Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tiga Bulan Jalan di Tempat

Ada sejumlah gebrakan, tapi koruptor kakap masih bebas berkeliaran. Komisi Pemberantasan Korupsi pun loyo.

31 Januari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ruang tamu lapang itu nyaris sepi dari hiasan. Satu-satunya aksesori yang mencolok hanya potret keluarga berukuran 2x1,5 meter persegi. Di situ tampak Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh bersama istri, tiga anak, dua menantu, serta dua cucunya. "Cucu saya ikut orang tuanya di Amerika. Sepi rasanya," kata Abdul Rahman. Di dekat kursi tamu berdiri sebuah papan dengan gulungan kertas untuk corat-coret. Di situlah, di ruang tamu rumah dinasnya di Jalan Denpasar, Abdul Rahman kadang-kadang memanggil stafnya untuk menerangkan secara detail sebuah kasus korupsi.

Menarik membayangkan bahwa di ruang sederhana itulah Rahman dan para stafnya membahas ratusan?mungkin malah ribuan?miliar uang negara lenyap di tangan para koruptor. Tak jarang, rapat dadakan itu berlangsung sampai malam. Dan bila sudah begini, Rahman akan mendengar dengan cermat uraian anak buahnya. Sesekali, dia akan menyela, lalu rapat akan ditutup dengan perintah-perintah lisan kepada para stafnya.

Memang, sejak dilantik sebagai Jaksa Agung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rahman ibarat menjadi "panglima perang" pemberantasan korupsi. Mencokok para koruptor adalah perintah pertama yang dia terima dari Yudhoyono begitu dia dilantik sebagai Jaksa Agung tiga bulan lalu. "Semua kasus besar yang menarik masyarakat akan kita periksa kembali," ujarnya kepada Tempo sehari sebelum pelantikan. Mission impossible? "Saya di-back up Presiden," kata Rahman optimistis.

Rahman pun segera menggebrak. Sepekan setelah dilantik, dia mengumpulkan semua Kepala Kejaksaan Tinggi. Perintahnya lugas: percepat proses kasus-kasus korupsi yang ditangani. Ia juga menjamin tak ada lagi kesulitan mendapat izin presiden untuk memeriksa pejabat daerah. Maka, sejak itu, Kejaksaan Agung "kebanjiran" permintaan izin untuk mengusut gubernur, bupati, wali kota, dan anggota DPRD. "Hanya seminggu setelah permintaan izin diajukan ke Presiden, izin sudah turun," katanya.

Berbekal izin itulah aparat kejaksaan memeriksa Gubernur Sumatera Barat Zainal Bakar dan Gubernur Banten Djoko Munandar. Mereka masing-masing diduga menyelewengkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Rp 5,9 miliar dan Rp 14 miliar. "Kami diminta menyelamatkan uang negara," kata Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat Antasari Azhar. Sebelumnya, Kejaksaan Sumatera Barat sulit memeriksa Zainal lantaran izin dari presiden tak turun-turun.

Pertempuran memang tak mudah. Gebrakan para jaksa segera dibalas dengan serangkaian teror. Rumah Kepala Kejaksaan Tinggi Bengkulu Rusdi Taher, misalnya, 10 Desember silam ludes dibakar orang. Kuat dugaan, pembakaran itu ada hubungannya dengan langkah Taher memeriksa kasus korupsi yang melibatkan Wali Kota Bengkulu Chalik Effendi. Tanpa rumah, Taher kini sehari-hari tinggal di kantornya. "Kami para jaksa di daerah mengikuti irama Jaksa Agung. Jika pimpinannya baik dan berani, bawahannya akan ikut juga," kata Taher.

Tak hanya menggebrak ke luar. Ke dalam, ke tubuh instansinya sendiri, Rahman mulai melakukan sejumlah langkah. Ia membentuk komisi kejaksaan yang antara lain bertugas mengawasi para jaksa. Dia juga membentuk tim ahli untuk memberi masukan menyangkut kasus-kasus tertentu. Masuk dalam tim beranggotakan lima orang ini antara lain pakar hukum pidana Harkristuti Harkrisnowo dan pakar perbankan Prajoto.

Tiga bulan sudah berlalu, tapi boleh dibilang hingga kini belum terlihat satu kasus korupsi kelas kakap pun diungkap oleh kejaksaan. Kendati Abdul Rahman menyatakan ada lima kasus SP3 yang akan dibuka kembali, sampai kini yang ramai terdengar hanya kasus yang melibatkan mantan Menteri Pertambangan Ginandjar Kartasasmita.

Pembukaan kasus Ginandjar pun ternyata melahirkan kontroversi baru. Alih-alih merajut jerat yang lebih kuat bagi Ginandjar, kajian ulang tim kejaksaan malah berpeluang membuat mantan Menteri Pertambangan itu lolos. Pasalnya, tim kejaksaan menyimpulkan, dalam kasus kontrak bantuan teknis antara Pertamina dan PT Ustraindo yang membuat negara rugi US$ 24, 8 juta ini, kesalahan terjadi pada tahap pelaksanaan proyek, bukan pada perjanjian kontraknya. Artinya, besar kemungkinan Ginandjar, yang bertanggung jawab atas kontrak, bakal tak terjerat.

Di luar itu, ada pula kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia yang belum serius dijamah. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), ada sekitar 28 tersangka kasus BLBI yang kini kabur ke luar negeri. Walhasil, para "tikus" penggangsir uang negara sekitar Rp 145 triliun itu ibarat berlibur dengan kantong sesak oleh uang rakyat.

Langkah kejaksaan untuk mengirim para pejabat daerah yang diduga korupsi ke penjara juga dikhawatirkan gagal. Ini sudah terbukti. Senin pekan lalu, misalnya, Pengadilan Bogor memvonis bebas Wakil Wali Kota Bogor H. Moch. Sahid dari dakwaan korupsi anggaran DPRD Rp 6, 8 miliar. Bebasnya Sahid merembet ke kasus Gubernur Sumatera Barat Zainal Bakar. Rabu pekan lalu, Jaksa Abdul Rahman meminta kasus Zaenal tidak dilimpahkan dulu ke pengadilan. Alasannya, "Kami tidak ingin kasus ini senasib dengan kasus yang di Bogor itu. Kami harus lebih siap dulu," kata Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat Antasari Azhar.

Karena itu, walau terlihat riuh rendah jajaran kejaksaan memeriksa para pejabat daerah, di mata Ketua Komisi Hukum DPR, Teras Narang, kinerja Abdul Rahman belum terlihat. "Saya tidak melihat hasil-hasil konkret," kata Narang. Dari Makassar, Guru Besar Universitas Hasanuddin, Ahmad Ali, menilai Abdul Rahman kebingungan membuat skala prioritas kerjanya. "Saya menghargai pemerintahan SBY untuk tidak memeti-eskan berbagai kasus, cuma ini tidak nyambung dengan Jaksa Agung," katanya. Menurut Ali, yang dicapai Jaksa Agung selama tiga bulan ini sekadar rutinitas. "Tiap hari cuma berbicara mau membentuk komisi kejaksaan, mau merekrut tenaga ahli," ujarnya.

ICW, lembaga yang terus mengawasi kinerja kejaksaan, juga melihat Abdul Rahman belum berbuat banyak melibas para koruptor. Dalam data ICW, hingga kini ada 14 kasus korupsi yang masih mengendap di kejaksaan. Selain itu, lebih dari 30 tersangka korupsi penerima SP3 yang belum "dilirik" Jaksa Agung. "Sampai kini hukum lebih memberi keuntungan kepada koruptor ketimbang rasa keadilan masyarakat," kata Wakil Ketua ICW Danang Widoyoko.

Bukan hanya Kejaksaan Agung yang dinilai lembek memerangi para koruptor kakap. ICW juga melihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti lesu darah. Sebagai lembaga superbodi dengan kewenangan luar biasa untuk menangkap, memeriksa, dan melemparkan para tersangka koruptor ke pengadilan, ICW melihat KPK masih jauh dari harapan. "Terapi kejut pemberantasan korupsi belum terasa di masyarakat," kata Danang.

Profesor Romli Atmasasmita, Ketua Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi, bahkan memvonis program pemerintah dalam pemberantasan korupsi gagal. "Menurut saya program pemerintahan soal pemberantasan korupsi 100 hari gagal," kata pakar hukum pidana ini. Bekas Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional ini juga melihat Instruksi Presiden Nomor 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi tidak disambut serius oleh para petinggi hukum. Karena itu, mumpung belum telanjur makin jauh dari harapan, Romli menyarankan Presiden Yudhoyono segera mengevaluasi para petinggi hukum dan membuat perencanaan matang di bidang penegakan hukum. "Harus ada rencana aksi yang jelas," kata Romli.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus