Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPEKAN setelah dilantik sebagai Jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh langsung tancap gas. Bak hendak bergegas membuktikan janjinya membuka kasus-kasus korupsi besar yang lolos lantaran mendapat surat penghentian penyidikan perkara (SP3), Abdul Rahman membentuk tim pengkaji SP3.
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), tak kurang dari 40 tersangka koruptor yang mendapat SP3, di antaranya ada penilap dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan nilai lebih dari Rp 100 triliun. "Dalam seratus hari pertama, kejaksaan akan mengkaji ulang lima kasus besar," ujar Sudhono, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, akhir November lalu.
Ada tiga kasus besar yang kemudian diteropong kejaksaan, antara lain perkara perjanjian kontrak kerja (technical assitance contract/TAC) antara Pertamina dan PT Ustraindo Petro Gas, dan dana BLBI yang melibatkan konglomerat Sjamsul Nursalim. Hingga saat ini, yang terdengar santer baru kasus TAC, yang melibatkan bekas Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita.
Tiga bulan lalu, Ginandjar selamat dari jerat hukum berkat SP3 yang dikeluarkan Jaksa Agung kala itu, M.A. Rachman. "Tim yang mengkaji kasus itu menemukan dugaan pe-nyimpangan pada pelaksanaan proyek senilai US$ 24,8 juta itu," ujar Sudhono. Tapi, apakah pencabutan SP3 akan disusul pengusutan serius?
Ambil contoh kasus Djoko Ramiadji, pengusaha yang dituduh merugikan negara Rp 301 miliar lantaran menyalahgunakan commercial paper (CP) Hutama Karya dalam proyek jalan tol Jakarta Outer Ring Road (JORR). Pada September 1999, kejaksaan mengeluarkan SP3 atas kasus ini?dua tahun kemudian, Mei 2001, SP3 itu dicabut.
Kejaksaan memiliki bukti baru: CP yang diterbitkan konsorsium Hutama Karya untuk menambah biaya proyek jalan tol Cawang-Tandjung Priok itu tidak laku di pasar. Djoko pun diperiksa lagi. Selang dua tahun, eh, Kejaksaan menghentikan kasus ini. Alasannya, tak ditemukan kerugian negara. "Hasil penyidikan kasus ini tetap sama, baik sebelum maupun setelah dikenakan SP3," ujar Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung ketika itu, Untung Udji Santoso.
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh kepada Tempo menyatakan tak bisa menjamin SP3 yang dikaji instansinya berlanjut ke pengadilan. Kejaksaan, katanya, tak pernah bermaksud melakukan "buka-tutup" perkara. "Kalau tersangka menyembunyikan fakta yang baru diketahui, apa boleh buat," ujarnya. Menurut Abdul Rahman, anggota tim pengkaji SP3 berjumlah besar agar lebih obyektif.
Abdul Rahman sendiri kini memasukkan orang luar untuk mengkaji kasus-kasus yang mendapat SP3. Mereka, disebut sebagai tim ahli Jaksa Agung, terdiri dari pakar hukum, pakar perbankan, dan praktisi. Abdul Rahman mengharapkan tim ini bisa mengoptimalkan kinerja kejaksaan. "Mereka diangkat lewat surat keputusan. Jadi, resmi," katanya.
Satu di antara para anggota tim ahli, Iskandar Sonhadji, mengaku siap membantu Abdul Rahman. "Pekan ini kami akan berkumpul membicarakan tata cara kerja tim," kata pengacara ini. Selain Sonhadji, dalam tim ini antara lain ada guru besar hukum pidana Universitas Trisakti, Andi Hamzah, dan pengamat perbankan, Pradjoto.
Tugas tim itu, kata Sonhadji, terutama memberikan pendapat kedua (second opinion) kepada Jaksa Agung tentang kasus-kasus korupsi kelas kakap yang dikaji Kejaksaan. "Keputusan akhirnya tetap pada Jaksa Agung," katanya. Kendati demikian, Iskandar menegaskan, timnya akan mundur jika Abdul Rahman tak menggubris masukan tim mereka. "Kalau setelah beberapa masukan tim kami tidak dipakai Jaksa Agung, ya lebih baik kami mundur."
Koordinator Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Asep Rahmat Fadjar, mengkhawatirkan munculnya konflik kepentingan jika ternyata kasus yang dikaji itu pernah ditangani anggota tim. Karena itu, Asep mewanti-wanti perlunya aturan main bagi tim ahli. "Kalau ada anggota tim pernah menangani kasus yang sedang mereka kaji, dia harus sadar diri untuk mundur," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo