Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JEPANG selalu berusaha menyempurnakan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelestarian, pengembangan, dan sosialisasi karya seni bangsanya. Salah satu momentum penyempurnaan itu dimulai ketika warga Jepang memasuki pekan istimewa Minggu Emas (Ogon Shukan).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Minggu Emas adalah sebutan untuk sebuah deretan hari libur yang kebetulan terkumpul dalam tujuh hari, mulai 29 April sampai 5 Mei. Keramaian seni ala Minggu Emas ini berketerusan sampai Hari Kebudayaan (Bunka no hi), yang jatuh pada 3 November. Kemudian semangat Hari Kebudayaan akan mengaktualisasi jejak seni Minggu Emas dengan segala yang baru, sampai menjelang Mei berikutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk menyongsong "pekan libur besar" itu, pemerintah, swasta, dan segenap stakeholder-nya membuat semarak semua tempat penghadiran karya seni. Dari panggung pentas sampai museum dan galeri. Berkait dengan itu, program-program pun banyak yang dibikin khusus, dengan paket-paket menarik, sekaligus dengan sajian khas Jepang yang eksekusinya sangat menghibur. Tentu lantaran disesuaikan dengan falsafah hari libur.
Program dan konsep kuratorial Museum Madame Tussaud di Tokyo adalah salah satu contohnya. Museum ini sekarang menghadirkan tema Red Carpet, yang di dalamnya menampilkan artis-artis sinema dan musik dunia. Dari Marilyn Monroe, Tom Cruise, Steven Spielberg, Bruce Willis, sampai Madonna. Walaupun ikon dari selebritas itu ternyata Yayoi Kusama, perupa kelahiran Matsumoto, Nagano, 1929. Yayoi, yang sebagian karyanya sedang dipamerkan di Museum MACAN, Jakarta, disejajarkan dengan Leonardo da Vinci. Penjunjungan Yayoi ini, seperti biasa, untuk menebalkan rasa percaya diri masyarakat Jepang yang sah buat mengaku sebagai "negeri juara".
Salah satu tempat pergelaran yang tampak sangat diperhatikan dalam promosi seni Jepang semester ini adalah Museum Lukisan Siluet (silhouette, bayangan) atau Museum Bayangan (Shadow Art Museum), yang dalam bahasa Jepang disebut sebagai Museum Kage-e no mori. Lantaran elemen utama lukisan adalah potongan kertas, ada yang menamai sebagai Museum Kiri-e atau Museum Seni Potong Kertas (paper cut).
Museum yang memajang lukisan Seiji Fujishiro (kelahiran Tokyo, 17 April 1924) dalam ruang gelap ini terdapat di sejumlah kota di Jepang. Yang pertama didirikan pada 1992 di Kofu, kota di lembah Shosenkyo nan molek, di Prefektur Yamanashi. Daya tariknya yang luar biasa menggugah Tokyo, Osaka, dan Kota Nasu di Prefektur Tochigi untuk membuat ruang pameran permanennya. Ketika Fujishiro berulang tahun ke-90 pada 2014, Museum Fukuoka juga menyediakan ruang untuk pameran besarnya, yang akhirnya diagulkan sebagai museum.
Sejak awal Mei semua museum ini gencar dipromosikan sebagai tempat kunjungan keluarga-temurun, alias semua umur. "Cicit, cucu, anak, menantu, kakek, nenek, dan mbah buyut akan menyenangi dan mengenangnya. Ini museum alam mimpi siapa saja," kata pemandu wisata seni. Pasalnya, sementara museum-museum lain berpretensi menyajikan atmosfer serius, Museum Kage-e no mori mengambil jalur sebaliknya: menghanyutkan penonton ke dalam suasana rileks.
Meski museum ini untuk keluarga-temurun, tidak berarti karya Fujishiro remeh-temeh dan mengabaikan bobot. Karena dalam realitasnya, seluruh aspek penggarapan lukisan siluet Fujishiro tampak amat rumit. Gubahannya yang beraroma ilustratif dalam corak dekoratif selalu disertai isen-isen (noktah pengisi) amat detail. Sementara itu, tema lukisan yang mengangkat dongeng klasik ternama dunia yang terbit di segala era menuntut Fujishiro terus membaca, mendalami, dan mengeksplorasi makna.
"Tujuan lukisanku sederhana: mengumpulkan endapan kenangan siapa saja, dan menjadikannya sebagai keindahan visual dalam kegelapan," tulis Fujishiro, yang tercatat sebagai alumnus Universitas Keio. Mengumpulkan endapan kenangan menjadi sebuah gambaran kehidupan adalah pekerjaan seorang jenius.
Ruang gelap museum yang disekat cermin-cermin seribu itu memang menenggelamkan. Setidaknya itulah yang saya rasakan pada Mei lalu di Museum Kage-e no mori Fujishiro di Tateshina. Di sini puluhan lukisan siluet Fujishiro terhadir dalam berbagai format. Ada yang berbentuk persegi dalam ukuran setengah meter, ada yang membentang di sepanjang dinding belasan meter dengan tinggi menyentuh plafon. Ada pula yang diformat sebagai tiang pilar berbentuk bulat dan persegi. Lukisan-lukisan itu segera menemui mata pelihatnya ketika lampu menyala sempurna di belakangnya. Warna-warna gemilangnya mengajak pandangan untuk serta-merta menangkap dimensi dan ilusi yang fantastis. Penggambarannya yang khas, yang kemudian banyak ditiru ilustrator seluruh dunia, kuat menjunjung jati dirinya.
Adapun tema lukisannya yang memungut berbagai cerita rakyat dan cerita anak-anak terkenal melibatkan pikiran dan perasaan penonton ke dalam kenikmatan pemahaman. Dari dongeng Pangeran Ivan dan Burung Merak Api (Rusia), Putri Kacang Polong (Denmark), sampai Burung Grip serta Panci Bubur Ajaib (Swedia). Juga romansa musik opera Hansel and Gretel karya Engelbert Humperdinck (1854-1921) dari Jerman. Bagian-bagian cerita yang dipetik dijadikan titik awal pengembangan imajinasi dan fantasi penonton.
Sebagai seniman "negeri juara", Fujishiro tentu tak mau melupakan folklore Jepang. Dongeng Kintaro yang selalu membawa masakari (kapak), Issun Boshi yang absurd dan lucu, serta Tamamo-no-mae yang legendaris diangkat dengan penuh ketelatenan. Tak terkecuali kisah Momotaro yang sangat disukai oleh rakyat Jepang. Momotaro adalah bayi yang ditemukan dalam buah persik raksasa yang hanyut dari hulu sungai. Si bayi kelak menjadi lelaki kuat pembela kebenaran setelah bertemu dengan anjing, monyet, dan burung pegar. Fujishiro pernah menganggap bahwa dirinya adalah si Momotaro. Oya, ia juga melukis tragedi reaktor nuklir dan tsunami Fukushima dengan keindahan optimistik, sambil membuang jauh-jauh citra yang miris.
Di tengah kegelapan, saya diam-diam mencari lukisan "Timun Emas" dan "Joko Tarub-Putri Tujuh". Namun tidak ada. Adakah Fujishiro tidak tahu cerita rakyat Indonesia itu? Atau lantaran ia belum sempat saja?
Fujishiro memberangkatkan ciptaannya dari keterampilan membuat kiri e: menggubah bentuk lewat potongan-potongan kertas. Maka figur-figur serta berbagai obyek ia bikin siluetnya dari potongan kertas hitam yang disayat silet. Potongan-potongan kertas itu kemudian ditempel di atas kertas kaca. Di lembaran kertas kaca kedua, ia melukis latar depan dan latar belakang yang berkaitan dengan adegan siluet figur-figur tadi. Pada kertas kaca ketiga, ia membasuhkan aneka nuansa yang membentuk atmosfer, seperti langit, sinar, taburan debu, dan jalannya angin.
Tiga lembar kertas kaca itu kemudian disusun terstruktur sehingga menjadi kesatuan dalam sebuah ruang atau kotak berlampu. Pengaturan struktur akan melahirkan dimensi, dan mengantar (potongan kertas) siluet menjadi hidup. Sebuah ide yang boleh saja mengingatkan kita pada khazanah seni tradisional Indonesia. Lantaran kita tahu bahwa seni siluet juga basis dari wayang kulit, yang kemudian dikembangkan jadi "seni potret profil siluet" yang dikerjakan sejumlah seniman di pasar seni. Melukis di kertas kaca sama belaka dengan seni lukis kaca yang selama ini dikerjakan di Cirebon, Surakarta, dan Naga Sepaha di Singaraja. Menggubah lukisan berbantu cahaya sama saja dengan konsep lukisan damar kurung yang dibikin Masmun dari Gresik. Fujishiro yang cerdik tampak mempertemukan ketiga unsur itu dalam sebuah kesatuan yang sangat mengesankan. Jepang pun lagi-lagi menjadi juara.
Kembali kepada persoalan awal: mengapa jagat kebudayaan Jepang mengangkat Museum Kage-e no mori Fujishiro menjadi titik perhatian. Musababnya ada dua. Pertama, karya-karya Fujishiro termasuk seni yang complicated (sehingga menakjubkan), tapi dengan eksekusi yang ringan dan menyenangkan. Maka konten moral lukisan yang ditawarkan merasuk di sela-sela perwujudannya yang sepenuhnya hiburan. Kedua, tema yang diangkat senantiasa kegembiraan yang muncul di tengah suasana perdamaian. Isi tema ini cocok untuk situasi dunia sekarang yang dicengkeram amuk di banyak sudutnya.
Seiji Fujishiro, yang memendam trauma bom atom Hiroshima dan Nagasaki dalam Perang Dunia II, memang ingin membawa siapa saja (dari anak-anak sampai mbah buyut) kepada kehidupan yang penuh rasa girang dan kecemerlangan.
Agus Dermawan T.
Pengamat Seni Rupa
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo