Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sekali Semaput, Sekali Mati Suri

Dalam 40 tahun perjalanannya, Tempo dua kali dilarang terbit. Tekanan penguasa tak membuat kami surut menyuarakan kebenaran.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PINTU lift terbuka. Entah, apakah ada denting bel elektronik sebelumnya. ­Fikri Jufri tak mengingat sedetail itu. Kejadiannya sudah 29 tahun silam, saat ia masih menjadi Redaktur Pelaksana Tempo. Yang dia ingat dengan pasti hingga kini adalah munculnya pria 58 tahun dari pintu yang terkuak: Ali Moertopo. Orang dengan kekuasaan terbesar di Indonesia kala itu, setelah Presiden Soeharto tentunya. ”Eh, Fik, ada apa di sini?” tanya Menteri Penerangan yang tentu saja akrab dengan para wartawan itu.

Di sini maksudnya adalah di Hotel Sanur ­Beach, Bali. Mereka memang kebetulan bertemu di depan lift, tapi Fikri sebenarnya sengaja mengejar sang Menteri ke Bali. Ia dengar, setelah berkunjung ke sejumlah daerah di Indonesia bagian timur, Moertopo singgah di Bali barang beberapa hari. Fikri pun mengejarnya ke sana, tapi bukan untuk wawancara. Wawancara apa, wong Tempo sudah tak lagi terbit. Surat izinnya dicabut karena memberitakan kerusuhan saat kampanye Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, 18 Maret 1982.

Moertopo, yang mencabut surat izit terbit, tentu saja tahu itu. Karena itu, dia bertanya ngapain Fikri di Bali. Sebenarnya dia pun tahu kenapa orang Tempo ada di sana untuk menemuinya. Dia bertanya hanya untuk memastikan. ”Saya mau nututi Pak Ali,” jawab Fikri. ”Urusan apa?” tanya Ali Moertopo lagi. ”Ya, urusan pembredelan,” jawab Fikri. Lalu, dengan nada tinggi Moertopo menjawab: ”Bukan tempatnya di sini!”

Keesokan harinya, saat akan check out dari hotel, Ali Moertopo mengajak Fikri bicara. ”Tunggu dulu, Fik. Mengenai Tempo, banyak sekali yang ingin membunuhnya. Saya bilang tidak, itu masih anak-anak buah saya,” kata Moertopo. Fikri diam saja, dia tahu ini hanya teknik retorika sang Menteri. ”At the most two months from now, Tempo terbit lagi.”

Kurang dari dua bulan, Tempo akhirnya benar-benar terbit kembali. ”Teror” itu tak membuat awak Tempo kapok melaporkan berita-berita yang mengkritik pemerintah. ”Setelah itu, tetap kritik seperti biasa,” kata Fikri.

Mendapat tekanan dari pemerintah sudah biasa didapat Tempo sejak terbit pertama kali pada 1971. Maklum, Tempo berdiri di masa pemerintah Soeharto yang terkenal represif. ”Berkali-kali saya atau anggota direksi lainnya dipanggil oleh Departemen Penerangan untuk menerima teguran. Tegurannya bisa lewat telepon atau surat,” kata Harjoko Trisnadi, mantan Direktur Tempo. Tapi sebagian besar teguran tidak terlalu ditanggapi. ”Kadang Goenawan (Mohamad) malah tak membaca surat teguran dari Departemen Penerangan. Dia kasih surat itu ke saya atau ke anggota direksi lain.”

Memang, ada cara-cara untuk menghindari tekanan itu. ”Misalnya, saya selalu bilang kepada reporter muda, lu boleh tamparin tuh orang, tapi jangan colok matanya,” kata Fikri. Maksudnya, memberitakan sesuatu yang mengkritik ketidakbaikan harus dilakukan, meski ada yang tersinggung. Tapi berita itu diturunkan bukan untuk menyudutkan seseorang.

”Berita, bagi kami, bukanlah sejenis pelor. Ia tak ditembakkan untuk menggertak, atau untuk pamer, atau untuk melumpuhkan satu pihak. Ia juga bukan sesuatu yang meledak-ledak,” demikian tertulis dalam Surat dari Redaksi saat majalah ini terbit lagi pada 15 Mei 1982. ”Berita, bagi kami, adalah sesuatu yang ditawarkan, untuk ‘dibeli’, dalam arti harfiah ataupun kiasan. Kami ini ibarat pedagang keliling.”

”Pedagang” itu berhenti berkeliling 12 tahun kemudian. Pada Juni 1994, pemerintah benar-benar mencabut surat izin usaha penerbitan pers Tempo—dan dua media lainnya: Editor dan Detik. Meski tidak dimaksudkan untuk membuat celaka orang, tetap saja banyak pihak yang tersinggung. Berita tentang pembelian sejumlah kapal perang eks Jerman Timur yang kelewat mahal dianggap mengadu domba anak buah Presiden.

Berbeda dengan pemberhentian sementara pada 1982, kali ini hampir tak ada harapan lagi untuk menerbitkannya. Bambang Bujono sebagai Ketua Dewan Karyawan memang sempat mengusahakan penerbitan kembali, tapi awak Tempo saat itu sungguh pesimistis. ”Kepada Dahlan Iskan (mantan wartawan Tempo, Pemimpin Redaksi Jawa Pos), Harmoko (Menteri Penerangan saat itu) sudah bilang Tempo tak akan terbit lagi,” kata Harjoko.

Sebenarnya ada sebuah tawaran agar Tempo bisa terbit lagi. Direktur Utama Tempo saat itu, Eric Samola, diundang pengusaha Hashim Djojohadikusumo untuk bertemu di Lagoon Tower Hotel Hilton, Jakarta. Hashim tampaknya dikirim oleh Prabowo Subianto—menantu Presiden yang kemudian menjadi komandan pasukan khusus. Ia datang dengan tawaran: Tempo bisa terbit kembali bila ia dan ”keluarga” diberi hak mengangkat dan memberhentikan redaksi, dan bila ia dan ”keluarga” mendapatkan opsi pertama jika saham Tempo akan dijual.

Tawaran ini harus segera dijawab sebelum pukul 08.00 esok paginya. Waktu yang mepet, karena pertemuan di Hilton kelar setelah pukul 22.00. Untuk membicarakan tawaran itu, menjelang tengah malam, Direksi Tempo bertemu di rumah Goenawan. Keputusan: tawaran Hashim Djojohadikusumo ditolak. Ya, kami menolaknya, meski itu berarti kami menutup kemungkinan Tempo hidup lagi. Lewat tengah malam keputusan ini kami sampaikan, dengan cara diplomatis, karena kami tentu saja ketakutan. Kami tahu Prabowo Subiantolah yang mengutus Hashim, dan kami menafsirkan kata ”keluarga” sebagai Keluarga Cendana.

Ada banyak ”pembangkangan sopan” yang kami lakukan, termasuk menolak pemberhentian Fikri sebagai pemimpin redaksi, setelah ­Goenawan Mohamad pada 1993 tak lagi duduk dalam jabatan itu. Fikri rupanya dianggap bagian dari kegiatan ”anti-Soeharto”.

Sejak terbit kembali pada Oktober 1998, setelah Soeharto turun, kami sadar tekanan terhadap majalah ini tak otomatis hilang. Wujud dan sumbernya saja yang mungkin berbeda. Tapi, satu hal yang kami tahu, majalah ini tak akan menggantungkan lidahnya di mulut orang lain. Kami mungkin juga hanya pedagang keliling, tapi tak akan menjual obat pencahar sebagai pil antidiare.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus