Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejarawan Universitas Padjajaran (Unpad), Fadly Rahman, menjelaskan sejarah dan alasan mengapa orang Sunda gemar makan lalapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Secuil catatan historis dalam Prasasti Taji pada abad 10 Masehi dapat menjawabnya," tulis Fadly dalam opininya di laman Ketik Unpad, Selasa, 26 Januari 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam prasasti yang ditemukan di Ponorogo, Jawa Timur, nama sajian atau makanan bernama "Kuluban Sunda" yang berarti lalap. Eksistensi lalap pada pada masa itu memang populer.
Dilansir dari Isis Prawiranegara pada 1944, lalap tidak hanya berwujud daun-daunan, tetapi juga bisa berupa umbi-umbian, buah muda, bunga, hingga biji-bijian.
Dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian pada abad ke-15, dijelaskan beragam rupa masakan, seperti lawana (asin), kaduka (pedas), tritka (pahit), amba (masam), kasaya (gurih), dan madura (manis).
Susunan cita rasa itu, menurut Fadly menyiratkan rasa yang "Sunda banget". Selain itu, juga tidak menampilkan cita rasa yang sarat daging-dagingan, identik dengan budaya makan Sunda.
Hal ini dibuktikan dengan catatan Thomas Stamford Raffles yang menyebutkan pengembangan ternak sapi di Jawa Barat pada masa itu tidak berjalan dengan baik, berbeda dengan di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Ini diakibatkan oleh perbedaan iklim. Di Jawa Timur dan Jawa Tengah, curah hujannya rendah dan kondisi lahannya pun kering, sehingga budidaya ternak bisa dilakukan dengan baik.
Sebaliknya, Jawa Barat memiliki curah hujan yang tinggi. Selain itu, kondisi geografisnya menyebabkan Jawa Barat memiliki variasi tanaman pangan lebih banyak.
Sehingga tanaman pangan lebih banyak dimanfaatkan, misalnya sebagai lalapan. Minimnya sentuhan kuliner asing hingga abad ke-19 juga membuat kuliner Sunda ini terjaga, bahkan hingga sekarang.
AMELIA RAHIMA SARI