Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG perwira polisi terus saja menatap laptop di atas meja. Dari balik layar, tampak jelas wajah dua lelaki yang jadi buron kakap yang harus diciduk hidup atau mati: Azahari bin Husin, seorang pria berkacamata tebal, dan Noordin Mohammad Top. Sang perwira berpakaian sipil itu tak jemu memandang dua warga Malaysia yang dituduh berperan penting di balik ledakan bom di Bali, Oktober tahun lalu, dan di Hotel JW Marriott, Jakarta, awal Agustus lalu. Dari kakinya yang duduk selonjor di lobi hotel, tersembul pistol kecil di antara sepatunya.
Sejumlah rekannya tampak sibuk bicara sambil menelusuri daftar nomor di secarik kertas lusuh. Sedangkan di pelataran hotel terpencil di kawasan Dago, Bandung, Jawa Barat itu, mobil-mobil polisi, termasuk kendaraan Unit Olah Tempat Kejadian Perkara dari Kepolisian Kota Bandung, kerap singgah dalam pekan-pekan ini. Hingga malam larut pun, beberapa polisi berpakaian sipil dari Tim Khusus Antiteror Markas Besar Polri terlihat sibuk mengontak koleganya dengan telepon genggam. "Kami stand-by menunggu perintah," kata seorang dari mereka.
Para pemburu terus mengendus para buron kakapnya itu sampai ke pelosok pedesaan Lembang, Bandung Utara, hingga di kawasan berbukit-bukit yang susah dilalui, sampai di Gunung Batu. Ini lantaran Kepala Polda Jawa Barat, Inspektur Jenderal Dadang Garnida, menyatakan kedua teroris itu mungkin masih berada di wilayah Jawa Barat. Di kawasan itu pula, sinyal handphone Doktor Azahari, 45 tahun, dan Noordin, 33 tahun, terakhir "berkedip-kedip" sesaat setelah mereka lolos dari penyergapan, di rumah kos Jalan Kebon Kembang, Tamansari, Bandung, Kamis dua pekan lalu.
Sejauh ini polisi cuma bisa menangkap angin. "Sekarang kami kehilangan jejak. Kini harus 'manual' mencarinya," ujar sumber di Kepolisian Bandung. Cara ini memang merepotkan. Mereka harus benar-benar menajamkan kuping dan mengendus informasi yang masuk. Untuk meringankan kerja para detektif itu, menurut Dadang Garnida, pihaknya telah menyebar foto Azahari dan Noordin M. Top ke mana-mana. Diharapkan, dengan cara itu dapat dijaring info akurat dari para "cepu"—sebutan informan polisi.
Namun, dari pengamatan TEMPO, sebaran itu kurang bergema. Di kawasan Arcamanik, Kebaktian, kawasan Jalan Lingkar Selatan, Tegal Lega dan Dago Atas, belum ada selebaran yang disebut polisi sudah ditebar untuk memudahkan aparat mendeteksi sang buron. Cuma ada imbauan Wakil Gubernur Jawa Barat, Nu'man Abdul Hakim, agar seluruh elemen masyarakat, khususnya RT dan RW, meningkatkan kewaspadaannya. Dia juga meminta agar Forum Koordinasi Intelijen Daerah difungsikan untuk saling menukar informasi. "Jika ada warga ber-KTP Bandung tapi berlogat asing, harus lebih waspada," katanya.
Cara ini rupanya mengundang kritik. Menurut Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Herman Ibrahim, seorang pensiunan kolonel Angkatan Darat yang tinggal di Bandung, tindakan aparat yang memerintahkan agar warga melaporkan jika ada tamu aneh telah membuat suasana Kota Kembang mencekam. "Ini membuat paranoia, padahal modus operandi Azahari kan kepentingan Barat. Rakyat bukan sasaran mereka. Biarkan polisi bekerja mencari mereka," katanya.
Beberapa pintu keluar Jawa Barat juga dimonitor. Dari Cirebon di bagian timur, hingga Serang, Banten, di sebelah barat, korps baju cokelat memperketat pengamatan. Siapa tahu buruan mereka merencanakan ke luar kota. Beberapa kawasan sempat diaduk-aduk. Majalengka dan Indramayu juga kena sasar. Di dua tempat ini, polisi memperoleh informasi adanya kontak-kontak telepon mencurigakan. Sedangkan di Serang, ada suara yang menyebut dua buron itu bersembunyi di Menes, Banten Selatan.
Kepala Kepolisian RI, Jenderal Da'i Bachtiar, punya analisis lain. Menurut mantan Kapolda Jawa Timur itu, kemungkinan Azahari dan Noordin alias Isa sudah berada di tempat-tempat yang sebudaya. Apalagi dua warga negeri jiran itu tidak bisa meninggalkan dialek Melayunya. Mereka bisa cepat dideteksi lantaran tak bisa berbahasa Sunda, yang kerap dipakai sebagian besar masyarakat Jawa Barat. Jenderal Da'i menyebut, kemungkinan dua orang yang jadi patron para terpidana terorisme di Indonesia itu sudah berada di Batam, Pekanbaru, atau wilayah lain di Sumatera.
Analisis orang nomor satu di kepolisian itu bukan tanpa dasar. Di Sumatera, Azahari sukses mengecoh aparat dan menyamar selama hampir delapan bulan. Otak di balik aksi peledakan bom di Jalan Legian, Kuta, Bali, dan dekat Konsulat Amerika di Renon, Denpasar, pada 12 Oktober 2002 itu baru terendus polisi setelah anggota komplotan Idris alias Gembrot dicokok di Medan, Juli lalu. Dari sini polisi mendapat kepastian: pentolan Kumpulan Mujahidin Malaysia yang diburu pemerintah (kala itu) Perdana Menteri Mahathir Mohamad itu berpindah-pindah tempat.
Doktor Azahari memang cepat berkelebat. Ia disebut-sebut polisi pernah tinggal di rumah kontrakan di Jalan Mawar, Pekan Simpang Praman, Pekanbaru, Riau. Tak lama kemudian, sekitar April lalu, ia pindah ke Bengkulu. Di kota sepi di pantai barat Sumatera itu, Azahari dkk. tinggal di kios milik Asmar Latin Sani, alumni Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukohardjo, Jawa Tengah. Info itu semakin akurat setelah polisi menangkap karib Asmar Latin Sani, Sardona Siliwangi. Menurut Sardona, di Bengkulu itulah Azahari, yang menyamar sebagai Bahar dan Tohir alias Isa, merencanakan peledakan di Jakarta.
Di Bengkulu, "The Demolition Man", begitu julukan media massa Malaysia kepada Azahari, sibuk bikin rencana gawat. Dengan mobil minibus Panther, Azahari, Tohir, dan Asmar sempat memindahkan tujuh dus berisi bahan peledak yang dimasukkan ke dalam karung plastik. Di sini pula Sardona membuka rekening Bank BNI atas namanya. Namun buku dan ATM-nya diminta Noordin. Diduga dari rekening inilah dana-dana untuk Azahari dkk. dikucurkan dari luar negeri.
Berkat informasi Sardona pula, pengebom Hotel Marriott di Jakarta bisa segera terungkap. Sehari setelah peledakan, polisi sudah bisa mengumumkan pelakunya, yakni kelompok Jamaah Islamiyah Bengkulu. Ternyata polisi cepat menelisik peledakan yang menewaskan 12 orang itu dari pengurus Yayasan Darush Shufah, Jalan Padang Harapan, Bengkulu, yang langsung bisa mengenali kepala kakak seniornya di Pondok Ngruki, Asmar Latin Sani. Asmar diduga kuat sebagai pelaku "kamikaze" yang merontokkan sebagian bangunan hotel termahal di Ibu Kota—kerap jadi langganan Kedutaan Besar AS di Jakarta—pada 5 Agustus lalu itu.
Dalam berita acara polisi, Sardona memberikan keterangan penting. Pria yang hobinya bermain sepak bola itu menunjuk tempat yang pernah disinggahi trio Asmar, Tohir, dan Azahari, yakni di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Dari sini, bahan peledak itu kemudian dibawa ke tempat kontrakan mereka di Jalan Kemuning, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Namun, berdasarkan keterangan Rudiyanto, 23 tahun, teman kos-kosan Tohir, sebelum peledakan Marriott, mereka sudah berada di rumah kos Jalan Cigadung, Bandung.
Polisi menduga, cara ini sengaja mereka tempuh. Walaupun sudah mengontrak rumah di Jakarta, mereka masih terus nomaden untuk mengelabui aparat. Rumah kontrakan di Pasar Minggu kemungkinan hanya dihuni oleh Asmar, lantaran sejak Juli sampai Agustus, Azahari, Noordin, Tohir, dan Ismail tinggal di rumah kos mahasiswa di Cigadung. Kepada tetangga kamar, Tohir mengaku bernama Ikhwan, sedangkan Ismail menyamar sebagai Hariyadi. "Tapi mereka jarang bergaul dengan anak kos di kamar tetangganya," kata Rudi, mahasiswa Universitas Pasundan.
Di Cigadung, mereka cuma tinggal sebulan. Keempatnya lalu pindah lagi ke tempat kos di Jalan Kebon Kembang, kawasan Tamansari, dekat kampus ITB. Di tempat ini, doktor lulusan London, Inggris, yang mengaku sebagai mahasiswa pascasarjana ITB itu lolos dari sergapan polisi pada Kamis, 30 Oktober lalu. Alamat kos dan posisi Azahari didapat polisi setelah mencokok kawan Azahari, Tohir alias Masrisal dan Ismail, di Cirebon, Jawa Barat. (Lihat Sahur Terakhir di Warung Jamblang, TEMPO, 9 November 2003)
Tohir juga memasok kabar ihwal jejak Azahari. Sebelum mereka ke Jakarta, dari Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, pada Mei-Juni lalu, Azahari sempat tinggal di rumah kos Birto di Jalan Kedelai, Gedong Meneng, Bandar Lampung, tak jauh dari Universitas Lampung. Namun pemilik kos, Ny. Acah Rosmulyati, menolak jika disebut Azahari pernah tinggal di salah satu kamar dari 50 kamar kosnya, karena ia rajin meneliti asal-usul calon anak kos. "Tidak mungkin Azahari pernah tinggal di sini," katanya. Toh, Ny. Acah mengaku tak bisa memantau siapa saja yang datang berkunjung atau menginap di tempat itu.
Di Lampung, polisi pun sudah bersiaga. Mereka tak ingin kecolongan, kemasukan Azahari untuk kedua kalinya. Apalagi Lampung menjadi pintu masuk menuju wilayah Sumatera. Foto Azahari sudah disebar di setiap pos polisi. Kepala Polda Lampung, Brigadir Jenderal M.D. Primanto, sudah mengeluarkan instruksi untuk memelototi pendatang yang masuk Pelabuhan Bakauheni. Instruksi itu ditujukan kepada Direktorat Reserse dan Kriminal, Direktorat Intelijen dan Keamanan, serta Direktorat Polisi Air dan Udara.
Ruang gerak Azahari sudah dipersempit. Sejumlah tersangka yang terakhir berhubungan dengannya sudah dicokok. Bom-bom rakitan yang pernah tersisa di pelbagai tempat, kecuali yang meledak, sudah "diamankan"—termasuk yang disimpan di rumah kos Kebon Kembang itu. Toh, aparat tetap saja berupaya menangkapnya dengan berbagai cara: menelusuri sinyal telepon, menyebarkan foto buron, mengembangkan pengakuan teman-temannya di tahanan, hingga mengamati raut wajahnya di layar laptop, berlama-lama.
Edy Budiyarso, Bobby Gunawan, Upiek Supriyatun (Bandung), Fadilasari (Lampung), Saiful Bukhori (Bengkulu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo