TIGA rumah megah bergaya Spanyol di kawasan elite Kemang, Jakarta Selatan, itu tampak unik di antara jajaran rumah mewah dan kafe di sekitarnya. Sebab, bentuknya sama, berada di dalam satu pagar, dan memiliki satu nomor: 152. Satu rumah berposisi menghadap ke jalan raya, sedangkan dua rumah lainnya berdiri di depan rumah pertama dengan posisi menyamping dan berhadapan, seperti mengapit rumah pertama. Jadi, kalau dilihat dari jalan raya Kemang, tiga bangunan putih itu seperti membentuk huruf ”U”.
Bila orang masuk ke balik pagar yang membatasi kompleks rumah kembar tiga itu, akan muncul kesan bahwa yang menempati ketiga rumah itu memiliki hubungan dekat. Siapa mereka? Yang menempati rumah menghadap ke jalan itu adalah Menteri-Sekretaris Negara (Mensesneg) Bambang Kesowo. Sedangkan penghuni rumah pengapit sebelah kanan adalah Bambang Sutanto, dan yang kiri Widodo Gondowardojo—meninggal dua tahun lalu—yang jabatan terakhirnya Deputi Administrasi Sekretariat Wakil Presiden.
Rumah Spanyol kembar tiga itu ternyata punya peran dalam cerita dan polemik tentang dana bantuan presiden, yang kembali merebak sebulan terakhir ini.
Kisahnya begini. Pada Maret 2000, di zaman Presiden Abdurrahman Wahid, Sekretariat Negara (Setneg) dipecah menjadi empat: Sekretariat Negara, Sekretariat Militer, Sekretariat Pengendalian Pemerintahan, dan Sekretariat Presiden. Jadi, sebagian kewenangan Setneg versi lama beralih ke Sekretariat Presiden (Setpres). Akibatnya, dana untuk rumah tangga Istana, seperti dana untuk membayar listrik dan air atau untuk menjamu makan tamu negara, dialihkan ke Setpres. Termasuk dana bantuan presiden (banpres).
Tapi Ratih Hardjono, yang pernah menjadi sekretaris presiden, tak pernah tahu wujud dan besar dana banpres itu. Menurut Ratih, Bambang Sutanto, Asisten Mensesneg Urusan Umum (1997-1999), adalah pejabat yang bertanggung jawab memegang banpres. Bambang berkali-kali menyanggupi membuka berapa besar dan bagaimana posisi dana itu, tapi janji itu tak pernah diwujudkan.
Malah akibatnya, karena soal dana banpres itu terus-menerus ditanyakan oleh pihak Setpres, terjadi ketidakharmonisan kerja antara Setpres dan Setneg. Selama beberapa bulan, tidak ada surat yang sampai ke tangan Presiden Abdurrahman Wahid. Misalnya, ada surat dari Al Gore, Wakil Presiden Amerika Serikat pada saat itu, yang tidak sampai ke Abdurrahman. Baru diketahui bahwa surat itu ada ketika Ratih ditelepon oleh sekretaris Al Gore, yang menanyakan apakah surat itu sudah diterima. Ternyata surat itu memang nyangkut di Setneg dan tidak diteruskan ke Setpres. Menjelang jatuhnya Abdurrahman, ternyata surat-surat untuk Presiden Abdurrahman yang terparkir di Setneg mencapai empat karung besar.
Menurut sumber TEMPO dari kalangan Istana, resistansi pihak Setneg terhadap Abdurrahman ini juga menimpa pemerintahan Presiden Habibie.
Nah, karena begitu banyak pekerjaan Setpres yang tidak berjalan lancar di masa Presiden Abdurrahman Wahid—karena belum ada dana yang turun dari Setneg—rumah di Kemang itulah yang digunakan sebagai umpan jalan keluar. Kok, bisa begitu?
Ceritanya, rumah yang sebenarnya milik Setneg itu tadinya akan dibeli oleh Bambang Kesowo. Bahkan Kesowo sudah merenovasinya hingga menelan biaya Rp 160 juta. Luar biasa. Tapi proses pembelian itu dipersulit ketika B.J. Habibie menjadi presiden.
Di masa Abdurrahman, Sekretariat Presiden ”memancing Kesowo” dengan cara mempermudah proses pembelian rumah itu asalkan Kesowo bersedia memperlancar urusan dana rumah tangga kepresidenan. ”Pancingan” itu berhasil dan uang untuk operasional Setpres pun turun sekitar Rp 600 miliar. Tapi dana banpres tetap tidak jelas rimbanya.
”Sejak saya menjadi sekretaris presiden hingga keluar, saya tidak pernah menggunakan dana banpres. Jumlahnya saja saya tidak tahu. Jadi, saya pegang surat keputusannya saja, uangnya tidak,” kata Ratih, yang mengundurkan diri sebagai sekretaris presiden pada April 2000.
Ternyata dana banpres itu baru ketahuan wujudnya pada Agustus 2000. Saat itu, yang menjadi Mensesneg adalah Djohan Effendi. Ia menerimanya dari Bambang Sutanto, yang saat itu menjadi Deputi Operasi Sekretariat Wakil Presiden atau sebagai wakil Bambang Kesowo. Djohan pun langsung mendapat tugas menertibkan dana banpres itu dari rekening pribadi pejabat Setneg.
Memang Djohan sempat berhasil mengumpulkan rekening banpres—yang menurut Djohan terserak di banyak rekening bank swasta—hingga jumlahnya mencapai Rp 474 miliar. Djohan pun mengaku sudah mengubah kepemilikan rekening dari bentuk pribadi ke instansi. Tapi, masih menurut Djohan, dana itu diminta oleh Sekretaris Wapres Bambang Kesowo melalui surat Wapres Megawati ke Presiden Abdurrahman Wahid. ”Ya, akhirnya diberikan karena diminta-minta terus,” kata Djohan. Sampai kemudian Abdurrahman turun, dan Megawati menjadi presiden, dana banpres pun tetap kembali ke lingkup ”kekuasaan” Kesowo, yang diangkat sebagai Mensesneg.
Sebenarnya, pada pasca-rezim Soeharto, sudah ada niat untuk menyelamatkan uang rakyat yang demikian banyaknya ini. Presiden Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1999 yang berisi instruksi untuk memasukkan semua dana nonbujeter, termasuk dana banpres, ke rekening Menteri Keuangan. Presiden Abdurrahman Wahid pun pernah membuat Inpres Nomor 4 Tahun 2000, yang isinya senada, memperjelas dana-dana nonbujeter, termasuk dana banpres.
Tapi dua instruksi presiden itu tidak ampuh karena institusi Setneg lebih kuat. Masih menurut sumber TEMPO dari Istana, perlawanan dari pihak Setneg itu memang kuat sekali. Bahkan ada beberapa keputusan presiden di era Abdurrahman yang sempat diubah, hingga ketika disiarkan isinya sudah berbeda.
Jadi, persoalan dana banpres sebenarnya berhulu pada institusi Setneg, salah satu lembaga yang menjadi tulang punggung kekuasaan Presiden Soeharto. Dan sejak terbentuknya dana banpres pada 1970, tidak ada pola pertanggungjawaban yang transparan ke publik. Itu karena pengaturan banpres ada di tangan presiden, dan rekening dananya ada di staf Setneg.
Memang, ada ”peraturan” tentang banpres, yaitu Keppres Nomor 4 Tahun 1989. Tapi aturan itu justru memperluas kemungkinan ketidakjelasan dana banpres. Sebab, dalam keppres itu, dana banpres bisa bersumber dari dana nonbujeter lainnya, seperti dana reboisasi ataupun kutipan gula dan terigu Bulog.
Cara-cara mengelola dana banpres seperti itu pada akhirnya membuat manajemen banpres sepenuhnya bergantung pada unsur kepercayaan perorangan. Hubungan seperti itulah yang terjadi di Setneg. Menurut sumber TEMPO, Bambang Sutanto dan Widodo adalah kepercayaan Kesowo. Mereka berdua (karena Widodo sudah meninggal) ada di antara sedikit orang yang paling tahu soal banpres.
Pengelolaan dana tanpa prosedur yang transparan itu memang rawan penyelewengan. Di masa pemerintahan Habibie, sudah ada upaya melacak penyelewengan penggunaan dana banpres. Sofyan Effendi, Asisten Mensesneg Bidang Pengawasan, ditugasi memeriksa proyek-proyek banpres. Menurut Sofyan, memang ada beberapa indikasi penyelewengan proyek, seperti proyek Gelora Bung Karno dan Kemayoran, tapi Habibie sudah keburu turun sebelum Sofyan berhasil mengungkapnya. ”Banpres itu memang sudah merupakan rimba raya yang tidak pernah ada pengawasannya,” kata Sofyan, yang kini menjadi Rektor Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Lalu ada juga hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester II tahun 2000. Menurut Ketua BPK Satrio Budihardjo Joedono, penyimpangan keuangan di tubuh Setneg, termasuk banpres, mencapai 57,93 persen. Memang, dalam bahasa akuntan, penyimpangan itu belum tentu korupsi. Tapi temuan itu minimal menunjukkan bahwa prosedur keluar-masuk dana di Setneg tidak akuntabel.
BPK juga melakukan audit khusus dana banpres yang dilansir Billy, tiga pekan lalu. Itu adalah permintaan Bondan Gunawan tidak lama setelah dilantik menjadi sekretaris negara, Maret 2000. Billy menyatakan bahwa dana banpres yang ada di Setneg totalnya Rp 540 miliar (dalam rupiah dan dolar AS) pada posisi April 2000.
Lalu apa jawaban Bambang Kesowo? Januari lalu, Kesowo pernah menyatakan bahwa jumlah dana banpres Rp 330 miliar. Jumlahnya berbeda jauh dengan hasil audit BPK yang terakhir.
Nah, ketika soal dana banpres kembali mencuat setelah ada sumbangan untuk asrama TNI Rp 30 miliar, lulusan cum laude Harvard Law School ini memilih tutup mulut. Bahkan wawancara dengan Kurie Suditomo dari Koran Tempo yang sudah dijanjikan Kesowo, Kamis pekan lalu, dibatalkan mendadak. Alasan Kesowo, Presiden Megawati memintanya mengutamakan penjelasan ke Komisi I DPR.
Pekan lalu, sementara semua orang ribut soal dana banpres, Kesowo menghabiskan akhir pekan di Singapura. Mungkin cara menghindar itu yang terbaik karena wartawan-wartawan media cetak dan televisi sudah mengejar Kesowo hingga ke rumahnya—dengan menunggu di jalan di depan tiga rumah kembar itu. Kesowo berangkat ke negeri jiran Jumat lalu tanpa pulang dari kantornya. Paspornya diambilkan oleh sopirnya dari rumah di Kemang itu. Sedangkan tas serta jaketnya dipulangkan oleh ajudannya pada Jumat malam.
Tapi Kesowo hanya menghindar, bukan melarikan diri, misalnya. Sebab, menurut seorang sumber TEMPO yang dekat dengan Kesowo, Mensesneg itu sudah punya langkah antisipasi atas polemik banpres yang bermuara padanya. ”Pokoknya, dia sudah overconfident,” kata sumber itu kepada Rommy Fibri dari TEMPO.
Bina Bektiati, Wenseslaus Manggut, Dwi Arjanto, Wahyu Muryadi, L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini