Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Berjihad untuk Kemanusiaan

Semua agama menganjurkan berjihad untuk membela kebenaran. Jihad yang seperti apa?

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA konflik atas nama agama berkecamuk, kemanusiaan sering dibuang ke dasar samudera. Itulah agaknya yang terjadi di Maluku sejak kerusuhan sosial meletus Januari 1999 hingga kini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ribuan orang tewas selama konflik horizontal berlangsung. Ironisnya, agama, terutama stigma Islam versus Kristen, menjadi salah satu faktor menajamnya konflik. Indikasinya, sebagian kelompok merah (Kristen) mengidentifikasi diri sebagai pasukan Salib, sedangkan kelompok putih (Islam) mengidentifikasi diri sebagai pasukan Sabil—dua istilah dari perang agama yang bersejarah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awal Januari lalu, beberapa tokoh Islam di Jakarta menyerukan jihad (dengan pengertian umum) untuk membantu umat muslim di Maluku. Pasalnya, ratusan muslim dikabarkan tewas dalam kerusuhan di Maluku Utara, akhir Desember 1999. Namun, seruan itu dimentahkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Kiai dari sayap Nahdlatul Ulama itu meminta kepada aparat keamanan agar menangkap orang-orang yang berangkat ke Maluku untuk berjihad.

Perbedaan penafsiran tentang jihad tersirat dari dua pernyataan itu. Apa arti jihad sebenarnya? Beberapa ayat dalam Quran menganjurkan umatnya untuk berjihad (berjuang) di jalan Allah. Jihad mengandung pengertian luas, misalnya mencari nafkah untuk keluarga, dan pengertian sempit, misalnya berperang. "Jihad dalam arti perang diwajibkan bila eksistensi umat muslim terancam," kata Prof. Dr. Azyumardi Azra kepada Ardi Bramantyo dari TEMPO.

Namun, pengertian jihad dalam Islam tak hanya berperang, juga, yang lebih substansial, berjuang melawan hawa nafsu diri. Seperti kata Nabi Muhammad kepada para sahabatnya yang baru saja pulang dari peperangan terbesar dalam sejarah Nabi. "Kamu semua baru pulang dari jihad kecil dan akan menghadapi jihad besar, yaitu perang melawan hawa nafsu," kata sebuah hadis.

Dengan istilah yang berbeda, agama-agama lain juga mengandung anjuran membela kebenaran. Injil menurut agama Kristen, kata cendekiawan T.H. Sumarthana, menyebutkan bahwa Tuhan meminta umatnya untuk mengorbankan diri demi keagungan nama Tuhan dan cinta kasih terhadap sesama.

Jihad, sebut saja begitu, adalah sikap keras yang ditunjukkan dengan komitmen yang bulat untuk bertindak secara praktis melawan sesuatu yang mengancam eksistensi manusia dan kemanusiaan. "Tapi sikap jihad harus diarahkan kepada persoalan-persoalan yang substansial dan mendasar ke arah kemanusiaan," kata Sumarthana.

Setali tiga uang ajaran Katolik. Yesus, menurut pandangan Katolik, tidak mengajarkan perang suci seperti yang dianut kaum Yahudi—yang merasa superior sebagai bangsa yang terpilih dalam kitab Perjanjian Lama. "Jadi, perang suci itu adalah jihad dalam arti sempit dan primitif," kata Romo Julianus Sunarka, S.J., Direktur Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial Konferensi Waligereja Indonesia, Jakarta.

Memandang semua manusia mempunyai martabat yang sama di hadapan Allah, Yesus menisbikan perbedaan suku, etnis, warna kulit, jenis kelamin, dan bahkan agama. Misi Yesus karena itu menciptakan damai dan sejahtera bagi semua manusia. "Jadilah kehendak-Mu, di atas bumi seperti di dalam surga," kata Yesus.

Sedangkan agama Hindu mengajarkan bahwa kebenaran harus diperjuangkan dengan penuh kedamaian. "Istilah perang untuk membela agama tidak ada dalam ajaran Hindu," kata Prof. Dr. I Wayan Jendra, cendekiawan Hindu yang berminat pada studi agama. Perang yang diajarkan bermisi membela kebenaran.

Contohnya, perang Puputan (perang sampai mati) melawan penindasan Belanda di Kabupaten Badung, Denpasar, pada 1908. Dan Hindu mengajarkan sesuatu yang luhur: memaafkan itu jauh lebih bernilai daripada bersumpah untuk membunuh seseorang. Buddha juga tidak mengajarkan perang untuk kepentingan agama. "Dasar dari semua perbuatan jahat adalah kebencian," kata Oka Darmaputra, Ketua Bidang Penerangan dan Pendidikan Perwalian Umat Buddha Indonesia.

Karena menekankan aspek interioritas manusia, umat Buddha diwajibkan membela kebenaran dengan cara damai, sekalipun hal itu menyangkut keterancaman eksistensi agama Buddha. Laci sejarah agama Buddha menyimpan kisah yang menggetarkan menyangkut Thich Quang Duc. Biksu di Vietnam itu pernah menggemparkan dunia karena melakukan aksi membakar diri hingga tewas di Kota Saigon pada 1963.

Cara damai dan elegan itu dilakukan untuk memprotes rezim Diem di Vietnam yang represif. Bila semua agama mengajarkan kebenaran, lalu siapa yang membuang kemanusiaan ke dasar samudra?

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Kelik M. Nugroho menulis artikel ini dengan kontribusi Iwan Setiawan dan Arif A. Kuswardono. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Berjihad untuk Kemanusiaan"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus