GELAR profesor bukan jaminan hidup nyaman. Inilah riwayat T.M. Ibrahim, 52 tahun. Bermula dari Yayasan Bantuan Kesehatan RI yang didirikannya di Aceh, lalu diubahnya menjadi Departemen Lembaga Bantuan Kesehatan RI (LBKRI). ''Karena waktu yayasan saya ketuanya, ketika jadi departemen otomatis saya menterinya. Kan departemen dipimpin menteri,'' katanya. Urusan lalu menggelinding ke Pengadilan Negeri Bandung sejak bulan Mei silam. Jaksa Jaka Sutresna menjaringnya bukan dengan pasal tentang mengaku-aku jadi menteri, tapi dari Pasal 263 (membuat surat palsu), Pasal 378 KUHP (penipuan), dan Pasal 55 Undang-Undang Pendidikan Nasional. Menurut jaksa, bersama rekan-rekannya yang kini raib, melalui Institut Kesejahteraan Muslim Republik Indonesia (IKMRI), sejak 1985 Nurdin mengobral gelar doktor. Di situ Nurdin ketua dewan guru besar. Ikut pendidikan pengobatan tradisional enam bulan, sedikitnya ada enam yang kebagian gelar doktor. Lalu boleh buka cabang Departemen LBKRI. Di Bandung saja ada empat cabang. ''Tiap cabang harus beli obat dari Nurdin,'' kata jaksa. Tempat praktek anak buahnya dipasangi lambang Garuda Pancasila, dan bertuliskan: Menteri Negara Lembaga Bantuan Kesehatan RI, Balai Pengobatan Tradisional. Menurut Nurdin, departemennya diakui Presiden Soeharto. Buktinya? Ia pernah ke Jalan Cendana untuk ketemu Pak Harto. ''Tapi karena beliau sibuk, kami diterima staf beliau,'' cerita Nurdin. Selama ini, katanya, departemennya sudah mengobati sekitar 30 juta pasien kanker, tumor, lumpuh, ginjal, dan gangguan jiwa. Tarifnya Rp 500 untuk pendaftaran, Rp 5.000 tiap kali konsultasi. Mereka harus membeli obat racikan Nurdin. Harganya tergantung jenis penyakit. Ada yang Rp 15, ada yang Rp 29.000. Dari situ tiap bulan Nurdin panen Rp 1 juta. Ia tampil mengenakan safari, namun jawaban-jawabannya tidaklah serapi sisiran rambutnya. Sampai pengacaranya, Warsin, S.H., mengaku kewalahan. ''Mestinya dia diperiksakan ke psikiater. Sidang kok jadi teu puguh (tidak keruan bahasa Sunda),'' katanya. Tapi jaksa menolak Nurdin dianggap sinting. Begitu pula Hakim Sulaeman Mahadi. ''Kalau betul-betul gila, kenapa dia mau lari ketika akan ditangkap polisi?'' ujarnya. Dalam persidangan pertama, misalnya, ketika Hakim Sulaeman Mahadi memanggil namanya, Nurdin cepat menyela. ''Maaf, Pak Hakim, mengapa gelar saya tidak disebut?'' ujarnya. ''Kamu punya gelar apa?'' tanya hakim. ''Nama lengkap saya Profesor Doktor T.M. Nurdin Ibrahim, M.Sc. Ed., S.S.P., S.H., Pak Hakim,'' jawabnya. ''Wah, kamu hebat, saya saja cuma punya gelar S.H.,'' sambut hakim. Menurut hakim, yang memberatkan terdakwa adalah tidak merasa bersalah dan menyesal. Tok! Vonisnya setahun penjara, Sabtu pekan lalu. Nurdin menyatakan banding. ''Jaksa dan hakim tidak bekerja secara benar. Saya tidak terima,'' katanya kepada Taufik Abriansyah dari TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini