Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibarat mencari jejak di lumpur basah. Itulah tamsil perkara perburuan dua buron teroris: Azahari dan Noordin Moh. Top, yang diduga sebagai arsitek serangkaian aksi teror bom sejak bom Bali hingga bom di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta. Sempitnya waktu?Presiden Yudhoyono meminta keduanya sudah tertangkap dalam seratus hari?malah membuat polisi kebingungan.
Ke manakah kedua pria yang disayembarakan polisi Rp 1 miliar itu? Pemerintah mantan presiden Megawati sudah lama memburunya, sampai Mega kemudian turun takhta. Kini pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menargetkan bisa meringkus keduanya dalam seratus hari. Dan SBY pun gagal.
Polisi yakin, dua buron asal Malaysia itu masih ada di Jawa. "Kita fokuskan pencarian di Jawa," kata Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar, pekan lalu di Is-tana Negara. Artinya, jika polisi benar, duet pelarian itu tak jauh-jauh amat dari Jakarta, masih di seputar Jawa.
Seorang petinggi Markas Besar Polri menuturkan, selama Agustus hingga Oktober 2004, keduanya bergerak di Jawa Barat dan Banten. Sebelumnya, dari akhir 2003 hingga Juli 2004, mereka ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. "Terakhir, mereka ke timur, menjauh dari Jakarta," katanya.
Polisi yakin keduanya akan kembali ke Jakarta untuk beraksi. Dugaan ini datang dari hasil interogasi sekitar 220 tersangka pengeboman?130 di antaranya sudah divonis?yang sudah tertangkap. Polisi juga mempelajari pola aksi keduanya. Target utama mereka?kecuali Bali tahun 2002 lalu?adalah Jakarta. Ini terbukti mulai dari bom di depan Kedutaan Besar Filipina, Hotel Marriott, hingga Kedutaan Besar Australia, yang semuanya di Jakarta. "Jakarta paling tinggi nilai internasionalnya," kata seorang pejabat teras Satuan Antiteror kepada Tempo.
Dugaan bahwa mereka masih di Jawa juga datang dari Komandan Resor Militer 063 Sunan Gunung Jati, Cirebon, Kolonel Infanteri Imam Santoso, pekan lalu. Menurut dia, ada tiga titik lokasi di tiga kabupaten di wilayah pantai utara Jawa Barat yang tercium intel tentara sebagai persembunyian. Lokasi itu masing-masing sebuah tempat di Kabupaten Subang, Indramayu, dan Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon. "Mereka sempat berpindah-pindah di titik-titik lokasi itu," kata Imam Santoso pekan lalu.
Tapi ya itulah, semua hanya bisa sebatas mencium jejaknya. "Kita kalah karena kurang terpadu antara polisi dan TNI," tutur Imam. Padahal, seluruh kekuatan intelijen tentara sudah dikerahkan.
Anggota Satuan Tugas Antiteror pun digenjot untuk terus berburu. Sebagai satuan khusus, tim ini mestinya mampu bergerak cepat. "Jika ada kejadian, kami bisa menjangkau dalam hitungan jam," kata seorang polisi berbintang satu di Mabes Polri. Anggota Satgas Antiteror tersebar di Jawa dalam ra-dius per seratus kilometer. Toh tim khusus pun gagal. "Dalam banyak kasus, lolosnya buron karena lemahnya satuan polisi wilayah," kilah sumber itu.
Dua tupai licin itu memang pandai melompat. Mereka memang pernah membuat kesalahan. Di Cicurug, Sukabumi, jejak mereka secara kebetulan terkuak ketika bom rakitan meledak di sebuah rumah kontrakan Oktober lalu. Tapi lagi-lagi mereka lolos. Tim Satgas Antiteror yang datang hanya bisa merekonstruksi kejadian.
Kendurnya penyisiran di daerah sempat dikritik keras oleh Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar sendiri. Ia menilai anak buahnya terlalu pasif. "Masih banyak polisi cuma menunggu di kantor. Alasannya..., habis masyarakat lama sih lapornya," kata Da'i, akhir Oktober lalu. Pernyataan itu muncul tak lebih sebulan setelah tekad membekuk kedua buron dalam seratus hari dinyatakan.
Da'i lantas memerintahkan penambahan mobil dan motor untuk meningkatkan mobilitas polisi. "Mobil dan motor ditambah supaya polisi jangan nongkrong di kantor. Polisi harus mobile," katanya. Tim pengejaran juga ditambah. Bahkan kini Satuan Tugas Antiteror diberi fasilitas pesawat terbang dan helikopter yang siaga 24 jam.
Entah apakah semua itu cukup membantu proses pengejaran. Yang pasti, belakangan Kapolri kemudian berbalik optimistis. Da'i yakin penangkapan keduanya tinggal soal waktu. "Semakin cepat, semakin baik. Dan itu hanya soal waktu," katanya di depan Komisi III DPR RI, akhir November silam. Kapolri mengaku sudah punya kiat untuk menangkap Azahari dan Noordin. Di depan wakil rakyat, ia juga membeberkan sejumlah keberhasilan Tim Antiteror Detasemen 88 mengungkap pelaku pengeboman Kedutaan Besar Australia, 9 September 2004.
Keyakinan Da'i saat itu didorong oleh keberhasilan polisi menangkap empat dari sembilan tersangka bom Kuningan. Gelombang penangkapan pertama berlangsung tak sampai sebulan setelah ledakan yang menewaskan belasan orang tersebut. Saat itu, polisi sudah berhasil membekuk Rois alias Iwan Darmawan, Hasan alias Purnomo alias Agung, Apuy alias Saiful Bahri, dan Sogir alias Anshori, di Jawa Barat, Banten, dan Lampung.
Tapi, hampir seratus hari berlalu, toh Azahari dan Noordin tetap lolos. Polisi akhirnya harus mengakui mereka kalah licin. "Mereka tahu kalau diintai di terminal besar, makanya mereka tak pernah turun di terminal besar," kata perwira tersebut. Sang buron juga tahu, kini rawan bagi mereka naik angkutan kota karena selebaran foto mereka sudah dipampang di mana-mana.
Penampilan pun berubah. Dari tersangka bom Kuningan diketahui Azahari sudah mengubah kacamata lebarnya menjadi kacamata sedang. Begitu pun Noordin. Ia sudah mencukur habis jenggotnya. Alhasil, wajah keduanya sama sekali berbeda dengan wajah yang terpampang di poster-poster yang disebar polisi.
Bukan hanya mengubah penampilan, mereka berdua juga sangat berdisiplin menjaga kerahasiaan operasi. Seluruh inti operasi mereka tangani langsung, orang lain hanya pelengkap. Perekrutan pun berlangsung ketat dengan sistem sel?para anggota baru sulit mengenali satu dengan lainnya. Mereka juga selalu membentuk kelompok baru setiap akan beraksi. Begitu aksi selesai, kelompok ini ditinggalkan, lalu Azahari dan Noordin kabur ke tempat lain.
Selain itu, pembagian tugas antara Azahari dan Noordin cenderung tetap. Menurut Ismail, salah seorang terdakwa bom Marriott, 5 Agustus 2003, Noordin sebenarnya lebih banyak berperan ketimbang Azahari. Selain menjadi ketua tim yang memberikan tugas dan perintah, Noordin juga merangkap bagian pendanaan, sedangkan Dr Azahari menjadi penasihat dan perakit bom. Noordin juga bertugas menyediakan bahan peledak dan eksekutor yang meledakkan dirinya.
Bahkan perintah survei lokasi berasal dari Noordin. "Ia menyuruh saya dan Azahari mensurvei empat lokasi," kata Ismail. Setelah mereka mendapat "pembantu" yang layak dipercaya, pembantu inilah yang bergerak. Dalam kasus bom Kuningan, misalnya, peran sebagai pengamat dijalankan Rois. Rois-lah yang merekrut Heri Golun, pelaku bom bunuh diri di Kedutaan Besar Australia. Rois juga melatih anggota baru itu?antara lain Apuy?serta menyiapkan tempat persembunyian Azahari dan Noordin M. Top. Rois pula yang membeli mobil boks Daihatsu putih untuk diledakkan.
Pola yang agak berubah adalah cara perekrutan. "Mereka tidak lagi menggunakan jaringan Jamaah Islamiyah. Kini, siapa pun bisa dipakai," kata sang petinggi polisi. Dalam kasus Marriott, mereka menggunakan jaringan Negara Islam Indonesia. Sedangkan dalam kasus bom Kedutaan Besar Australia, mereka menggunakan jaringan orang-orang biasa.
Meski belum berhasil menangkap Azahari dan Noordin, polisi mengaku belum gagal total. Dari sembilan pelaku bom Kuningan, mereka berhasil menangkap enam orang. Yang belum tertangkap adalah Azahari, Noordin M. Top, dan Jabir. "Terserah sekarang masyarakat yang menilai," kata seorang perwira di Satuan Tugas Antiteror.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo