Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Sementara sebelumnya kemacetan hanya terjadi pada masa liburan dan akhir pekan, belakangan ini antrean kendaraan nyaris terlihat setiap hari.
Faktor penyebab kemacetan di Puncak antara lain kapasitas jalan kendaraan masih terbatas dan area perparkiran yang tidak tertata.
Adapun perencanaan pembangunan di kawasan Jabodetabek sangat bergantung pada rezim yang memimpin.
BOGOR – Kemacetan lalu lintas di kawasan Puncak sudah semakin parah. Sementara sebelumnya kemacetan hanya terjadi pada masa liburan dan akhir pekan, belakangan ini antrean kendaraan nyaris terlihat setiap hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah pada Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Bogor, Danni Rachmat, mengatakan kemacetan di kawasan Puncak tersebut disebabkan oleh sejumlah faktor. Faktor yang paling utama adalah kapasitas jalan kendaraan masih terbatas dan area perparkiran yang tidak tertata. “Juga belum tersedia fasilitas untuk pejalan kaki serta tidak ada fasilitas pemberhentian untuk angkutan umum,” kata Danni dalam diskusi virtual, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diskusi yang membahas kemacetan di kawasan Puncak tersebut digelar oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ). Diskusi tersebut menghadirkan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sebagai pembicara kunci. Sedangkan untuk pemaparan masalah, selain Danni, hadir pula Kepala BPTJ Polana B. Pramesti. Sedangkan sejarawan JJ Rizal, antropolog Aris Arif Mundayat, dan pengamat transportasi Darmaningtyas dihadirkan sebagai pembicara.
Menurut Danni, kawasan Puncak itu berada dalam tiga wilayah kecamatan, yaitu Ciawi, Cisarua, dan Megamendung. Pemerintah Kabupaten Bogor sudah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam upaya mengurai kemacetan di tiga wilayah itu. Namun sejauh ini hasilnya memang belum terlihat. “Sehingga yang saat ini masih diberlakukan untuk mengurai kepadatan ialah sistem buka-tutup,” kata Dani.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumardi menilai kemacetan di kawasan Puncak sudah sangat kronis. Karena itu, perlu langkah-langkah strategis dalam membenahi permasalahan itu. “Sudah sangat kompleks, jadi tidak bisa hanya diselesaikan dari masalah transportasi semata,” kata dia.
Kemacetan di kawasan Puncak, kata Budi, selalu berhubungan dengan faktor-faktor lain, termasuk sosial dan budaya. Misalnya saja, pembangunan berbagai fasilitas wisata di Puncak akan menjadi daya tarik tersendiri. Sehingga tidak mengherankan bila jumlah pengunjung terus bertambah dan itu justru menjadi beban bagi kawasan Puncak. “Kemacetan transportasi hanya menjadi puncak gunung es dari masalah yang terjadi selama ini,” kata dia.
Sebagai antropolog, Aris Arif Mundayat menilai perkembangan di kawasan Puncak saat ini akan sejalan dengan perkembangan di Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi (Jabodebek). Adapun perencanaan pembangunan di kawasan itu sangat bergantung pada rezim yang memimpin. “Pembangunan perkotaan secara elitis tidak berbasis pada prinsip kewargaan, sehingga banyak yang terdiskriminasi dan terdislokasi dari desain pembangunan,” kata dia.
Untuk itu, Aris menyarankan agar pemerintah membangun ruang rekreasi alternatif bagi warga Jabodetabek. Misalnya saja dengan membangun tepian sungai menjadi fasilitas rekreasi publik. Bantaran sungai di kawasan Jabodetabek selama ini kurang mendapat perhatian. Bahkan tidak sedikit ruang itu yang dikuasai oleh pihak-pihak tertentu, sehingga tidak bisa diakses oleh publik.
“Sebanyak atau seluas apa pun kawasan Puncak dikembangkan, belum tentu mampu menampung katarsis sosial warga Jabodebek yang majemuk,” kata Aris.
M.A. MURTADHO | SUSENO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo