Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SABAN Sabtu pagi, Fahmi Harun bersiap memboyong istrinya, Suhaeba Hasim, dan anak bungsunya yang berusia dua tahun ke ladang. Dari rumah mereka di tengah perkampungan Desa Gumira, di kaki Pulau Halmahera, Maluku Utara, mereka berjalan sekitar 7 kilometer. Mereka menanjak ke atas bukit, lalu turun, kemudian menyeberangi sungai besar, dan masuk hutan.
Ladang mereka terletak di belakang bukit di punggung kampung itu. Dalam huma seluas 3 hektare tersebut, mereka memiliki sedi --sebutan untuk rumah kebun dalam bahasa Makean (Makian). Fahmi dan Suhaeba sudah membawa bekal beras, kopi, gula pasir, minyak goreng kelapa, dan minyak tanah untuk perbekalan sampai Kamis pekan selanjutnya. “Kami biasa tinggal di kebun untuk merawat tanaman. Sekarang ada padi, terung, dan kacang. Semuanya organik,” kata Fahmi, 41 tahun, Kamis, 29 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kegiatan batumbu padi, atau proses melepaskan kulit padi untuk mendapatkan beras secara tradisional, di Desa Gumira, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, Oktober 2020. EcoNusa/Kei Miyamoto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tujuh belas tahun menjadi petani, baru dua kali Fahmi menanam padi. Ia pertama kali bertani padi pada satu dasawarsa lalu setelah mendatangi wilayah transmigrasi Trans Lalubi, sekitar 10 kilometer dari kampungnya. Ia melihat sawah mereka dipenuhi padi. Kenangan Fahmi seketika terbang ke masa kanak-kanak, sewaktu ia sering dibawa ke ladang oleh orang tuanya saat libur sekolah. Salah satu yang ditanam oleh orang tuanya adalah padi.
Tapi, sebelum Fahmi lulus sekolah dasar, kebiasaan bertani padi tersebut tak lagi dilakukan oleh orang tuanya. Pun demikian dengan warga lain di kampungnya. “Saya tarada (tidak) tahu kenapa,” ujarnya. Dengan bekal ingatan itu, ia menanam padi pada 2010. Hasil panennya menjadi makanan selingan selama setengah tahun bagi keluarga. Sebagian yang lain ia jual ke penduduk kampung.
Masyarakat Gumira sebenarnya lebih akrab mengonsumsi sagu, pisang, kasbi (singkong), dan batata (ubi) ketimbang nasi. Pisang, kasbi, dan batata yang mereka tanam sendiri di ladang hampir setiap hari mereka makan. Demikian juga dengan sagu yang tumbuh liar di tanah mereka. Adapun nasi dikonsumsi dua sampai tiga kali dalam sepekan dan menjadi santapan ketika ada warga yang meninggal. Keluarga yang ditinggalkan membuat dadang, yakni tumpeng nasi kuning yang disajikan saat acara tahlilan pada hari ketujuh.
Warga Suku Pagu saat panen padi di Pulau Halmahera bagian utara, pada 2015. gaung.aman.or.id
Selama ini, Fahmi biasa merogoh kocek sekitar Rp 300 ribu per bulan untuk membeli beras guna makan bersama istri dan empat anaknya. Ketika menanam padi pada 2010 itu, ia bisa menghemat pengeluaran tersebut. Bahkan ia mendapat penghasilan tambahan dengan menjual sebagian panennya ke tetangga. Tapi, setelah panen pertama itu, ia ogah meneruskan bertanam padi. “Tarada mesin selip di sini, kami harus batumbu (menumbuk) padi, susahnya setengah mati,” tuturnya.
Tapi, pertengahan tahun ini, ia kembali menanam padi. Usia padinya kini baru dua bulan, masih setinggi lutut orang dewasa. Perkumpulan PakaTiva yang didukung Yayasan Ekosistim Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa) menginisiasi kemandirian pangan di desanya. Salah satu caranya adalah dengan mengembalikan kebiasaan menanam padi ladang yang telah lenyap lebih dari tiga dekade itu.
Palau Ibrahim, 74 tahun, menjadi saksi menghilangnya tradisi bertanam padi di desa tersebut. Kegiatan ini pelan-pelan sirna setelah angin kencang datang menghantam kampung pada 1982. Masjid yang menjadi pusat kegiatan di kampung tersebut ambruk. “Tong (kami) cari dana untuk bangun masjid, jadi kebun disetop,” ujar warga Desa Gumira itu. Masyarakat tetap mempertahankan tanaman tahunan mereka yang tak terlalu membutuhkan perawatan, seperti cengkih, pala, dan kelapa yang biasa diolah menjadi kopra.
Mamak-mamak di Desa Gumira, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara menampi beras di acara festival kampung di desa tersebut, 29 Oktober lalu. EcoNusa/Kei Miyamoto
Para lelaki di kampung tersebut menjual kopra ke luar desa untuk mengumpulkan duit demi membangun kembali masjid itu. Dari hasil baku bantu tersebut, surau itu kembali berdiri pada 1989. Meski masjid telah terbangun kembali, masyarakat telanjur meninggalkan kebiasaan bertanam padi. “Baru sekarang tong mulai lagi bersama PakaTiva,” ucapnya.
Palau sendiri sudah akrab merawat padi sejak masih ingusan. Ia dibawa oleh orang tuanya ke ladang saat libur sekolah. Setelah putus Sekolah Menengah Ekonomi Pertama pada 1965, Palau merawat sendiri kebunnya. Benih padi didatangkan dari Buton, Sulawesi Tenggara, dengan kapal.
Palau muda dan kawan-kawannya berinisiatif mengumpulkan para pemuda desa untuk membuat kelompok kerja. Mereka saling membantu ketika menanam, memanen, dan membentengi kebun mereka dengan pagar buluh. Ada dua kelompok yang bisa mereka bentuk, masing-masing terdiri atas 15 pemuda. Palau salah satu ketua kelompok tersebut. Kebiasaan baku bantu di kebun itu ikut bubar setelah masjid kampung mereka roboh. Masyarakat tetap memakan nasi, tapi dengan cara membeli. “Siapa yang sanggup beli, beli,” tuturnya.
Pada masa yang sama, tradisi menanam padi tersebut juga lenyap dari Desa Samo, sekitar 10 kilometer dari Gumira. Menurut mantan Kepala Desa Samo, Rusli Hi Aba, semula masyarakat bisa memenuhi kebutuhan pangan sendiri dengan menanam padi, pisang, singkong, dan ubi. Mereka juga memanen sagu yang tumbuh liar di belakang rumah mereka. Sementara itu, untuk biaya anak sekolah ataupun pergi haji, mereka mendapatkannya dari penjualan hasil panen cengkih, pala, ataupun kelapa.
Kebiasaan itu berubah setelah sebuah perusahaan yang memiliki hak pengusahaan hutan (HPH) datang ke kampung mereka pada 1987 untuk menebangi pohon di hutan di belakang perkampungan mereka. Sebagian lelaki di kampung tersebut dipekerjakan, termasuk Rusli yang menjadi buruh harian. Setelah dompet mereka terisi, mereka mulai meninggalkan ladang dan lebih suka membeli keperluan. Sebagian pohon sagu liar pun ikut mereka tebang, diganti dengan tanaman kelapa yang dianggap lebih bisa menghasilkan uang. “Masyarakat jadi lebih suka yang instan,” ujar Rusli. Ketika perusahaan itu keluar dari desa pada 1999, kebiasaan baru tersebut tak hilang. Mereka mengandalkan hasil panen kelapa, pala, atau cengkih untuk membeli beras.
Warga menggiling jagung dengan alat tradisional di Desa Posi Posi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, 28 Oktober lalu. EcoNusa/Kei Miyamoto
Tempo berkesempatan mengunjungi Gumira dan Samo atas undangan EcoNusa yang menggagas Ekspedisi Maluku. Ekspedisi yang dimulai pada 22 Oktober tersebut berlangsung selama 24 hari, mendatangi desa-desa terpencil di Raja Ampat, Papua Barat; berlanjut ke Halmahera Selatan, Maluku Utara, hingga Banda Neira, Maluku, menaiki kapal pinisi Kurabesi Explorer.
Jika menggunakan angkutan umum, Gumira ataupun Samo dapat didatangi dengan menempuh sekitar enam jam berkendara dari Ternate. Perjalanan dimulai dengan menyeberang menggunakan spit (speed boat) ke Sofifi, ibu kota Provinsi Maluku Utara yang terletak di Pulau Halmahera. Perjalanan dilanjutkan dengan mobil melalui jalan yang belum mulus teraspal. Jika turun hujan deras, sungai bisa meluap dan jalanan berlumpur. Perjalanan terpaksa dilanjutkan dengan menggunakan perahu atau ojek motor. Alternatif alat transportasi lain adalah kapal laut dengan waktu tempuh sekitar sembilan jam dari Ternate.
•••
SEBELUM membangkitkan tradisi menanam padi itu, PakaTiva membuat riset kecil. Mereka menanyai warga Desa Samo dan para pedagang beras yang masuk ke desa tersebut. Hasil survei mereka menyebutkan bahwa setiap keluarga di Samo mengonsumsi 35-40 kilogram beras per bulan dengan pengeluaran sekitar Rp 350 ribu. Ada 166 keluarga yang tinggal di dalam desa yang luasnya 49,9 kilometer persegi tersebut.
Dari hasil wawancara tiga tengkulak yang berdagang beras di kampung itu, mereka bisa menjual 8-9 ton beras per bulan di desa tersebut. Artinya, dalam sebulan uang yang dikeluarkan oleh warga untuk membeli beras sekitar Rp 99 juta. Ini belum termasuk belanja sayur-mayur yang menghabiskan sekitar Rp 600 ribu per bulan dan pengeluaran kebutuhan lain. “Padahal mereka adalah petani dan punya lahan cukup luas,” kata Direktur PakaTiva Faizal Ratuela. Hal serupa juga terjadi di Gumira dan Posi-Posi, desa tetangga mereka.
PakaTiva dan EcoNusa ingin mengubah pola pikir warga agar bisa memangkas pengeluaran mereka untuk membeli bahan pangan. Caranya adalah menanam kembali tanaman pangan untuk dikonsumsi sendiri. Jadi uang yang mereka dapatkan dari penjualan kopra, cengkih, dan pala bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan lain, seperti pendidikan anak, biaya kesehatan, atau ditabung untuk keperluan lain. Desa Samo yang lebih dulu diinisiasi kini telah dua kali memanen padi mereka. Mereka bisa menghasilkan 2,5 ton beras setiap kali panen.
Mamak-mamak Desa Posi-Posi menyiangi rumput di kebun percobaan di Halmahera Selatan, Maluku Utara. EcoNusa/Kei Miyamoto
Ini juga langkah antisipasi agar warga tetap menjaga lahan mereka ketimbang diambil alih oleh perusahaan. Setelah perusahaan pemilik HPH itu keluar dari Samo, ada perusahaan lain yang mulai mendekati tiga desa tersebut, dua tahun belakangan. “Warga kurang setuju dengan masuknya perusahaan. Kami belajar dari Gane Dalam, kebun mereka habis oleh kelapa sawit,” kata Umar Haji Mustafa, warga Posi-Posi.
Gane Dalam yang dimaksud Umar adalah sebuah desa yang jauhnya sekitar 50 kilometer dari Posi-Posi. Perjalanan dari Gane Dalam ke Posi-Posi bisa ditempuh dengan waktu 12-14 jam menggunakan kapal angkutan umum. Lahan mereka awalnya diambil alih oleh perusahaan kayu yang memiliki HPH pada 2013. Setelah hutan dibabat, kini tanah dan hutan mereka seluas 11 ribu hektar (hampir seluas Kota Bogor, Jawa Barat) beralih fungsi menjadi perkebunan sawit.
Sebelum sawit datang, warga Gane Dalam menanami kebun mereka dengan cengkih, pala, kelapa, juga pisang. Mereka bisa menyekolahkan anak-cucu sampai perguruan tinggi dengan hasil tersebut. Sebagian lahan lain adalah hutan yang mereka jaga. Ketika perusahaan masuk, warga berjuang mempertahankan lahan yang menjadi penghidupan mereka itu, termasuk Mama Yani, 70 tahun.
Ia sampai tidur di bawah ekskavator yang menerabas kebunnya tanpa seizinnya. Tapi usaha Mama Yani sia-sia. Kebun yang dimiliki keluarganya sejak 1979 tersebut tetap berpindah tangan. Lahan Mama Yani yang seluas 2 hektar tersebut dibayar Rp 25 juta, uang yang hanya setara dengan beberapa bulan penghasilannya. “Sakit hati saya,” ucapnya, berurai air mata. Sebanyak 13 warga lain dipenjara karena mempertahankan tanah mereka.
Mama Yani dan warga lain kini hanya bisa menggarap kebun yang mereka miliki di sudut lain kampung tersebut. Tapi keberadaan perkebunan sawit dan hilangnya hutan mengubah keseimbangan alam di desa itu. Sungai di kebun mereka mengering. Ketika hujan lebat turun, air yang tercurah dari langit menggelontor langsung membanjiri rumah mereka.
Pohon pala di kebun mereka pun mati karena terpaan air tersebut. Lumpur dari perkebunan sawit yang terbawa turun ke laut menyingkirkan ikan lompa yang biasa menjadi lauk sehari-hari warga. “Biasanya ikan mudah dicari, sekarang su tarada (sudah tidak ada),” ujar Salim, warga desa Gane Dalam. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan warga bahu-membahu mempertahankan lahan yang masih tersisa.
Berkaca dari warga Gane Dalam, baik warga Samo, Posi-Posi, maupun Gumira mempertahankan tanah mereka. Mereka juga belajar berkebun secara organik dengan memanfaatkan lahan yang mereka tinggalkan. “Masyarakat di sini sudah tahu apa fungsi hutan,” tutur Umar Haji Mustafa.
NUR ALFIYAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo