dari makanan," ujarnya. Selain itu, pemberian ASI eksklusif selama tiga-enam bulan tampaknya memberi efek proteksi terhadap dermatitis atopik.
Menurut promotor Conny, dokter spesialis anak konsultan metabolik dan nutrisi Damayanti Sjarif, perbedaan gen menyebabkan kebutuhan makanan jadi berbeda. Karena itu, nasihat makanan pada satu bangsa belum tentu bisa diterapkan pada bangsa lain. Tapi, untuk menghasilkan ini, perlu penelitian lebih lanjut.
Zaki, yang juga penguji disertasi Conny, mengatakan penelitian ini harus dilanjutkan dengan melihat gen-gen tersebut secara utuh. Maka perubahan dan perbedaan itu tak hanya ditangkap secara sepotong-sepotong. "Motretnya harus dari jauh sehingga lebih utuh," katanya. Dengan begitu, diharapkan penyebab dermatitis atopik pada tubuh bisa ketahuan.
Meski penyebabnya belum diketahui, pengobatan harus tetap dilakukan. Menurut Zaki, pada dasarnya kulit penderita dermatitis atopik cenderung kering, mudah gatal, dan peka terhadap bahan yang bisa mengiritasi, misalnya pakaian kasar atau berbahan wol dan cuaca ekstrem panas atau dingin. Maka pemicu itu harus dihindari.
Untuk bayi dan anak, ada beberapa tip untuk mencegah dermatitis atopik berulang, di antaranya mandi dengan sabun yang kaya pelembap, menghindari sabun atau pembersih antibakterial karena akan membuat kulit kering, menggunakan lotion emolien, membilas pakaian yang dicuci dengan detergen sampai bersih, dan jangan memakai pakaian yang terlalu ketat atau tebal. "Kalau curiga alergi disebabkan oleh makanan, hindari makanan tersebut," katanya. NUR ALFIYAH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo