Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA penari bergulat di permukaan sungai. Mulut mereka menggigit masing-masing ujung seruas tali tambang yang terentang. Pergulatan membuat tali itu membelit kedua tubuh mereka. Saat ketukan kendang merapat dan jerit sinden makin merobek malam, para penari membebaskan diri dari tali, lalu bergerak liar. Mereka berjungkir balik, membenamkan kepala, dan berkali-kali menjatuhkan diri secara serampangan ke permukaan air. Percikan air berhamburan ke segala arah, seolah-olah turut dalam komposisi tarian itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertunjukan tari Mantra Tubuh yang dibawakan Rianto dan Dani Setiyawan itu dapat disaksikan secara virtual pada pembukaan Pekan Kebudayaan Nasional, akhir Oktober lalu. Rekamannya juga masih dapat diakses lewat kanal YouTube Budaya Saya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tarian rancangan Rianto itu sebelumnya direkam di Kali Pelus, Banyumas, Jawa Tengah, pada suatu malam yang tak biasa. Hujan mengguyur sepanjang malam dan baru reda pada pukul 2 dinihari. Di langit bulan purnama tergantung, menjadi bagian pertunjukan. Purnama diyakini dalam kebudayaan Jawa sebagai sumber kekuatan alam. “Tarian ini berangkat dari mantra-mantra untuk mencoba keluar dari tubuh pada saat purnama,” kata Rianto.
Pagelaran Tari Nusa Bungtilu dari Nusa Tenggara Timur. Youtube/Budaya Saya
Gumam mantra-mantra mengiringi gerak tanpa pola kedua penari yang menanggapi elemen air dan udara di sekitar mereka. Pada momen tertentu, pertunjukan itu tampak seperti ritual penyucian diri karena mereka dengan takzim membasuh tubuh. Rianto juga tak luput memasukkan unsur-unsur lengger dalam tariannya. Di tengah pertunjukan, tubuhnya berlenggak-lenggok bersama bunyi kendang dan keleningan.
Mantra Tubuh pernah ditampilkan Rianto pada Mei lalu. Kala itu, pertunjukan digelar di sebuah ruangan dan Rianto menari sendirian. Pembukaannya membius. Rianto berlari-lari di tempat tanpa henti selama lebih dari 10 menit. Bunyi entak kaki yang ditingkahi tabuhan kendang menggema di ruang gelap. Makin cepat dan makin cepat. Pertunjukan itu berlangsung 45 menit.
Pada pertunjukan kedua ini, Dani Setiyawan yang membuka. Sesi lari di tempat dibuat jauh lebih singkat dan intensitasnya meningkat dengan lekas. Itu tak mengherankan karena durasi dipadatkan menjadi 25 menit. Namun suara kecipak air yang tercipta dari entakan kaki menjadi elemen baru yang memperkaya pentas. Pertunjukan oleh dua penari juga menjadikan tarian itu lebih bercerita. Ketika keduanya bergerak seirama atau saling membasuh tubuh, mudah tertangkap pesan tentang harmoni dan pembersihan diri.
Set pertunjukan ini dibangun di tengah tempuran sungai di kaki Gunung Slamet. Arus air dijaga tetap tenang dengan mengatur bendungan yang berada tak jauh di hilir. Platform menari ditanam sedikit di bawah permukaan sehingga Rianto dan Dani terlihat seperti sedang bergerak di atas air. Pendar cahaya aneka warna jatuh di atas air dan pepohonan rimbun di birai sungai. Kabut melayang-layang.
Tak terlihat tanda bahwa panggung itu baru saja dibangun pada hari pertunjukan dengan tergesa-gesa. Sehari sebelumnya, panggung pertunjukan dan panggung kamera yang sejak jauh hari disiapkan hanyut terbawa banjir. Putaran pengatur buka-tutup bendungan juga sempat rusak karena debit air yang kelewat besar. Rianto menganggap musibah itu sebagai ujian tirakat dari alam. Sesuatu yang juga dia coba sampaikan lewat tarian Mantra Tubuh yang mengedepankan gagasan keselarasan manusia dengan alam, terutama setelah diberi ujian berupa pandemi.
Selain menyuguhkan Mantra Tubuh, Rianto merancang pertunjukan Lengger Lanang yang diputar pada Kamis, 5 November lalu. Ini pertunjukan ceria yang memadukan tari, musik, dan komedi ringan saat para penampil memberikan pesan-pesan edukasi tentang khasiat empon-empon hingga keunikan batik.
Pengambilan gambar untuk pentas Lengger Lanang ini dilakukan di halaman Rumah Besalen Selo Kyai, Karangklesem, Banyumas. Rianto memilih lokasi bersejarah ini untuk sekaligus memperkenalkan tradisi keris Banyumas. Menurut dia, di tempat itu baru saja muncul seorang empu keris muda bernama Empu Rizal. “Setelah 200 tahun, baru sekarang ada empu keris lagi di Banyumas,” tutur Rianto.
Pertunjukan tradisi paling banyak mengisi agenda Pekan Kebudayaan Nasional. Tiap daerah menyumbangkan tarian atau upacara khasnya, seperti pergelaran nusa bungtilu dari Nusa Tenggara Timur; gendang beleq (Lombok, Nusa Tenggara Barat); wayang topeng (Malang, Jawa Timur); rambu tuka’ (Toraja, Sulawesi Selatan); dan Sigale-gale (Sumatera Utara). Karena situasi pandemi, tiap pertunjukan direkam di daerah masing-masing dan membuat mata segar dengan pemandangan perbukitan Danau Toba, dataran tinggi Toraja, atau hamparan pasir putih Pulau Semau. Rangkaian agenda daring ini juga menghadirkan pameran seni virtual dan pertunjukan musik.
Film tari berjudul Raut karya Hartati dalam Pekan Budaya Nasional 2020. Youtube/Budaya Saya
Satu pertunjukan kontemporer lain datang dari koreografer Hartati. Berkolaborasi dengan seniman Hanafi, Adinda Luthvianti, dan Heru Joni Putra, Hartati membuat film tari berjudul Raut. Disebut film tari karena pertunjukan ini tak mengikuti format pertunjukan tari di atas panggung pada umumnya. Beradaptasi dengan format virtual, gerak kamera yang menyoroti penari dan obyek pertunjukan dari sudut serta tempo yang diperhitungkan turut menjadi koreografi tersendiri dalam tarian ini. Tubuh para penari bergerak berdasarkan teks yang telah disiapkan. “Karena virtual, konsep pertunjukan ini memang harus sudah selesai di atas kertas,” ujar Hartati.
Raut terdiri atas empat bagian terpisah yang ditampilkan bergantian. Tarian ini banyak bermain dengan simbol. Bagian pertama adalah penari tunggal yang bergerak menggeliat dalam sebuah selubung ketat yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Diiringi musik mencekam, gambar beralih menunjukkan tujuh-delapan penari yang berdesak-desakan hingga bertumpuk untuk dapat menempati sebuah lingkaran putih di lantai. Kedua bagian ini mengesankan keterkungkungan dan upaya untuk bebas. “Tarian ini berangkat dari diri saya sebagai perempuan urban Minang yang terus-menerus meraut diri dalam ketidakutuhan dan ketidaktahuan,” kata Hartati.
Pada dua bagian lain, para penari bergerak dengan rupa-rupa kain dalam bahan dan motif beragam yang tergantung pada dinding atau berserakan di lantai. Gambar diperlambat dan kamera bergerak berputar atau tiba-tiba mendekat untuk memberi efek dramatis. Upaya para penari mengenakan bermacam kain pada tubuh mereka dapat ditangkap sebagai simbol beradaptasi atau memantaskan diri dengan sesuatu yang baru. Barangkali adaptasi dengan pandemi Covid-19. Pada akhirnya, kebebasan datang, yang disampaikan lewat gerak menaiki tangga dan melepas satu per satu lapisan pakaian yang mengungkung tubuh.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo