Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kami ingin menyampaikan beberapa hal berkaitan dengan pemberitaan Majalah TEMPO Edisi 18-24 Agustus 2003, yang sangat membesar-besarkan tokoh pemberontak yang bernama Daud Beureueh. Dalam berbagai tulisan di edisi tersebut, Beureueh disebut sebagai tokoh yang sangat membela Indonesia merdeka.
Kami sangat menyayangkan pemberitaan yang membesar-besarkan tokoh pemberontak ini, karena hal tersebut akan mempengaruhi dan besar dampaknya bagi para pengikutnya yang berjiwa separatis dan anti-integrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selain itu, menyanjung tokoh pemberontak mendorong semangat para simpatisannya untuk kembali berbuat makar karena, dalam pemikiran mereka, andaikata tidak berhasil, akhirnya mereka juga akan dianggap sebagai pahlawan. Sebagaimana diketahui, baik Daud Beureueh maupun Hasan Tiro tangannya sudah berlumuran darah rakyat Aceh sendiri maupun darah para putra terbaik bangsa, yaitu para prajurit TNI yang telah berkorban jiwa raganya demi menyelamatkan daerah Aceh agar tidak terlepas dari Negara Kesatuan Indonesia.
Majalah TEMPO edisi tersebut juga telah menyiarkan kebohongan publik dengan memampangkan gambar Daud Beureueh dengan seragam kebesaran Jenderal TNI, padahal diketahui yang bersangkutan tidak pernah memakai dasi, tidak pernah memakai topi pet jenderal, dan lebih fatal lagi tidak pernah menerima bintang jasa, tetapi tanda-tanda bintang jasa berjejer di dada pakaian seragamnya.
Walaupun diketahui Daud Beureueh jasanya juga banyak, tetapi, sampai mengangkat senjata melawan pemerintah yang sah dan sampai mengorbankan rakyat banyak demi mempertahankan korps Gubernur Militer Aceh, dia tetap harus dicap sebagai pemberontak. Ingat pepatah yang mengatakan, ”Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.”
Kami mengharapkan TEMPO lebih selektif dan obyektif memuat hal yang berkaitan dengan tokoh-tokoh yang berseberangan, yang sesungguhnya adalah musuh rakyat banyak, musuh bangsa dan negara.
MUHAMMAD ARSYAD
Jalan Tgk. Di Blang 6
Banda Aceh
Penjelasan PT Intrasarana Tata Utama
Membaca berita mengenai pemuatan nama perusahaan kami, PT Intrasarana, di halaman 133 TEMPO Edisi 3-9 November 2003 mengenai Surat Kredit Antah Berantah, kami ingin menjelaskan beberapa hal:
- PT Intrasarana melalui salah satu anak perusahaannya, yaitu PT Cipta Intrasarana Intitama, merupakan salah satu anggota konsorsium pemegang kuasa atas saham PT Bukaka Marga Utama (pemegang lisensi jalan tol Ciawi-Sukabumi).
- Dana Rp 1,4 miliar yang masuk di rekening PT Intrasarana merupakan dana milik konsorsium pemegang saham PT Bukaka Marga Utama. Dana tersebut adalah pengganti dana pra-operasi proyek tol Ciawi-Sukabumi. Dana sejumlah itu merupakan sebagian dari sejumlah dana yang harus disetor oleh PT Sagared Bhumi Korindo dalam rangka pengambilalihan proyek jalan tol Ciawi-Sukabumi, sesuai dengan perjanjian investasi PT Sagared Bhumi Korindo dengan konsorsium pemegang saham PT Bukaka Marga Utama.
- PT Intrasarana sama sekali tidak mengetahui sumber dana setoran PT Sagared Bhumi Korindo kepada konsorsium pemegang saham PT Bukaka Marga Utama sejumlah Rp 1,4 miliar tersebut.
IR. BAMBANG SUSILO
Direktur Utama PT Intrasarana Tata Utama
Graha Pratama Lt. 18, Jalan MT Haryono Kav. 15
Jakarta 12810
Pimpinan atau Pemimpin?
Dalam TEMPO Edisi 27 Oktober-2 November 2003, pada halaman 46, TEMPO menulis: ”Ada persamaan antara Presiden George Walker Bush dan pimpinan Pondok Pesantren Daarut Tauhid, Abdullah Gymnastiar.” Bukankah kata yang tepat adalah pemimpin, bukan pimpinan? Sebagai pembaca TEMPO, saya selalu berharap agar TEMPO selalu ”Enak dibaca dan Perlu”.
Saya juga mengajukan keberatan atas penggunaan kata ”gizi” dalam konotasi negatif yang akhir-akhir ini digunakan untuk menggantikan kata ”uang sogokan” dalam dunia politik. Anak-anak balita kita masih banyak yang kurang gizi, dan perlu pendidikan gizi kepada masyarakat luas. Apa jadinya jika kata ”gizi” digunakan dalam konotasi negatif.
MOCHAMAD RAHMAT
Jalan Rambutan 59 RT 14/I
Jagakarsa, Jakarta Selatan
Kampanye Simpatik
Kampanye partai model urakan dengan pengerahan manusia, sebagai bentuk show of force yang sering menyebabkan lalu-lintas macet dan bahkan bisa menjadi bibit terjadinya konflik atau keonaran, sudah waktunya diganti. Saya mengharapkan partai politik kita melaksanakan kampanye tertib dalam gedung, taman-taman, dan yang paling inti melalui media televisi, program promosi dalam bentuk cetakan atau bentuk lain.
Stasiun televisi harus menyiapkan jam-jam tayang utama untuk promosi partai yang terjadwal dan dipandu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), termasuk biaya yang bisa dijangkau semua partai, dari partai kecil sampai partai besar.
Dengan cara seperti itu, para pemuka partai dapat menyampaikan misi dan visi partai dan mengetengahkan ”curiculum vitae” anggota-anggota inti partai. Selain itu, langkah seperti itu bisa menghalangi terjadinya rapor karangan belaka. Lebih dari itu, semuanya harus mendapat pengesahan dari lembaga konsultan profesional. Dengan usulan di atas, diharapkan tidak terjadi kerusakan dan kemacetan jalan. Selain itu, penyampaian pesan-pesan partai bisa lebih bermutu dan berkualitas. Penyimpangan terhadap prosedur penyampaian harus diberi sanksi yang tegas.
Pemasangan bendera parpol dikoordinasi dan dilakukan oleh negara dan dibuat seperti pemasangan-pemasangan bendera pada berbagai event olahraga atau konferensi di jalan-jalan protokol. Diharapkan, bentrokan model Buleleng sudah dapat diantisipasi dengan kampanye model baru. Dan jatuhnya korban sia-sia bisa dihindari.
IR. LIE GAN YONG
Jalan Balai Pustaka IV No. 3
RT 11/10
Rawamangun, Jakarta Timur
Rancangan KUHP
Konon, draf terakhir rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disusun pada tahun 1992, ketika Orde Baru sedang berjaya dengan peranti otoriterismenya. Artinya, lembaga eksekutif teramat sangat superkuat. Sebaliknya, lembaga legislatif dan yudikatif dibuat lemah dan/atau di bawah standar institusi yang sama di negara-negara yang menjunjung tinggi doktrin demokrasi.
Situasi dan kondisi model ini pasti memberi warna kelabu terhadap sejumlah pasal, selaras selera rezim penguasa saat itu ketika unjuk kebolehan ”kontrol pada pers” terhitung overdosis. Salah satu contohnya, kebebasan berekspresi dan berpendapat serta kemerdekaan pers kini kian terbelenggu.
Buktinya, lihat saja pada pasal-pasal dalam rancangan terkait yang menyangkut kehidupan pers dan masyarakat. Belum lama ini, Ketua Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI), Leo Batubara, mengungkapkan adanya Pasal 271 dalam draf revisi KUHP yang berpotensi mengekang pers. Bunyi pasal tersebut, ”Setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berita yang berlebihan, atau berita yang tidak lengkap, padahal diketahui atau patut diduga bahwa berita tersebut akan atau mudah dapat mengakibatkan timbulnya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Kategori III.”
Lolosnya pasal ini di samping pasal-pasal senada menunjukkan bahwa wujud demokrasi produk Pemilu 2004 mendatang sebangun dengan kedaulatan di tangan penguasa setipe, bahkan lebih parah dari, rezim kolonial.
Cita-cita luhur reformasi melahirkan undang-undang menyangkut pers Indonesia yang ”merdeka dan bertanggung jawab” dapat menjadi berantakan. Sadar ataupun tidak, pasal-pasal bermasalah pada rancangan KUHP dimaksud berseberangan dengan kemerdekaan pers sebagai hak dasar manusia, yang di Negara Kesatuan Republik Indonesia terayomi Pancasila, di antaranya sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Suatu sila yang seirama dan/atau terkait dengan kemerdekaan pers global bangsa-bangsa maju.
Kunci utama membuka pintu reformasi lebar-lebar, antara lain untuk kemerdekaan pers anak bangsa, ada di tangan lembaga Mahkamah Agung dan/atau Komisi Institusi, yang menjunjung tinggi roh dasar dan UUD 1945. Sudah pada saatnya, lembaga atau institusi ini membuktikan kemandiriannya sekaligus memproteksi dinamika reformasi dalam rangka upaya menegakkan supremasi hukum yang berpihak pada kubu pers dan masyarakat. Semoga harapan ini bukanlah sekadar harapan.
SUNGKOWO SOKAWERA
Jalan Rancamanyar I No. 17
Bandung 40275
Judi di Mangga Besar
Kita sudah mendengar bahwa Indonesia telah dikukuhkan menjadi negara keenam terkorup di dunia. Dan kita juga masih ingat bagaimana wakil presiden dengan lantang mengatakan, ”Tolong beri tahu saya jika terjadi korupsi.” Pemerintah sebetulnya tak sulit menemukan di mana korupsi mudah terjadi. Menurut saya, profil yang paling mudah untuk dipelajari adalah maraknya perjudian gelap tapi terang di Ibu Kota Jakarta.
Di wilayah Mangga Besar IV, Jakarta Pusat, berdiri sarang judi secara terbuka nonstop 24 jam. Pusat perjudian ini sangat mengganggu dan meresahkan warga sekitarnya. Dan yang paling tidak masuk di akal adalah, sarang judi tersebut sangat berdekatan dengan berbagai kantor instansi vital pemerintah seperti kantor pajak, kantor kelurahan, kecamatan, pos polisi, kantor koramil, dan lain-lain.
Anehnya, jika peristiwa itu diinformasikan kepada pejabat setempat, aparat kepolisian akan menjawab, ”Belum tahu, dicek dahulu, atau sedang dipantau.” Saya pernah mendengar jawaban yang paling ekstrem, ”Biarkan saja, tunggu keputusan atasan.”
Padahal kita semua tahu bahwa kerusakan moral yang ditimbulkan perjudian sudah sangat nyata sekali. Bahkan, kegiatan bisnis haram yang satu ini tidak mengenal kata toleransi untuk menghormati bulan suci Ramadan.
Saya mengharapkan para anggota parlemen, yudikatif, pejabat pemerintah, kaum agamawan, dan para peduli bangsa bersatu memerangi sindikat mafia judi di tanah air Indonesia. Harus diakui, perjudian dalam segala bentuknya kini kian hari kian mewabah, merusak dan menghancurkan moral bangsa.
Nama dan alamat ada pada redaksi.
Kereta Eksekutif Jabotabek
Saya pengguna jasa kereta api ekspres Bekasi-Jakarta. Pada awal-awal pengoperasiannya, penumpang kereta api berpendingin udara ini merasa sangat nyaman. Kereta api selalu dalam keadaan bersih dan para penumpang juga tertib. Perjalanan kereta api juga tepat waktu. Bisa dibilang, pelayanan PT Kereta Api Indonesia Divisi Jabotabek sudah memenuhi standar yang diharapkan para penumpang kelas menengah ke atas.
Sayangnya, pelayanan PT Kereta Api Indonesia belakangan ini melorot tajam. Mesin pendingin udara tidak bekerja optimal, sehingga bukan hawa dingin yang terasa melainkan semprotan angin belaka. Selain itu, jadwal kereta api Jakarta-Bekasi, terutama yang terakhir (pukul 18.17 WIB), selalu terlambat, bahkan sampai satu jam.
Lebih dari itu, penumpang liar mulai bermunculan. Mereka tidak pernah membeli tiket di loket resmi, dan membayar di atas kereta api. Harga yang mereka bayar hanya separuh tiket resmi. Biasanya, mereka naik dari tempat masinis. Kejadian seperti ini sudah berlangsung hampir dua bulan ini.
Kondisi seperti itu sungguh ironis. Ketika PT Kereta Api Indonesia selalu mengeluh operasinya di Jabotabek tak pernah untung, peluang untuk mendapatkan pemasukan dari kelas eksekutif justru disia-siakan. Saya sangat menyayangkan perilaku pegawai Kereta Api Indonesia yang seperti tak punya ”rasa memiliki”, sehingga mengorbankan kepentingan perusahaan.
Saya juga kecewa dengan petinggi PT Kereta Api Indonesia yang tak pernah melihat kenyataan di lapangan sehingga praktek seperti itu terjadi. Semoga PT Kereta Api Indonesia menjadi semakin lebih baik.
M. TAUFIQUROHMAN
Taman Kebalen Indah
Bekasi
Ralat
Dalam TEMPO Edisi 3-9 November 2003, rubrik Nasional, berjudul Korban dari ’Teroris’ Lokal, di halaman 27, pada paragraf pertama tertulis, ”Ratusan kader Golkar berseragam kuning tumpah-ruah di situ”. Yang benar adalah tidak ada seorang pun pelayat berpakaian kuning saat mengantarkan jenazah kedua kader Golkar tersebut. Semua memakai pakaian hitam atau warna gelap. Massa yang mengantar hanya puluhan orang saja.
Masih di halaman 27, pada kolom kedua, ada kalimat, ”...anggota Satuan Tugas (Satgas) PDI Perjuangan terkena lemparan batu ketika melintas di depan kantor Partai Golkar, Buleleng. Sebuah mobil ikut disandera. Informasi yang betul, tidak terlihat mobil PDI Perjuangan yang disandera Partai Golkar. Atas kekeliruan tersebut, kami mohon maaf.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo