Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Moeng Parhadimoeljo: "Jika Salah, Anak Buah dan Komandan Harus Dihukum"

ORANG kebanyakan mungkin jarang mengenal Mayjen (Purn.) Moeng Parhadimoeljo. Tapi, di kalangan TNI, khususnya korps Pasukan Khusus, namanya amat dikenal dan orangnya sangat di-segani. Moeng adalah salah satu peletak dasar organisasi tempur Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Bersama sejumlah opsir lainnya, lulusan Kursus Ranger (Ranger Course) di Forth Benning, Georgia, Amerika Serikat (1953), ini merancang berbagai bentuk latihan tempur pasukan komando Baret Merah itu.

5 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG kebanyakan mungkin jarang mengenal Mayjen (Purn.) Moeng Parhadimoeljo. Tapi, di kalangan TNI, khususnya korps Pasukan Khusus, namanya amat dikenal dan orangnya sangat di-segani. Moeng adalah salah satu peletak dasar organisasi tempur Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Bersama sejumlah opsir lainnya, lulusan Kursus Ranger (Ranger Course) di Forth Benning, Georgia, Amerika Serikat (1953), ini merancang berbagai bentuk latihan tempur pasukan komando Baret Merah itu. Tidak aneh bila sepasang mata tua Moeng tampak berbinar bila dia bercerita tentang bagaimana awalnya pasukan khusus tersebut dibentuk. Tampak sekali kebanggaannya pada pasukan yang baru berulang tahun ke-50 pekan silam itu. Tapi, laki-laki 77 tahun itu juga tidak bisa menyembunyikan kekecewaan di wajahnya yang sudah keriput bila ditanya soal citra Kopassus yang memburuk. Moeng mengaku malu dengan gambaran Pasukan Khusus, yang diidentikkan dengan penculik dan pembunuh. Perasaan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) pada 1958-1965 tersebut memang bisa dipahami. Sebab, di masanya, Pasukan Khusus hanya melakukan tindakan yang heroik, terlibat langsung dalam berbagai pertempuran besar, di antaranya penumpasan PRRI/Permesta, Operasi Trikora merebut Irian Barat, dan Operasi Dwikora "mengganyang" Malaysia, serta memadamkan Gerakan 30 September 1965. Anak ke-10 dari selusin bersaudara ini memang layak menjadi cermin. Moeng, anak abdi dalem Keraton Yogyakarta itu, pantang mengambil sesuatu yang ia anggap bukan haknya. Ia mengembalikan kelebihan jatah beras, bahkan menukar jenis beras bila dia anggap terlalu bagus. Sang ayah dari enam anak ini juga orang yang bersahaja. Sepanjang hidupnya, ia tidak pernah berlebihan. Satu-satunya jabatannya yang "bergengsi" adalah ketika ia menjadi Komisaris Bank Duta, hingga dia bisa membiayai pelaksanaan umroh dari gajinya di bank ini. Tapi jabatan itu pun dia tinggalkan karena bank tersebut dilanda skandal keuangan yang dilakukan kroni Soeharto. Kini, Moeng tinggal di rumahnya yang sederhana di kawasan Cipinang, Jakarta Timur. Ia masih tampak sehat. Padahal lelaki tua yang ramah ini sudah men-derita penurunan fungsi otak karena pengecilan pembuluh-pembuluh darah di otaknya. Matanya juga peka terhadap cahaya terang. Berikut adalah petikan wawancara Arif A. Kuswardono dari TEMPO dengan Moeng, Senin pekan silam. Anda jarang datang ke markas Kopassus. Kenapa sekarang akhirnya Anda mau menghadiri perayaan ulang tahun Kopassus? Saya memang jarang datang. Terakhir, saya datang di zaman Prabowo Subianto. Saya malu, karena ada kenalan baik saya yang bercerita ke saya bahwa dia diperas oknum Kopassus yang menjadi beking seorang Cina. Teman saya itu pengusaha perkebunan teh. Terus terang saja saya malu, karena pengusaha itu orang baik. Kebetulan kami kenal baik. Sekarang, citra Kopassus buruk. Anggota Kopassus di Papua terlibat pembunuhan Theys. Diduga karena soal bisnis. Mengapa ada kecenderungan anggota Kopassus jadi beking bisnis? Kontrol komandannya kurang. Atau, malah komandannya kebagian. Bagi saya, uang harus saya dapatkan dengan cara halal. Ketika saya pensiun dari jabatan Irjen AD, saya diangkat menjadi Komisaris Bank Duta. Karena pengangkatan itu, saya lantas mampu melaksanakan umroh. Tapi Anda minta mundur dari jabatan tersebut? Ya, saya minta mundur karena memang ada persoalan keuangan di bank itu. Ada kroni Soeharto yang menjadi komisaris utama yang berbuat curang dengan menaikkan gajinya sendiri, menyalurkan kredit untuk usahanya sendiri. Padahal semua itu harus seizin komisaris. Kenapa di masa Anda dan komandan-komandan Pasukan Khusus terdahulu lebih jarang terdengar berita negatif? Saya tak sungkan mengambil tindakan tegas. Pernah ada kasus pencurian genset listrik di Cijantung. Saya tempatkan satu orang untuk mengawasi dan saya perintahkan, bila ada orang mengambilnya, tembak saja. Dan betul, ada yang mau mengambil, lalu ditembak. Akhirnya si pencuri batal mengambil genset karena takut. Yang namanya anak buah tetap anak buah. Kalau melanggar, harus dikenai tindakan tegas. Saya tidak tahu sekarang mengapa banyak sekali pelanggaran. Saya juga tidak tahu apa saja yang dilakukan di zaman Prabowo Subianto. Tapi sekarang, bila terjadi pelanggaran, hanya anak buah yang dihukum? Saya pernah mengusulkan agar tidak cuma anak buah yang dihukum. Si pemberi perintah juga harus dihukum. Hal itu saya lontarkan dalam sebuah pertemuan para purnawirawan perwira tinggi dengan Kasad Jenderal TNI Subagyo Hadisiwoyo beberapa tahun lalu. Ini untuk keadilan, juga solidaritas pasukan. Kalau yang bersalah tidak dihukum, orang akan berbuat seenaknya saja. Tapi bahwa usul itu tidak dilakukan, itu di luar kewenangan dan kemampuan saya. Menurut Anda, yang memerintahkan menculik aktivis juga harus dihukum? Penculikan itu atas perintah siapa? Prabowo kan sudah mengaku bahwa dia menculik. Memang, Pak Harto tidak bisa diadili karena sakit, tapi Prabowo yang masih muda bisa dituntut. Lagi pula sekarang ini zaman demokrasi, tidak bisa main culik begitu. Bagaimana Anda diangkat menjadi Komandan RPKAD? Saya dilantik menjadi Komandan RPKAD di Manado, Juli 1958, oleh Wakil Kasad Jenderal Gatot Subroto. Kurang-lebih 10 hari sesudah diangkat, saya menyerang dan merebut Tomohon dari Permesta. Tiga pekan kemudian, kami mem-bebaskan jalan yang menghubungkan Tomohon-Manado, yang termasuk lini pertahanan terkuat Permesta. Kabarnya, semasa aktif di militer, Anda juga suka mengembalikan kelebihan uang dinas atau ongkos perjalanan? Ya memang, kalau ada kelebihan, saya tidak mau menerima. Tapi, kalau hak saya, pasti saya minta. Waktu saya jadi pangdam di Balikpapan, ada biaya transpor yang saya kembalikan. Karena saya sudah terbang dengan pesawat Pertamina, uang transpor dari kantor saya kembalikan karena itu bukan hak saya. Yang marah malah istri saya. Tapi saya diam saja. Waktu jadi Komisaris Bank Duta, honor saya rendah. Sampai akhirnya ada komisaris lain tahu dan bertanya mengapa honor saya rendah. Saya tidak iri dengan orang lain. Saya cuma mau yang betul saja. Saya tidak mau mengambil hak orang lain. Kenapa Anda dipindah dari Kopassus? Saya dituduh melakukan korupsi. Tapi saya bilang ke Pak Ahmad Yani (Menpangad waktu itu), silakan periksa. Tanya saja ke anak buah saya apakah betul saya melakukan korupsi. Ada orang yang memfitnah saya. Akhirnya saya keluar, tapi orang itu pun keluar dari RPKAD. Benny Moerdani kan juga keluar dari Kopassus bersama dengan Anda. Me-nurut biografi Benny, Anda dipindah bukan karena korupsi, melainkan karena terlampau disiplin sehingga ingin memindahkan Kapten Agus Hernoto, staf Batalion I RPKAD, anak buah Benny yang cacat kakinya. Memang, saya menyampaikan ke Pak Yani bahwa saya sudah terlalu lama di RPKAD. Jadi, kalau saya akan dipindahkan, silakan saja. Tapi, yang saya tahu, saya dituduh melakukan korupsi, bukan karena melakukan kebijakan penyehatan dalam satuan. Dulu memang ada anggota satuan yang kakinya buntung. Dia tertembak tujuh kali oleh Belanda di Irian, tertawan, dan diamputasi kakinya. Pertimbangan saya sederhana saja, dalam satuan tidak boleh ada anggota yang berkaki buntung karena dia akan menyulitkan tugas. Ini kan bukan tugas biasa, melainkan tugas komando. Sikap ini bukan berarti saya tidak menghargai prajurit. Keputusan saya, orang itu tidak boleh ada di satuan. Dia akan disalurkan ke tempat lain oleh staf kesatuan. Nah, kebetulan dia ada di batalionnya Benny. Logikanya, setiap batalion kan harus siap bergerak. Tidak boleh dibebani oleh orang-orang macam itu. Kalau dibiarkan, nanti akan membengkak jumlahnya menjadi beberapa orang. Saya tidak merasa terlalu berlaku keras dengan keputusan itu. Saya hanya berprinsip, apa yang berlaku untuk diri saya juga berlaku bagi orang lain. Dari mana Anda tahu Anda dituduh melakukan korupsi? Saya dipanggil Pak Yani ke rumahnya untuk makan siang. Di situ saya diberi tahu tentang tuduhan korupsi itu. Terus saya bilang, kalau saya jawab, Pak Yani pasti tidak percaya. Jadi, silakan saja tanya anak buah saya apakah betul saya melakukan korupsi. Saya sendiri tidak tahu apakah Benny juga dipanggil Pak Yani. Anda kan termasuk perintis korps Baret Merah. Bagaimana Anda membentuk dan mengembangkan postur prajurit komando saat itu? Saya punya gagasan, setiap prajurit komando haruslah pemuda sukarela yang mau jadi anggota komando. Rekrutmen prajurit komando waktu itu langsung dari masyarakat umum lulusan SMP atau SMA, asalkan punya inteligensi baik. Yang juga penting adalah tes psikologi untuk mengetahui sifat orang. Sebab, prajurit komando harus punya sifat pemberani, tidak takut ketinggian. Dia juga harus Pancasilais, cinta tanah air. Jangan sampai anggota pasukan komando malah jadi lawan negara. Dan setelah jadi prajurit, dia harus masuk kesatuan dan diberi tugas tempur. Nah, orang yang berani bertempur ini dididik lagi. Seorang prajurit komando harus mampu berjalan jauh di daerah musuh selama beberapa hari dan malam. Pasukan komando juga harus mampu mendarat di laut dan udara, baik siang maupun malam, di berbagai tempat. Selain itu, saya membentuk juga pasukan katak. Tidak banyak, hanya kurang-lebih 40 orang. Mereka dilatih oleh pasukan katak Angkatan Laut. Dan mereka digunakan untuk tugas-tugas tertentu. Anda juga mengenalkan banyak teknik baru dalam bertempur. Dari mana Anda mengembangkannya? Saya adaptasi dari teknik Amerika. Misalnya, dari teknik memanjat, saya modifikasi tidak hanya dengan naik dan turun, tapi ketika naik atau turun dia bisa berhenti dan menembak sasaran. Kita cari tebing yang curam, tebing kapur dengan kecuraman 90 derajat, yaitu di Cipatat dekat jalur Padalarang-Cianjur (Jawa Barat). Latihannya ada yang dengan alat, ada yang tidak. Jadi, Anda langsung mendapat pen-didikan pasukan khusus dari AS? Hingga akhir 1964, hanya ada empat anggota RPKAD yang memiliki diploma Ranger (pasukan khusus AS). Salah satunya saya. Lalu, saya kumpulkan semuanya untuk membuat program latihan. Apa saja kendala yang Anda hadapi dalam melatih pasukan komando? Yang pasti, peluru dan bahan peledak terbatas sekali. Mau tidak mau, keter-batasan ini mengurangi hasil. Frekuensi latihan juga berkurang. Misalnya, di zaman saya, untuk menembak senapan jatahnya hanya 50 peluru. Kita juga tidak punya alat simulasi, misalnya simulasi suara artileri. Untuk pasukan artileri, biasanya, jika menembaki sasaran, ada petak tembakan ukuran 100 meter kali 200 meter. Nah, di Amerika, ada simulasi suara artileri sehingga seorang prajurit bisa berlatih bagaimana dia bisa keluar dari medan tembakan artileri agar tidak hancur. Kesulitan lain adalah medan latihan. Bukit kapur di Cipatat sudah dihancurkan oleh penambang kapur. Padahal tempat latihan semacam itu tidak ada di tempat lain. Harusnya, bukit itu kita pertahankan karena ia tempat terbaik untuk latihan. Selain soal keterbatasan latihan, apa lagi yang menyebabkan kegagalan operasi tempur di masa Anda? Prajurit komando harus bisa diandalkan. Dia harus percaya pada diri sendiri dan senjatanya. Jangan seperti pada waktu di Timor Timur, alat pembidik pada senjata di batalion infanteri kita meloncat. Akibatnya, moril prajurit merosot. Saat operasi Timor Timur itu (1975-1976), kebetulan saya sudah menjadi Irjen AD. Tugas saya memeriksa kemampuan dan fisik pasukan. Nah, setelah saya tahu persoalan itu, saya melapor ke Kasad. Lalu saya me-meriksa Pindad (Perusahaan Industri Angkatan Darat), yang membuat BM-59 (Baretta Modified 59). Ada tiga kualitas di sana, yaitu kualitas A yang baik, B yang sedang, dan C yang jelek. Ternyata ketiga jenis itu dicampur. Pantas saja ada yang pembidiknya lepas, bautnya lepas. Kasad kemudian memerintahkan pemeriksaan ulang atas semua senjata Pindad yang ada di kesatuan. Makanya, ketika terjun di Dili, Kopassus menggunakan AK-47 karena senjata itulah yang bisa dipercaya. Tidak ada yang menggunakan BM-59. Lalu, apa saja kendala operasi RPKAD saat itu? Republik Indonesia ini kan terdiri dari banyak pulau. Menurut standar pasukan Inggris, setiap kali pasukan melakukan pendaratan di danau atau laut, mereka dilengkapi pelampung. Tapi kita tidak, sehingga ada pasukan yang langsung tenggelam. Karena berat ransel yang mereka bawa—dengan bekal dan makanan penuh—sudah 20 kilo, pasukan yang diterjunkan langsung tenggelam. Ini beberapa kali terjadi, seperti di Belawan, Sumatera Utara, serta Dili di Timor Timur. Saya pernah mengusulkan soal pelampung ini, tapi tidak pernah dikabulkan. Saya tidak tahu sekarang. Kesulitan lain, penerbang Angkatan Udara, terutama penerbang pesawat pengangkut, umumnya penakut. Mereka tidak berani terbang cukup rendah dengan kecepatan minimal. Padahal itu dibutuhkan saat penerjunan. Akibatnya, penerjunan tidak optimal. Pengalaman saya terjun di perbatasan Sumatera Barat dan Sumatera Utara untuk menumpas PRRI dengan membawa satu kompi, pesawat terbang terlalu cepat dan terlalu tinggi, masih berada di antara awan. Maka, pukulan anginnya ke penerjun pun luar biasa. Ini berbahaya karena, jika pesawat terlalu tinggi, pasukan penerjun bisa ditembaki. Ketika mendarat pun anak buah saya terpencar jauh-jauh sehingga konsolidasi pasukan jadi lama. Apakah benar Anda sudah bertempur sejak masih di STM di Yogya tahun 1945? Betul. Tahun 1945, saya masuk gerakan bawah tanah yang dipimpin oleh Ir. Sudarto, seorang guru sekolah menengah. Pak Darto melakukan gerakan bawah tanah di bawah pimpinan Pak Urip Sumohardjo bersama Pak S. Parman. Mulanya, saya hanya kebagian tugas membuat granat dengan TNT. Dan saat Pak Darto membentuk kesatuan dan menunjuk komandannya, saya malah lupa diikutkan. Namun, ketika Yogya bisa kita kuasai dari Jepang, saya juga turut mengepung dengan membawa senjata. Tapi, ketika terjadi pertempuran di Penjara Wirogunan, saya tidak ikut. Saya menyusul berangkat dari rumah, tapi sesampai saya di sana Jepang sudah menyerah. Nah, di situ kawan saya Tukul meninggal. Sejak itu saya benar-benar bertekad jadi tentara. Saya berpangkat letnan dua waktu itu. Lalu, bagaimana Anda sampai di Jawa Barat? Di Semarang, ada Batalion Kydobutai (batalion penggempur), yang ulet dan ganas. Pasukan-pasukan dari Yogya dan Solo kemudian didatangkan untuk mengepung Semarang. Saya ikut dalam pasukan kompi Pak Nasuhi. Nah, sepulang dari Semarang, Pak Urip menugasi batalion mobil Pak Darto ke Jawa Barat. Itu juga atas usul Pak Nasuhi, yang orang Jawa Barat. Dan saya ikut, meski tetap tidak punya pasukan. Tapi akhirnya Anda berhasil mendapat pasukan? Suatu hari, pagi-pagi sebelum mandi—sekitar pukul lima pagi—ada laporan bahwa Belanda mau masuk Cikalong Kulon. Terus saya usul ke Pak Tikno sebagai komandan peleton agar dia membawa dua regu untuk masuk Cikalong Kulon dari sebelah kiri. Kemudian, saya pinjam satu regu untuk masuk dari arah kanan. Di tengah jalan, pasukan kami bertemu dengan seorang anak yang lari. Saya tanya, "Ada apa, Jang?" Katanya, Belanda sudah ada di Cikalong Kulon. Lalu saya putuskan untuk menunggu. Anak buah saya larang menembak sebelum saya menembak. Senjata bren saya pegang sendiri. Setelah Belanda mendekat, sekitar 200 meter, saya mulai menembak dua kali, dor-dor.... Saya tak bisa terlalu banyak menembak untuk menghemat amunisi. Nah, para Belanda itu tiarap di pematang sawah. Kita tembak-menembak hampir selama setengah hari. Tapi tiba-tiba Belanda melakukan gerak melingkar. Tentu saja kita harus menyingkir. Karena ceroboh, saya menembak sambil menyingkir ke sawah yang masih baru. Posisi saya jadi ketahuan, dan saya ditembaki. Di pertempuran itu saya kena tembak tiga kali: di pundak, kaki, dan paha saya, yang hampir tembus ke pinggul. Lalu, saya dirawat di rumah sakit. Setelah sembuh, datang surat yang dibawa oleh satu kompi. Ternyata itu surat penunjukan saya sebagai komandan kompi. Pangkat saya naik jadi letnan satu. -------------------------------------------------------------------------------- Mayor Jenderal Purnawirawan Moeng Parhadimoeljo Lahir: Yogyakarta, 11 Januari 1925 Pendidikan: Seskoad 1962 Karir:
  • Komandan Kompi Batalion Nasuhi Divisi Siliwangi, Jawa Barat
  • Komandan Batalion Lintas Udara 305/Tengkorak Brigade "D", Divisi Siliwangi
  • Komandan Resimen Pasukan Komando AD (RPKAD)
  • Pangdam IX Mulawarman, Kalimantan Timur
  • Komandan Pusat Persenjataan Infanteri
  • Komandan Pengembangan Pendidikan dan Latihan
  • Wakil Komandan Jenderal Akabri
  • Inspektur Jenderal TNI AD
  • Inspektur Jenderal Departemen Pertanian
  • Komisaris Bank Duta
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus