Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Organisasi masyarakat sipil menganggap Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (PDP) berpotensi mengancam kerja pers di Indonesia. Sebab, catatan kejahatan seseorang termasuk data pribadi yang dilindungi oleh undang-undang ini. Mereka yang mengumpulkan data kejahatan yang bukan miliknya dapat dikenai pidana.
Koalisi Advokasi RUU Pelindungan Data Pribadi menyebutkan, dalam Pasal 4 ayat 2 huruf d UU PDP, tertulis bahwa ruang lingkup data pribadi yang dilindungi undang-undang mencakup catatan kejahatan. “Kemudian pada Pasal 65 ayat 2 dan Pasal 67 ayat 2 diatur sanksi pidana tanpa memberikan batasan yang pasti atas pengertian setiap unsur,” kata Shevierra Damadiyah, perwakilan Koalisi, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Shevierra menjelaskan, pasal tersebut dapat digunakan secara tidak terukur oleh pihak tertentu, terutama penguasa. Media massa yang menjalankan kerja jurnalistik dalam mengumpulkan catatan kejahatan seorang tokoh atau pejabat publik pun dapat dipidana. “Jurnalis yang melaksanakan kerja jurnalistiknya akan dengan mudah dibatasi serta dikriminalkan,” katanya.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kemarin resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang PDP menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna Masa Persidangan I 2022-2023. Undang-undang ini terdiri atas 16 bab dan 76 pasal. Di dalamnya juga dirinci mengenai jenis-jenis data pribadi, hak subyek data pribadi, kewajiban pengendali data pribadi dan prosesor data pribadi, transfer data pribadi, serta sanksi administratif ataupun ketentuan pidana yang bisa dijerat dengan undang-undang ini.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate hadir dalam rapat paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 20 September 2022. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Dinilai Tak Efektif Tumbuhkan Kesadaran
Yayasan Tifa, anggota Koalisi, menyebutkan undang-undang yang dibuat pemerintah bersama parlemen ini hanya berfokus pada pengenaan sanksi. Padahal terdapat beragam level kesadaran dan kesiapan pengendali serta prosesor data di sektor publik dan privat. Penegakan hukum yang berbasis sanksi dinilai tidak efektif menumbuhkan kesadaran.
Menurut Koalisi, pemerintah seharusnya berfokus pada pendekatan edukatif, misalnya melalui konten-konten kreatif di iklan layanan televisi, radio, dan berbagai kanal media sosial. Selain itu, Koalisi mendorong agar pasal-pasal yang menyangkut pemidanaan dihapuskan.
Shevierra mengatakan, dalam UU PDP, terdapat ketentuan pidana tentang kejahatan cyber dependent crime dan cyber enabled crime. “Pada dasarnya, sejumlah larangan dalam RUU PDP sudah diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik, juga peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),” kata dia.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar, menyebutkan UU PDP bakal berisiko meningkatkan upaya kriminalisasi. Khususnya berkaitan dengan rumusan Pasal 65 ayat 2 juncto Pasal 67 ayat 2 yang mengatur larangan dan sanksi pidana. “Pada intinya, mengancam pidana terhadap seseorang atau korporasi yang mengungkapkan data pribadi bukan miliknya secara melawan hukum,” ucap dia.
Menurut Wahyudi, frasa “melawan hukum” dalam Undang-Undang PDP mengacu pada penggunaan data pribadi—termasuk pengungkapan data—yang tidak memenuhi persetujuan pemilik dapat dikatakan melawan hukum. Ketentuan ini merupakan bentuk ketidakpastian batasan frasa “melawan hukum” dalam pasal tersebut. Walhasil, aturan ini menjadi multitafsir dalam penerapannya sehingga berpotensi disalahgunakan untuk tujuan mengkriminalkan orang lain.
Wahyudi juga melihat adanya tantangan dalam implementasi UU PDP dalam penyiapan dan pembentukan berbagai regulasi pelaksana. Di antaranya, ketentuan dalam bentuk peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan lembaga, dan berbagai panduan teknis lainnya. Menurut dia, detail dan kedalaman dari berbagai peraturan teknis yang dirumuskan akan sangat menentukan dapat berlaku atau tidaknya undang-undang ini.
Tantangan implementasi ini bakal terbentur pada terbatasnya tugas, fungsi, dan wewenang yang dimiliki lembaga pengawas perlindungan data. Apalagi lembaga tersebut masuk dalam rumpun eksekutif atau di bawah kendali presiden. Akibatnya, lembaga itu tidak memiliki kelengkapan wewenang penyelesaian sengketa melalui mekanisme ajudikasi non-litigasi dan kewenangan mengeluarkan putusan mediasi ihwal ganti kerugian.
“Belum lagi problem batasan waktu (timeline) dalam pemenuhan hak subyek data oleh pengendali data, yang diatur secara rigid dan berlaku untuk semua sektor (keseluruhannya dirumuskan 3 x 24 jam),” ucap Wahyudi. Ketentuan tersebut dinilai akan menjadi kendala bagi pengendali data dari beragam sektor. Apalagi dengan corak dan model bisnis yang berbeda-beda, termasuk sektor publik, untuk dapat memastikan kepatuhan pada UU PDP.
Kewenangan Lembaga Pengawas Perlindungan Data Disoal
Pakar keamanan siber Vaksincom, Alfons Tanujaya, juga mewanti-wanti ihwal kewenangan lembaga pengawas perlindungan data dalam mengawasi dan mengevaluasi proses pengamanan data pribadi di setiap penyelenggara sistem elektronik (PSE). “Kedudukan lembaga ini harus lebih tinggi dari lembaga dan kementerian lain sehingga dapat menentukan siapa yang bertanggung jawab pada data kependudukan, data SIM card, dan berbagai jenis data pribadi lainnya,” ucap dia.
Pengelompokan tanggung jawab PSE ini dibutuhkan agar lembaga pengawas perlindungan data dapat mengawasi dan menindak pihak-pihak yang bertanggung jawab bila terjadi kebocoran data. Dia mencontohkan, dalam kasus kebocoran data kependudukan, banyak lembaga yang dapat mengakses nomor induk kependudukan, tak terkecuali dinas kependudukan dan pencatatan sipil di setiap daerah. Padahal mereka tidak mampu bertanggung jawab bila terjadi kebocoran data.
Alfons mendorong presiden agar memperkuat kewenangan lembaga pengawas perlindungan data supaya bisa mengawasi dan menjatuhkan sanksi kepada PSE yang mengalami kebocoran data. Dia sepakat lembaga ini diisi oleh orang-orang dari lintas kementerian dan lembaga yang memiliki kewenangan dalam menindak PSE. “Seperti satgas yang dibentuk Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan, seharusnya mereka tak hanya ditugaskan mengusut kebocoran data oleh peretas Bjorka, tapi juga mengawasi pengelolaan data pribadi lebih luas.”
Adapun Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate mengatakan UU PDP disiapkan untuk seluruh pihak yang memproses data pribadi masyarakat. "Belum tentu dia sempurna, tapi terus akan disempurnakan sejalan dengan perjalanan waktu perkembangan teknologi dan perubahan di masyarakat," ucapnya saat konferensi pers setelah pengesahan UU PDP.
AVIT HIDAYAT | DEWI NURITA | RIANI SANUSI PUTRI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo