Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Berita Tempo Plus

Di antara kegelisahan dan ketenteraman

Sejumlah karya yang merekam kesan-kesan perjalanan secara visual. karya-karya yang mencoba memahami alam, yang mengajak kita merindukan kembali alam itu.

7 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Di antara kegelisahan dan ketenteraman
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SETIDAKNYA ada tiga pelukis senior Indonesia yang pernah memamerkan karya-karya yang merupakan rekaman perjalanannya. Yang pertama adalah Zaini (almarhum), dengan karya cat airnya yang merupakan musik sapuan warna, yang menjadikan objek hanya sebagai ''pintu'' untuk mengekspresikan perasaannya. Lalu Srihadi Sudarsono, dengan karya-karya cat air yang liris, yang dicapainya dengan penggambaran objek secara impresif dengan teknik yang tinggi. Kemudian S. Sudjojono (almarhum), yang membuat sketsa-sketsa yang merupakan semacam catatan harian yang ekspresif. Kini muncul Syahnagra, 40 tahun. Berbeda dengan karya-karya terdahulunya, misalnya karya tahun 1970-annya, yang trengginas dengan warna-warna menantang dan kontur tegas pada figur yang naif, kini ia hanya meninggalkan impresi pada kanvasnya. Pergantian gaya ini seperti sebuah musim: dari musim panas ke musim gugur menjelang musim dingin. Lihat saja, kali ini karyanya banyak yang diselimuti kabut. Itulah yang kita tangkap dari pameran tunggalnya yang keenam, yang diselenggarakan di Galeri Cipta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, akhir Juli lalu, yang menyajikan 36 karya dengan berbagai ukuran dan berbagai tahun penciptaan sebagian besar dari tahun 1992 dan 1993. Sejumlah besar kanvasnya mencitrakan pemandangan alam, sudut kota, atau perkampungan. Kita dibawa pesiar menikmati berbagai kota di Eropa dan Indonesia, melalui sapuan-sapuan akrilik warna putih yang melebar dan dominan yang menyisakan goresan warna-warni yang mencitrakan sebuah potongan musim. Sebagai puisi visual sederhana yang mudah dipahami. Dan karya Syahnagra mempunyai sifat yang umum itu: membawa penglihatan untuk berperilaku tenang dan merenungi isi alam yang ''memabukkan''. Tengoklah Paris. Menara Eiffel yang mengisi tegak lurus kanvas besar dan kebekuan Kota Paris yang menjadi latarnya mencoba membangunkan kerinduan kita pada alam, pada sebuah musim. Ini juga ada pada Kapal dan Kota Tua, dengan garis dan warnanya yang lembut dan samar-samar, lalu sapuan-sapuan putih lebar yang mencitrakan kabut, menyuguhkan suasana sepi. Kekuatan Syahnagra memang pada kemampuannya dalam memunculkan impresi objek melalui garis dan warna yang manis, ketidakteraturan yang enak, yang menimbulkan satu kenyamanan visual. Risikonya, keelokan pemandangan itu menutupi yang hendak diungkapkannya. Tapi, sejauh karya-karya yang dipamerkan, ia berhasil menjaga karyanya untuk tak sekadar jatuh menampilkan gambar yang indah. Yang sebenarnya menarik untuk lebih dicermati dari seorang Syahnagra adalah karya hitam-putihnya, yang rata-rata berukuran kecil, yang sebagian besar bertarikh 1989, baik yang berupa karya etsa maupun yang dibuat dengan potlot konte. Pada karya- karya ini, penguasaan Syahnagra atas bidang gambar, garis, serta sudut pandang untuk memunculkan impresi objek cukup meyakinkan. Lihat dan bandingkan, misalnya, karya hitam-putih Kapal Tua dan Jembatan, 1989, dan karya akrilik Kapal dan Kota Tua, 1993, yang objeknya hampir sama. Pada karya yang pertama, ia berhasil menampilkan kekuatan garis-garisnya yang tajam dan ekspresif. Karya hitam-putih ini menyiratkan perpaduan antara keterasingan dan ketakjuban pada alam yang tumpang tindih dan bergerak dalam proses penciptaan. Hal ini terwakili juga pada Stockholm, Kota Tua, dan Perahu, yang semuanya merupakan karya hitam-putih dan bertarikh 1989. Berbeda dengan karya akrilik Kapal dan Kota Tua. Di sini terasa kegelisahan Syahnagra dikendalikan oleh perhitungan visual meskipun suasana liris tetap muncul. Tapi tak semua karyanya yang begini berhasil membangun suasana liris seperti pada karya ini, juga Paris, Jembatan Sungai Ams, dan sebagian besar karya hitam-putihnya. Setidaknya pada Borobudur, ia kurang menampilkan diri sebagai seseorang yang percaya pada impresi, sehingga perlu memperjelas objeknya, yang menjadikan karya ini gagal menyajikan suasana. Hal yang sama bisa dilihat pada Rumah di Toba, Perahu Bretan I, dan Perahu Bretan II. Terasa ada usaha menyusun objek-objek menjadi lebih teratur dan terlihat jelas, dan komposisi terasa sangat diperhitungkan hingga spontanitas berkurang. Namun, secara umum, karya alumni Institut Kesenian Jakarta ini memang mencoba keluar dari kebiasaannya melihat dan mengekspresikan langsung objek-objek ke kanvas, tanpa ''penafsiran''. Kini caranya melihat dan ''memproses'' objek ke kanvas berbeda, mengarah pada pemahamannya terhadap alam. Dan pemahaman Syahnagra tertarik-tarik antara yang menggelisahkan dan menenteramkan meskipun yang dilihatnya adalah alam yang ''memabukkan'', bukan yang mengimpit, atau meresahkan perasaan. Ia memang belum semusikal Zaini atau seliris Srihadi. Tapi, setidaknya, ia punya kegelisahan yang menjanjikan sebuah perkembangan mendatang. S. Malela Mahargasarie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus